“Bercanda kok. Kenapa mukanya tegang gitu?” kekeh Gibran. Padahal ucapannya hanya sebuah candaan, tapi wajah Bastian dan Bara terlihat sangat tegang.
Bara memulai tawanya dengan canggung. Dia berusaha menutupi kecanggungan itu, hal itu diikuti oleh Bastian dan yang lainnya.
“Jadi, mau kapan kalian menikah? Ibu udah gak sabar mau gendong cucu,” ucap Elina sambil membayangkan seorang bayi lucu yang akan menemani hari-harinya nanti.
“Dua minggu kedepan, Bu. Sabar sedikit,” jawab Bastian. Rasanya beberapa hari lalu dia sudah mengatakan tentang hal tersebut pada Ibunya, tapi Ibunya selalu saja lupa.
“Perlu bantuan Ayah buat persiapannya?” Gibran menawarkan diri, mungkin saja putranya memerlukan sesuatu.
“Kayanya enggak. Biar Bastian sama Defira yang urus semuanya,” jawab pria itu sambil memandang Defira. Defira mengangguk menyetujui apa yang dikatakan Bastian.
Tak mungkin juga dia membiarkan kedua orang tua Bastian ikut campur dalam hal pernikahan mereka atau rahasia mereka akan terbongkar.
“Jangan membuatnya sederhana. Kamu punya banyak uang, buat semewah mungkin. Pernikahan cuma dilakukan sekali selama hidup,” saran Ibunya.
Bastian mengangguk mengiyakan permintaan Ibunya. Biarlah dia melakukan apa yang diinginkan orang tuanya agar orang tuanya tak lagi membahas pernikahan.
Suasana hening untuk sejenak sebelum kemudian Gibran mengeluarkan suaranya. “Bara, gimana di kantor?” tanyanya.
“Seperti biasa. Semuanya berjalan lancar, Yah. Tapi para karyawan selalu membicarakan Bos besar kita,” sindir Bara sambil memandang Bastian sinis.
Bastian sejenak memandang Bara sebelum kemudian dia kembali membuang pandangannya. “Apa yang bikin mereka ngomongin Bastian?” tanya Elina tak mengerti.
“Gimana orang-orang gak ngomongin Bastian, dulu dia sangat dingin dan tak tersentuh. Eh sekarang dia kasih kabar kalau dia mau menikah. Apalagi dia nikah sama salah satu karyawan kantor. Jadi hampir semuanya bicarain mereka,” jelas Bara.
Kedua orang tua Bastian terkekeh mendengar cerita Bara yang memang sebuah kebenaran. “Ternyata Defira yang bisa luluhin hati Bastian,” ujar Elina setelahnya.
Defira yang mendengar itu merasa pipinya memanas. Dia tersenyum salah tingkah sambil menundukkan kepalanya. Sementara yang lain terkekeh.
“Kamu gak pernah bilang punya adik, Def,” ujar Bara saat dia kembali melihat pria yang ada di sebelah gadis itu.
“Lah, Bapak kan gak pernah nanya,” jawab Defira. Apa yang dikatakan Defira memang benar.
“Iya juga sih.” Bara menjawab sambil mengusap tengkuknya.
“Udah sana pulang. Lo ganggu acara keluarga aja,” usir Bastian pada temannya. Bara memandang pria itu sinis.
“Bas!” sentak Ibunya. “Ibu gak pernah ajarin kamu kaya gitu ya,” lanjutnya. Bara yang merasa dibela memandang Bastian dengan tatapan sombongnya.
“Dia juga keluarga kita,” sambung Elina. Bastian yang mendengar hal itu hanya menghela nafas dalam. Jika sudah seperti ini, kadang dia bingung siapa sebenarnya anak kandung Ibunya itu.
Mereka melanjutkan perbincangan hingga bosan.
****
Pagi ini Defira pergi ke kantor seperti biasa. Setelah menandatangani perjanjian dengan Bastian, dia tak lagi bekerja sambilan di berbagai tempat.
Dia hanya fokus bekerja di kantor Bastian dan pria itu akan memberikan apapun yang Defira butuhkan.
Sebenarnya ini adalah kesempatan emas bagi Defira untuk mendapatkan sesuatu dengan gratis dari Bastian, tapi dia bukan orang seperti itu. Jika tak terlalu mendesak, dia tak akan meminta bantuan pada orang lain.
“Def!!” teriak seseorang dari belakangnya. Baru saja dia menarik kursi kerjanya, tapi kegiatannya itu terganggu oleh orang yang baru saja berteriak.
“Ra, berisik!! Ini di kantor,” tekan Defira. Dia tak membentak, dia hanya menekan perkataannya mengingatkan temannya agar tak terlalu berisik.
Beruntunglah di sana baru ada satu hingga dua karyawan yang datang. “Iya maaf. Lagian kamu kemana aja? Lama banget gak masuk kantor,” tanya Klara.
Defira mengernyitkan keningnya. “Kamu beneran gak tau?” tanya Defira tak habis pikir. Klara menggelengkan kepalanya pertanda jika dia benar-benar tak tahu dengan apa yang terjadi.
“Emang di kantor gak ramai tentang rencana pernikahan aku?” tanya Defira. Bukannya dia ingin sombong, tapi kemarin yang Defira dengar dari Bara jika para karyawannya membicarakannya dan Bastian.
“Oh itu,” ucap Klara. Defira dibuat heran kembali oleh temannya. “Kamu gak kaget?” Defira kembali bertanya.
“Lah, kirain semua itu cuma gosip. Ternyata beneran?” tanyanya heboh. Defira menghela nafasnya berusaha sabar menghadapi satu temannya ini.
“Beneran?!! Jadi kamu mau nikah sama Bos?” Klara memegang lengan Defira dan memandang gadis itu dengan lekat.
Defira mengangguk lemah. Lagi pula tak ada lagi alasan untuk dia menutupi semuanya karena seisi kantor sudah tahu tentang hal itu kecuali Klara mungkin.
Defira juga kadang lelah dengan Klara yang sepertinya sangat polos itu. Gadis yang menyandang status sebagai temannya itu sering sekali telat menangkap informasi.
“Kenapa gak bilang dari dulu?” tanya Klara heboh. “Gak sempat. Lagian kan sekarang kamu juga udah tau,” jawab Defira sambil berusaha melepaskan pegangan Klara di lengannya kemudian duduk di kursinya.
“Kapan nikahnya?” Klara kembali menginterogasi Defira setelah dia menarik kursinya mendekat dan duduk di sana menghadap Defira.
“Dua minggu lagi,” jawab Defira singkat. “Wahh cepat banget,” ujarnya. “Kok bisa ya Bos mau sama kamu,” lanjutnya.
Ucapan Klara barusan membuat Defira menghentikan kegiatannya untuk sesaat. “Kok gitu sih ngomongnya.” Defira mengalihkan pandangannya sepenuhnya pada Klara.
“Emang kenapa?” Gadis itu tak lagi menjawab pertanyaan Klara. Gadis polos itu seolah mengatakan jika Defira tak pantas bersanding dengan Bastian yang berasal dari keluarga konglomerat dan juga memiliki pesona yang luar biasa.
“Aku tau aku miskin dan jelek. Tapi gak usah diperjelas juga,” ucap Defira menyindir. Klara yang langsung sadar dengan ucapannya segera membekap mulutnya dengan tangannya sendiri.
“Enggak, gak gitu Def. Aku gak bermaksud gitu. Maksudnya kalian kan baru ketemu satu kali waktu itu, tapi kok dia udah mau nikah aja.” Klara berusaha menjelaskan maksud dari perkataannya beberapa saat lalu.
Defira yang mendengar hal itu langsung menghela nafas. “Ya udah sih, lagian emang benar gitu kok. Kerja ah jangan ngobrol mulu,” ucap Defira berusaha mengakhiri percakapan tentang pernikahannya.
“Maaf,” cicit Klara yang kemudian diangguki oleh Defira. Klara membalikan kursinya menghadap komputernya dengan rasa sesal yang dalam. Demi Tuhan dia sama sekali tak bermaksud seperti itu.
Akhirnya mereka kembali ke pekerjaan yang harus mereka lakukan walaupun Klara sama sekali tak bisa fokus karena merasa bersalah pada Defira. Padahal Defira jelas-jelas sama sekali tak marah pada gadis polos itu.
“Def,” cicitnya. Dia berusaha kembali membangun pembicaraan dengan Defira yang dari tadi hanya fokus pada komputernya dan tak mengatakan hal apapun.
“Hhmm,” gumam Defira menjawab panggilan Klara. “Kok diam aja sih?” tanyanya dengan takut.
Defira menghela nafas dalam mendengar ucapan temannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments