“Duduk,” perintah Bastian. Dia sedikit heran kenapa gadis ini terlihat sangat ketakutan, padahal dia tak akan melakukan hal apapun.
Defira kembali duduk di tempatnya dengan kepala yang menunduk. “Kamu Defira Estiana?” tanya Bastian memastikan jika dia tak salah orang.
“Iya, Pak. Saya Defira Estiana.” Defira memperkenalkan dirinya. “Oke, kamu tau kenapa kamu dipanggil ke sini?” Bastian kembali bertanya.
Defira mengangguk lesu. Sepertinya benar apa yang ada dalam pikirannya. Dia akan dipecat.
“Pertama tatap saya kalau saya lagi ngomong.” Bastian sangat gemas karena gadis itu selalu menundukkan kepalanya.
Perlahan namun pasti, gadis itu mengangkat kepalanya untuk menatap Bastian. Dia mematung, kenapa dia baru sadar jika pria yang ada di hadapannya saat ini begitu tampan?
Bastian menjentikkan jarinya saat pertanyaannya tak kunjung dijawab. “Kamu dengar apa yang saya katakan?” tanya Bastian sekali lagi.
“Ah iya Pak? Kenapa?” Defira baru saja tersadar dari kekagumannya. Dia membenarkan rambutnya untuk menghilangkan rasa gugupnya.
Sementara itu Bastian merotasikan bola matanya. “Saya nanya, apa aja kesalahan yang kamu buat?” Bastian kembali mengajukan pertanyaannya yang beberapa detik lalu tak dijawab oleh gadis itu.
“S-saya gak ngerjain administrasi dengan benar, Pak,” jawab Defira ragu. Semoga Bara tak mengatakan semua kesalahannya pada Bastian.
Bastian mengernyitkan dahinya. “Kamu yakin? Kalau cuma itu, saya gak bakal sampai diminta untuk datang ke sini.”
Defira memejamkan matanya. Ternyata harapannya sirna. Bara memang sepertinya memberitahukan semuanya pada Bastia.
“S-saya gak survei ke lapangan sesuai dengan perintah Pak Bara, Pak.” Dengan terpaksa Defira mengatakan semuanya.
Biarlah dia dicap sebagai karyawan yang tak menepati aturan daripada gelarnya harus rangkap menjadi seorang pembohong.
“Cuma itu? Yakin gak ada lagi?” Bastian terus saja mengorek apa yang menjadi kesalahan gadis itu.
Apa yang gadis itu pikirkan sama sekali tak benar. Bastian belum tahu dengan jelas kesalahan apa saja yang gadis itu lakukan. Tapi dia berusaha mendapatkan jawaban dari pertanyaannya saat ini.
“S-saya sering datang telat, Pak.” Bastian menyandarkan badannya ke sandaran sofa dengan helaan nafas yang terdengar putus asa.
“Hhaahh, kayanya kesalahan kamu emang udah lengkap ya,” ucap pria itu sambil kembali menatap Defira. Defira yang ditatap kembali menundukkan kepalanya.
“Saya bilang tatap saya kalau lagi ngomong.” Dengan segera gadis itu kembali mengangkat kepalanya.
“Jadi, kamu mau gimana?” tanya Bastian. Defira juga bingung akan menjawab apa. Sejujurnya dia tak ingin dipecat.
“Apa aja, Pak. Asal jangan pecat saya.” Defira sudah ada di level pasrah terdalam. Dia tak ingin dipecat karena dia membutuhkan uang untuk biaya operasi adiknya.
“Kayanya dulu kamu gak gini? Apa yang bikin kamu kaya gini?” tanya Bastian. Sejak dulu dia tak pernah mendapatkan laporan seperti ini, tapi kali ini ...
“Saya punya masalah pribadi yang gak bisa saya jelaskan sama Bapak.” Bastian mengangkat sebelah alisnya. Dia merasa harus mendengarkan lebih lanjut apa yang akan dikatakan oleh gadis itu.
“Maaf,” lanjut Defira. Bastian menghela nafas tak menyangka jika Defira hanya akan mengucapkan kata maaf.
“Saya gak butuh maaf kamu. Saya cuma butuh kamu ceritain semuanya,” pinta Bastian. Bukannya memaksa, tapi dia merasa harus tahu apa yang menjadi permasalahan karyawannya.
“Maaf, Pak. Tapi ini privasi dan tidak ada hubungannya dengan perusahaan.” Bastian menganggukkan kepalanya.
“Kamu fikir ini gak ada hubungannya sama perusahaan? Kamu tau apa dampak yang bakal timbul dari keteledoran kamu selama ini?” tanya Bastian.
Defira tak bisa menjawab karena sepertinya memang akan berpengaruh sangat besar. “Katakan semuanya, saya juga akan menjaga privasi karyawan saya,” lanjut Bastian.
“Adik saya lagi sakit, Pak. Dia kecelakaan dan harus melakukan operasi patah tulang. Biayanya gak murah, dan itu harus dilakukan minggu ini. Jadi, siang saya kerja di sini, malam saya kerja di banyak tempat untuk mendapatkan uang. Akhirnya Defira memberitahukannya dengan terpaksa. Semua dia lakukan hanya karena dia tak ingin dipecat dari perusahaan itu.
Sejujurnya dia sangat malu mengatakan semuanya. Tapi apa boleh buat, dia tak bisa melakukan apa-apa lagi.
Bastian mendengarkan penuturan Defira dengan sangat serius. Ada rasa aneh yang tumbuh di hatinya. Entah mengapa, mendengar gadis itu bercerita membuatnya gemas.
Lucu, itulah yang ada dalam benak bastian saat ini. Selain sisi lucu itu, Bastian juga melihat ada sisi dewasa dari Defira.
Namun, mendengar gadis itu sudah selesai bercerita membuatnya kembali fokus dan teringat sesuatu. Bisakah dia menggunakan gadis ini untuk kepentingannya dan dia akan membantu gadis itu juga. Seperti, simbiosis mutualisme?
“Berapa biayanya?” Defira memandang pria itu. Apa dia akan mendapatkan gaji di awal? Atau bosnya itu akan memberinya uang cuma-cuma?
Defira menyebutkan nominalnya. “Kamu mau kalau saya berikan uangnya sekarang?” tawar Bastian.
Senyum di wajah Defira terlukis dengan jelas. “Boleh, Pak.” Dia sudah tak memiliki rasa malu lagi hanya karena uang.
“Kalau kamu mau sekarang, saya punya syarat,” ucap Bastian. Defira mengerutkan keningnya.
“Tunggu sebentar.” Bastian pergi ke kursi Bara dan mengoperasikan komputer. Sepertinya pria itu sedang mengetik sesuatu di sana.
Tak membutuhkan waktu lama, suara printer terdengar yang Defira yakini jika atasannya itu sedang mencetak sesuatu.
“Kamu bisa baca ini dulu baik-baik dan putuskan.” Bastian menyodorkan selembar kertas yang baru saja dia cetak.
Terdapat beberapa poin di sana dengan judul ...
“Nikah kontrak?!” tanya Defira terkejut. “Maksudnya apa, Pak?” Defira menanyakan tentang kejelasan tulisan itu.
“Saya bilang baca dulu. Setelah itu kamu boleh bertanya.” Defira tak banyak lagi bertanya. Matanya terfokus pada kertas yang ada di tangannya itu dan membacanya dengan seksama.
“Ketentuan pasal satu, Bastian Casper yang selanjutnya dalam perjanjian ini akan disebut pihak pertama. Defira Estiana yang selanjutnya dalam perjanjian ini akan disebut pihak kedua.”
Defira membaca surat perjanjian itu dengan lantang agar mereka sama-sama mendengarnya.
“Pasal dua, Pihak pertama menyatakan akan membiayai seluruh biaya pengobatan adik pihak kedua. Pasal tiga, pihak kedua setuju untuk menjadi istri pihak pertama. Pasal empat, pihak pertama akan memberikan nafkah sesuai dengan keharusan selama kontrak ini berlangsung. Pasal lima, perjanjian ini sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Pasal enam, baik pihak pertama maupun pihak kedua tidak diperbolehkan memiliki perasaan lain selain sekedar rekan kerja. Pasal tujuh, kontrak ini berlaku saat perjanjian ini ditandatangani sampai satu tahun kedepan.”
Wajah Defira masih bertanya-tanya tentang apa maksud semua ini. “Kamu sudah baca semua, jadi bagian mana yang kamu tak mengerti?” tanya Bastian.
“Maksud Bapak, saya harus menikah dengan Bapak agar Bapak membiayai operasi adik saya?” tanya Defira dengan nada sedikit kesal.
Bastian mengangguk. “Tepat sekali. Di sini kita sama-sama diuntungkan, kan?”
Defira tak habis fikir jika atasannya akan menawarkan hal seperti ini. Sejak dulu, Defira selalu berfikir jika pernikahan adalah hal yang sakral dan dilakukan satu kali selama hidup.
“Maaf Pak, tapi saya gak bisa.” Defira meninggalkan tempat itu begitu saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments