“Udah Ibu duga kalau selera kamu itu sama kaya Ibu,” ucap Elina sambil memperhatikan cincin yang baru saja dipilih oleh Defira.
Gadis yang mendapatkan pujian itu tersenyum canggung. “Bu, kayanya Def udah harus pulang. Kasian Dafa di rumah sendiri, Def juga belum masak,” ujarnya.
Elina memperhatikan setiap ucapan Defira dengan seksama. “Oh gitu. Bentar ya, Ibu panggil Bastian dulu,” jawab Elina hendak pergi dari sana untuk memanggil putranya. Namun, pergerakannya terhenti ketika mendengar ucapan Defira.
“Gak usah, Bu. Biar Def pulang sendiri aja,” ucap gadis itu. “No, gak boleh. Bentar, Ibu panggil Bas dulu, kamu tunggu di sini.” Elina memberikan peringatan agar Defira tak kemana-mana.
Defira akhirnya tak memiliki pilihan selain menunggu di sana. Menyesal dia mempercayai ucapan Bastian beberapa saat lalu jika Ibunya ingin menemuinya.
Tak lama, Elina turun dengan Bastian yang telah mengenakan pakaian santainya. Pria itu terlihat sangat tampan dengan balutan kaos hitam dengan celana pendek berwarna putih.
“Mau pulang?” tanya Bastian ketika dia tiba di hadapan Defira. Defira mengangguk mengiyakan pertanyaan Bastian. “Kasian Dafa di rumah sendirian, aku juga belum masak,” jawab Defira.
“Ya udah, yuk.” Akhirnya Bastian setuju untuk mengantarkan Defira. “Bu, Def pulang dulu ya,” pamit Defira pada Elina.
Elina mengangguk dengan senyuman yang tersemat di wajahnya. “Sering-sering main ke sini,” ujar Elina.
Defira mengangguk ragu sambil tersenyum. “Pergi dulu, Bu.” Kali ini Bastian yang pamit pada Ibunya.
“Hati-hati, jangan ngebut,” ingat Ibunya. Keduanya pergi setelah mendapatkan izin dari Elina.
Kini sudah separuh perjalanan yang mereka lewati dan selama itu pula Defira tak mengeluarkan sepatah katapun.
“Kamu kenapa?” tanya Bastian yang heran karena raut wajah Defira lain dari biasanya. “Memangnya saya kenapa?” Bukannya menjawab, Defira malah balik bertanya.
“Diam mulu dari tadi,” jawab Bastian. “Memangnya apa yang harus saya bicarakan?” Bastian bungkam. Apa yang dikatakan Defira memang benar, tapi entah mengapa dia merasa ada yang janggal.
Harusnya Bastian tak peduli jika Defira akan mengabaikan atau marah padanya, toh itu tak berarti apa-apa baginya. Tapi hatinya berkata lain, ada sesuatu yang mengganjal yang membuat dia gundah karena bungkamnya Defira.
Tak lama, mereka tiba di sebuah rumah sederhana bernuansa pastel. Suasana di sana sangat sepi dengan lampu remang yang menerangi halaman rumahnya.
“Makasih udah antar saya, saya masuk dulu,” ucap Defira sebelum keluar dari mobil. “Katakan pada saya kalau ada sesuatu yang terjadi,” timpal Bastian yang kemudian diangguki oleh Defira.
Setelah mengatakan hal itu, tanpa menunggu Bastian meninggalkan tempat itu, Defira segera beranjak untuk masuk ke rumahnya.
Jangan ditanya kenapa dia menjadi seperti ini, banyak sekali hal yang Bastian lakukan yang membuatnya sangat kesal.
“Udah janji mau pulang bareng, ditungguin malah lupa, bawa cewek lain ke kantor lagi. Padahal kan anak-anak kantor taunya aku yang calon istrinya. Apa kata orang nanti?” dumelnya.
“Kakak pulang,” ucapnya saat dia membuka pintu. Seperti biasa, adiknya sedang berbaring di sofa dengan ponsel di tangannya.
Dafa bangkit dan menyimpan ponselnya. “Tumben malam, Kak?” tanya Dafa. “Hhmm, tadi mampir ke rumah Bastian dulu,” jawab Defira jujur.
Dafa mengangguk mengerti. Dia juga tak akan melarang dengan apa yang dilakukan Kakaknya, karena dia faham dia belum bisa membahagiakan wanita itu.
Dengan membiarkan wanita itu melakukan apa yang dia inginkan, Dafa berharap bisa memberikan sedikit kebahagiaan pada Kakaknya.
“Kamu udah makan?” tanya Defira. Dia menyimpan tasnya asal di sofa. “Belum, nunggu Kakak pulang,” jawab pria itu.
“Lain kali kalau Kakak pulang malam jangan nunggu. Kamu pesan makan aja,” ujar Defira.
“Makanan di luar gak seenak masakan Kakak,” jawabnya yang berhasil membuat Defira terkekeh.
“Ya udah tunggu sebentar, Kakak masak dulu.” Defira membuka blezer yang semula menempel di tubuhnya. Dia menaikan lengan kemejanya dan mengikat rambutnya.
Tangannya dengan lihai mulai memotong bahan makanan. Dia memanaskan air dan menyiapkan ayam.
Defira fokus pada hal yang sedang dia lakukan. Pekerjaannya sekarang memang tak terlalu melelahkan hingga dia bisa memasak di rumah.
Dulu, dia harus bekerja ke sana ke mari setelah pulang dari kantor. Tapi, semenjak dia menandatangani perjanjian itu, dia menjadi sangat santai.
Defira tak lagi harus bekerja paruh waktu. Semua biaya hidupnya yang kurang akan ditanggung oleh Bastian. Bahkan pria itu memberikan uang bulanan padanya.
“Kapan Kakak menikah dengan Kak Bas?” tanya Dafa. Dua pria itu sekarang sudah lumayan dekat. Kedekatan mereka bahkan rasanya lebih dekat daripada dengan Defira.
“Sebentar lagi. Tunggu saja, nanti kalau udah dekat bakal Kakak kasih tau,” jawab Defira.
Dafa mengangguk dan kembali menunggu Kakaknya di kursi makan. Dia menopang dagunya dan memperhatikan Kakaknya.
“Kapan kamu kontrol?” Kali ini Defira yang bertanya. “Lusa. Harusnya besok, tapi Dokter bilang dia sudah ada jadwal lain dengan pasien. Jadi, diundur sampai lusa,” jelas Dafa.
Defira mengangguk. “Perlu Kakak antar?” tanya gadis itu. “Kak Bas bilang dia yang akan antar karena Kakak katanya sibuk di kantor,” ucap pria itu.
Defira merotasikan bola matanya. Siapa lagi yang namanya akan dijual Bastian setelah Elina dan dirinya?
“Ya udah, kasih tau Kakak hasilnya nanti. Kalau ada apa-apa bilang ya,” ujar Defira. Dia juga tak mungkin protes di hadapan adiknya atau Dafa akan curiga dengan pernikahannya yang hanya skenario.
Selang beberapa menit akhirnya makanan mereka jadi. Defira menghidangkan makanannya di meja makan. “Kayanya enak,” ujar Dafa dengan mata berbinar.
“Emangnya kapan masakan Kakak gak enak?” goda Defira yang kemudian mendapatkan kekehan dari adiknya.
“Yuk selamat makan,” ujar Defira. Mereka makan degan tenang tanpa ada pembicaraan apapun.
Selesai dengan makanan mereka, Defira membereskan dan mencuci piringnya. “Kamu daftar ke sekolah baru nanti aja kalau Kakak udah nikah. Takutnya kita pindah rumah dan jaraknya nanti jadi jauh,” saran Defira.
“Terserah Kakak aja, aku ngikut,” jawab Dafa pasrah. Bukannya tak punya pendirian, tapi apa yang dikatakan Kakaknya beberapa saat lalu adalah sebuah kebenaran.
“Sana istirahat. Kakak juga mau mandi habis itu istirahat,” perintah Defira yang diangguki oleh Dafa.
Pria itu kemudian masuk ke kamarnya. Tentu saja dia tak tidur, laki-laki mana yang bisa tidur di bawah jam sembilan.
Sementara itu, Defira bukannya istirahat seperti yang dia katakan, tapi malah membuka ponselnya dan melihat kalender.
“Bentar lagi ya?” gumamnya. Dia melihat tanggal. Bastian sudah menentukan hari pernikahan mereka, hanya saja pria itu belum mengumumkannya pada orang lain.
“Gak apa-apa. Cuma satu tahun kok, lagi pula ini demi Dafa,” lanjutnya. Setelah mengatakan itu, Defira menghela nafas berat. Dia mematikan ponselnya dan bergegas menuju kamarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments