“Beruntung banget sih kamu. Dia kan ganteng, tajir terus banyak orang juga yang mau sama dia. Eh dia pilihnya kamu. Udahlah sempurna hidup kamu,” oceh Klara.
Gadis itu sekarang telah kembali ke setelan pabrik setelah Defira meyakinkan gadis itu bahwa dia memaafkannya.
“Iya udah jangan bahas lagi. Habisin makananmu, itu makanan yang ada di mulut sampai muncrat karena kamu makan sambil ngomong,” protes Defira.
Sesampainya di kantin kantor tadi, Klara tak henti-hentinya membahas pernikahannya dengan Bastian. Apalagi dia terlihat sangat semangat ketika menceritakan tentang kelebihan pria itu.
Sepertinya memang hanya Defira saja yang tak tahu apa-apa tentang Bastian selama ini.
Klara mengangguk dan kembali fokus pada makanannya. “Nanti pulang bareng saya,” ucap seseorang yang baru saja memegang bahu Defira.
Defira yang sedang makan dibuat terkejut oleh hal itu. Dia menolehkan kepalanya walau dia sudah tahu siapa orang itu.
“Iya. Kok Bapak ada di kantor?” tanya Defira. Sebelum menjawab, Bastian mendudukkan dirinya di samping Defira. Hal itu membuat seisi kantin menatap ke arah mereka dengan tak percaya.
“Hhmmm,” jawabnya singkat. Jangankan orang yang berada jauh dari mereka, orang yang saat ini ada di hadapan mereka juga menatap Bastian dengan takjub.
Klara, saat ini gadis itu tengah menganga melihat ketampanan Bastian. Entahlah, ketampanan bosnya itu sama sekali tak membosankan, membuat orang ingin melihat lagi dan lagi.
“Ada apa? Apa ada hal penting?” tanya Defira. Tak biasanya Bastian datang ke kantor. Bahkan setau dia, pria itu hanya akan datang jika Bara memanggilnya.
“Gak ada apa-apa. Cuma mau mastiin kantor baik-baik aja,” jawabnya. Defira mengangguk tak ingin bertanya lebih lanjut karena dia takut akan membuat pria itu kesal.
Bukannya pergi dari sana, Bastian malah diam di sana dan memainkan ponselnya. Entah apa yang pria itu lihat hingga tak mengalihkan pandangannya dari ponselnya.
“Pak, saya udah selesai. Bapak masih mau di sini?” tanya Defira. Kali saja pria itu berada di sana untuk menunggunya.
“Duluan saja, saya ada janji dengan seseorang,” jawab Bastian tanpa mengalihkan pandangannya dari ponselnya.
Defira mengangguk dan segera berlalu dari sana dengan menggandeng tangan Klara. “Emang gak bisa apa tatap mata kalau lagi ngomong. Kayanya lebih penting ponsel!” gerutunya sepanjang jalan.
Klara yang mendengar hal itu memandang Defira dengan heran. “Hah? Apanya? Kamu ngomongin apa?” tanya Klara karena dia tak mengerti dengan apa yang dikatakan temannya itu.
“Ah, enggak bukan apa-apa. Yuk balik ke ruangan.” Defira melepaskan gandengannya pada tangan Klara dan berlalu cepat menuju ruangannya.
Sementara itu, setelah kepergian Defira dari sana, Bastian sedikit mencuri pandang pada gadis itu walaupun yang bisa dia lihat hanya punggung Defira saja.
“Dasar, protes kok masih dekat orangnya,” gumamnya sambil terkekeh. Tak lupa dia juga menggelengkan kepalanya melihat tingkah Defira.
Ya, dia mendengar semua yang dikatakan Defira. Sangat jelas di telinganya jika yang dimaksud gadis itu adalah dirinya.
Dia tak memandang Defira saat menjawab tadi bukannya tak mau, tapi dia memang sedang melihat hal yang penting di ponselnya.
Dia sedang berkomunikasi dengan rekan kerjanya yang sebentar lagi akan menjalin kerja sama dengan perusahaannya.
Tak lama, Bastian beranjak dari sana untuk menjemput orang yang sudah tiba di depan kantornya.
Sebuah mobil hitam terparkir di sana, Bastian segera menghampirinya saat sang pemilik mobil keluar.
“Hai, apa kabar?” tanya orang itu pada Bastian. “Baik.” Tak ada pertanyaan balik dari Bastian.
Mereka berdua berjalan beriringan. “Wah mereka terlihat sangat cocok, siapa wanita itu?” tanya salah satu karyawan yang masih bisa terdengar oleh telinga Bastian.
Orang yang saat ini tengah berjalan dengan Bastian memang sangat cantik dan dewasa. Rambut lurus panjang yang tergerai, balutan jas kerja yang pas di tubuhnya dan juga sebuah celana bahan yang membuat kakinya terlihat jenjang. Jangan lupakan sepatu tinggi berwarna hitam yang sangat elegan.
“Karyawanmu memang kaya gitu?” tanya wanita itu. Bastian tersenyum simpul. Senyum yang jarang dia keluarkan jika sedang bersama orang lain.
“Aku akan menegurnya lain kali,” kekeh Bastian. “Lihatlah, Bos bahkan bisa tersenyum,” ucap karyawan lainnya.
Hal itu terdengar oleh Defira. “Siapa sih yang mereka omongin?” tanyanya pada Klara yang masih belum sadar dengan sekitarnya.
“Itu loh, si Bos.” Klara menunjuk Bastian yang tengah berjalan dengan wanita cantik itu. Defira mengikuti arah pandang Klara dan berhasil menemukan objek yang sedari tadi menjadi bahan perbincangan para karyawan.
“Kamu kenal siapa dia?” tanya Klara pada Defira yang tak melepaskan pandangannya dari dua sejoli yang sedang berjalan itu kemudian menggeleng untuk menjawab pertanyaan Klara.
Bastian spontan menoleh ke arah Defira. Defira yang sadar akan hal itu segera menurunkan pandangannya.
“Kenapa ini?” lirihnya sambil memegang dadanya. Bukan rasa sakit, namun ada yang aneh dengan hatinya.
Ada rasa tak rela jika Bastian bersanding dengan wanita lain. “Ah enggak mungkin,” ucapnya pelan. Untuk mengalihkan perhatiannya, dia berusaha kembali fokus pada komputer di depannya.
“Kok kamu bisa gak tau sih? Kan kamu calon istrinya.” Ucapan Klara membuat jari-jari Defira yang semula menari lincah di atas keyboard kini berhenti begitu saja.
“Karena aku bukan calon istri sungguhan.” Tentu saja hal itu hanya ada dalam hati Defira saja. Tak mungkin dia memberitahu hal itu pada Klara.
“Mungkin dia orang baru, jadi aku belum kenal dia,” jawab Defira seadanya sambil menampilkan senyum terpaksanya.
Klara mengangguk dan kembali melanjutkan tugasnya saat Bastian dan wanita itu sudah masuk ke ruangan Bara.
“Kayanya orang penting sampai masuk ke ruangan Pak Bara segala,” ujar Klara. Dia tak mengharapkan jawaban. Tapi hal itu didengar oleh Defira.
“Aku ke toilet dulu,” ujar Defira. Hatinya semakin merasa tak enak setelah Klara mengatakan hal itu.
Defira segera pergi ke toilet. Dia tak masuk ke bilik, dia hanya memandang dirinya di cermin lebar yang ada di hadapannya.
“Gak mungkin kaya gitu.” Dia kembali menyangkal perasaannya pada Bastian. Mana mungkin dia menyukai pria yang baru beberapa minggu dia temui.
Samar-samar Defira mendengar ada yang membicarakannya. Dengan segera gadis itu masuk se salah satu bilik toilet.
“Iya kan, aku juga mikir gitu. Defira mungkin cuma orang yang dijodohin sama Pak Bos. Mana mungkin Pak Bos mau sama gadis biasa kaya Defira. Lebih cocok yang tadi. Wanita itu kelihatannya sangat berpendidikan dan kaya,” ujar salah satu karyawan.
Defira mendengar dengan sangat jelas apa yang mereka bicarakan. “Benar, aku juga lebih setuju Pak Bos sama wanita tadi sih. Perpaduan yang sangat pas, ganteng dan cantik.”
Lagi-lagi Defira meragukan dirinya sendiri. Dia tahu dia melakukan ini bukan atas dasar perasaan tapi mendengar ucapan itu entah kenapa membuat hatinya sakit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments