Entah sudah kesekian kali Defira menghela nafas beratnya. Setelah makan siang tadi, Bastian dan wanita yang dia bawa ke ruangan Bara belum juga keluar hingga sekarang.
Penasaran, Defira sangat penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. “Def, aku duluan ya,” pamit Klara.
Gadis itu sudah membereskan segala perlengkapannya ke dalam tas. Dia juga sudah mematikan komputer.
Defira mendongak untuk menatap Klara yang posisinya saat ini berdiri sementara dirinya masih duduk.
“Hhmm, duluan aja. Hati-hati di jalan,” ucap Defira. Berbarengan dengan kepergian Klara dari samping Defira, Bara juga keluar dari ruangannya.
“Loh, kamu baru pulang?” tanya Bara pada Klara. Klara mengangguk segan. Jarang sekali dia bisa berbicara seperti ini dengan Bara.
Bara sendiri bertanya demikian karena hari memang sudah sore dan karyawan yang lainnya juga sudah pulang. Mungkin hanya menyisakan dua sampai tiga orang karyawan di sana.
“Iya, Pak. Kerjaan saya baru selesai,” jawab Klara seadanya. Sebenarnya pekerjaannya tak banyak. Namun karena sedari tadi gadis itu hanya mengajak Defira mengobrol, akhirnya pekerjaannya baru selesai sekarang.
Bara mengangguk mengerti. “Ya sudah, kita ke parkiran bareng,” ajak Bara yang hanya diangguki oleh Klara.
Sementara itu Defira mendengus kesal karena Bastian tak kunjung keluar dari ruangan itu. Jika saja pria itu tak mengatakan jika mereka harus pulang bersama, mungkin sudah dari satu jam lalu Defira pergi dari sana.
Karena rasa kesalnya yang semakin memuncak, gadis itu akhirnya mengirimkan pesan singkat pada Bastian bahwa dia pulang duluan.
Baru saja Defira beranjak dari duduknya, suara pintu terbuka membuat Defira mengalihkan pandangannya.
“Belum pulang?” Defira menganga saat mendengar pertanyaan itu dari Bastian. Bukankah pria itu yang mengatakan akan pulang bersama?
“Baru mau,” jawab Defira ketus. Dia segera pergi dari sana dengan pandangan kesalnya. Sementara itu Bastian mencoba mencerna sikap Defira padanya.
Gadis yang saat ini ada di samping Bastian hanya memandang dua sejoli itu dengan heran sambil terkekeh.
Sementara Defira sudah pergi dari sana, Bastian memandang gadis di sampingnya dengan heran karena tiba-tiba terkekeh.
“Kenapa?” tanya Bastian heran. “Kamu yakin kalian mau nikah cuma karena kontrak itu?” tanya gadis itu.
“Tentu saja. Emangnya apa lagi?” Bastian kembali bertanya karena tak mengerti dengan apa yang dikatakan kenalannya itu.
“Kayanya dia marah. Kamu janji sesuatu sama dia?”
Bastian mencoba berpikir tentang apa kesalahannya. “Liz, kenapa baru bilang sekarang?” ucap Bastian sambil menepuk pelan keningnya.
Gadis yang dipanggil Liz itu kembali terkekeh. “Sana kejar,” ucap Liz. Gadis itu Liza, teman lama Bastian yang sudah bastian anggap seperti saudaranya sendiri begitupun sebaliknya.
“Kamu pulang sendiri ya. Aku susul dia dulu,” ucap Bastian sambil berlalu dari sana. Dia berlari agak kencang untuk menyusul Defira.
Setelah agak jauh berlari, akhirnya Bastian melihat sosok gadis yang dia cari. “Def!” teriaknya.
Defira merotasikan bola matanya mendengar suara yang sangat dia kenali itu. Gadis yang merasa terpanggil itu menghentikan langkahnya.
Akhirnya Bastian berhasil menyusulnya. “Kamu dari tadi nungguin saya?” Dengan bodohnya Bastian malah bertanya.
Defira memandang pria itu dengan tatapan menusuknya. Dia tak ada niatan sedikitpun untuk menjawab pertanyaan Bastian.
“Maaf, tadi ada urusan. Jadi saya lupa,” ucap Bastian. Defira menghela nafas. “Sudahlah, saya mau pulang,” ucap Defira sambil melanjutkan langkahnya.
Dia tak memperdulikan Bastian yang masih berada di belakangnya dengan langkah yang berusaha menyusulnya.
“Kita pulang bareng.” Akhirnya Bastian bisa menyusulnya. Tanpa meminta izin lagi, Bastian menggenggam tangan Defira dan menarik pelan gadis itu untuk ikut dengannya.
“Saya bisa pulang sendiri,” protes Defira sambil berusaha melepaskan pegangan tangan Bastian di tangannya.
“Saya mau antar kamu,” balas Bastian tak ingin kalah. “Gak usah. Saya mau pulang sendiri.” Defira masih kekeh dengan pendiriannya.
“Ke rumah saya dulu, Ibu mau ketemu.” Skak, Defira tak bisa menolak jika itu berhubungan dengan kedua orang tua Bastian.
Gadis yang saat ini sedang Bastian genggam tangannya itu hanya menghela nafas pasrah. Mereka tiba di parkiran bersamaan dengan Liza yang juga sampai di sana.
“Bas, aku duluan,” pamit Liza pada Bastian. Setelah mendapatkan anggukan dari Bastian, Liza mengenakan kaca mata hitamnya dan segera menaiki mobilnya.
Sementara itu Defira hanya memperhatikan percakapan dua orang itu dengan wajah masamnya.
“Aku kamu,” ejeknya dengan suara pelan. Dia berfikir jika Bastian tak mendengar dumelannya itu, tapi siapa sangka jika Bastian mendengarnya. Pria itu terkekeh.
“Ayo masuk,” perintah Bastian. Defira langsung memasuki mobil Bastian dengan kesal. Selama perjalanan dia sama sekali tak memandang Bastian.
“Kamu kenapa?” tanya Bastian. “Gak kenapa-kenapa,” jawab Defira singkat. Dia sedang tak ingin berbicara dengan Bastian sama sekali.
“Def, kamu gak langgar kontrak kita kan?” Bastian kembali bertanya pada Defira. Spontan Defira memandang Bastian dengan tajam.
“Enggak!” sentaknya. Bastian menyeringai. “Ya udah kalau enggak, kenapa pake bentak saya segala.”
Defira salah tingkah dan langsung mengalihkan pandangannya dari Bastian. Sementara itu Bastian kembali fokus pada jalanan.
Dia sudah memantapkan hatinya. Tak boleh ada yang melibatkan perasaan pribadi di diri mereka masing-masing. Memang begitu seharusnya.
Tak lama, mereka tiba di rumah Bastian. Di sana sudah terparkir satu mobil yang sangat Bastian hapal.
“Kayanya Ayah udah pulang,” gumamnya. Mereka keluar dari mobil dan menuju ke dalam rumah.
“Bas, tumben betah banget di kantor. Biasanya kamu milih kerja di rumah,” ucap Ibunya yang sama sekali tak melihat pada Bastian. Pandangannya masih fokus pada televisi dan sebuah toples berisi almond di pelukannya.
“Hmm,” jawab Bastian singkat. Karena jawaban singkat putranya itu, akhirnya Elina mengalihkan pandangannya pada Bastian.
“Loh, Def kamu juga ikut?” tanya Elina. Dia kira sudah sore begini Defira tak akan ke rumah mereka.
Defira merasa ucapan Elina sangat bertentangan dengan apa yang dikatakan Bastian tadi. Bukankan Elina yang memintanya ke sini?
Gadis itu memandang Bastian dengan pandangan nyalangnya. Walaupun Bastian Bosnya, tapi sekarang dia sangat kesal karena telah ditipu.
“A-ah, Bas ke atas dulu mandi. Kalian bincang-bincanglah.” Dengan cepat Bastian pergi dari sana.
“Sini duduk, Def,” ajak Elina sambil menepuk tempat di sebelahnya. Ingin marah juga dia terlanjur ada di sana.
Akhirnya Defira menuruti perkataan Elina. “Tumben ke sini sore-sore,” ucap Elina.
“Kata Bastian, Ibu yang minta Def ke sini?” Akhirnya Defira memilih memastikan semuanya.
Elina terkekeh mendengar ucapan Defira. “Bastian emang selalu aja jual nama Ibu. Padahal itu cuma akal-akalan dia biar kamu mau ke sini,” kekeh Elina.
Dia sudah sangat hapal dengan rencana busuk putranya itu. “Jadi Ibu gak minta Def ke sini?” Elina menggeleng. “Tapi karena kamu udah di sini, temanin Ibu pilih cincin keluaran terbaru ya.”
Terjebak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments