Gadis itu manis, namun tampilan manisnya itu tertutupi dengan wajah letih yang selalu dia tampilkan setiap hari.
Seperti saat ini, dia merasa sangat letih. Tangannya terangkat untuk menghapus keringat yang ada di pelipisnya.
“Cuciannya udah di antar, kue juga udah, emm tinggal ...” Gadis itu terlihat memikirkan apa yang dia lupakan. Rasanya siang tadi ada orang yang menyuruhnya sesuatu.
“Ah buang sampah!!” Dia akhirnya mengingatnya setelah berfikir untuk beberapa saat. Defira segera menuju rumah orang yang dituju.
“Yang itu!” Dia menunjuk beberapa rumah dan akhirnya menemukan rumah dengan tumpukan plastik sampah di depannya.
Dia memungutnya untuk di buang ke tempat sampah yang ada di depan komplek. “Padahal cuma buang sampah, tapi orang itu lebih rela memberikan uang mereka.”
Ya, Defira dibayar untuk setiap pekerjaan yang dia lakukan. “Selesai!” serunya. Untuk hari ini pekerjaannya selesai. Tentu saja sudah usai karena jam sudah menunjukan jam sebelas malam.
Defira menuju rumahnya yang terbilang luas. Rumah itu adalah satu-satunya peninggalan orang tuanya.
Kecelakaan satu bulan silam berhasil merenggut nyawa kedua orang tuanya. Bersyukur Tuhan masih menyayangi adiknya.
Dafa Emilio, pria yang berstatus sebagai adik Defira itu kini terbaring lemah di rumah sakit dengan berbagai macam alat yang terpasang di tubuhnya.
“Mandi dulu deh,” ucap Defira saat dia tiba di rumahnya. Selesai dengan urusannya, dia tak langsung tidur, melainkan pergi ke sebuah rumah sakit. Dia akan tidur di sana dan begitu seterusnya hingga adiknya berhasil disembuhkan.
“Permisi, dengan keluarga Dafa?” Seorang perawat menghampirinya saat dia baru saja akan membuka ruangan adiknya.
“Iya, ada apa ya?” tanya Defira. Malam-malam begini tak biasanya ada perawat yang ingin berbicara dengannya.
“Pasien atas nama Dafa harus segera dioperasi. Kita sudah menundanya cukup lama, dan akan terjadi kemungkinan buruk jika kita terus menundanya. Maaf baru menyampaikannya sekarang. Awalnya kita akan menyampaikan hal ini siang tadi, namun Anda tidak datang.”
Jantung Defira berdetak dengan cepat. Bukannya dia tak ingin adiknya sembuh, tapi biaya untuk operasi patah tulang membutuhkan uang yang tak sedikit.
Itulah alasan kenapa dia selalu menundanya. Dia menabung selama ini dan uangnya juga belum cukup untuk memenuhi biaya opersi itu.
Defira merenung di dalam ruang rawat Dafa. Tentu saja dia memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang yang banyak dalam waktu yang singkat. Tak mungkin juga dia menjual diri.
Gadis itu terus berfikir hingga dia terlelap dalam tidurnya.
****
Dua pria bertubuh kekar kini sedang berbicara saling berhadapan di salah satu kafe yang ada di kota itu.
Kafe itu tampak sepi dari luar, namun siapa sangka pengunjungnya sangat banyak. Karena tak ingin terganggu dengan pelanggan lain, Bastian Casper sengaja memesan ruang VIP untuknya.
“Apa masalah yang sama lagi?” tanya pria lain yang berada di hadapannya. Pria itu adalah Bara, bawahannya sekaligus pria yang menjadi sahabatnya.
Sudah hampir sepuluh tahun mereka bersama dan Bara sudah tahu apa yang menjadi permasalahan hidupnya beberapa tahun belakangan ini.
“Hhmm, ada solusi gak?” Bastian bertanya pada pria yang berstatus sebagai sahabatnya itu. Sebenarnya dia sudah bertanya beberapa kali, tapi pria itu selalu tak menemukan jalan keluar.
“Ya udah lah, ikutan kencan buta aja!” sentak Bara karena sudah terlalu bosan dengan permasalahan Bastian.
“Gak bisa gitu juga. Gue mesti tau gimana kehidupan cewek itu,” jawab Bastian. “Cari sendiri! Udah berapa kali gue bilang cari. Lu malah sibuk mulu sama kerjaan lu!!” kesalnya.
“Kalau gue gak kerja, gimana lo bisa hidup?” Ya, penghasilan utama Bara berasal dari perusahaan Bastian, itulah kenapa pria itu berkata demikian.
“Abisnya saking sibuknya lo, lo juga gak pernah tau kan masalah lain yang terjadi di kantor? Lo selama ini kerja juga keseringan di rumah.”
Entah karena mood-nya juga sedang jelek atau dia memang sangat sensitif dengan topik yang mereka bicarakan, Bara menaikan nada bicaranya.
“Emang di kantor ada apa?” tanya Bastian mulai tertarik dengan cerita sahabatnya itu. Bara memang benar, dia tak pernah tahu apa yang sedang terjadi di kantornya.
“Anak itu bikin ulah lagi,” jawab Bara sebelum kemudian dia meneguk kopi yang ada di hadapannya.
“Anak itu? Siapa?” tanya Bastian tak mengerti. “Oh iya, sekalian aja. Besok lo ke kantor, tegur dia. Beberapa hari ini kerjaannya gak ada yang beres. Tugas yang gue kasih juga gak dikerjain, bahkan dia telat mulu datang ke kantor.” Bara menjelaskan keadaan yang sedang terjadi.
Kalian pasti tahu siapa yang sedang pria itu bicarakan. Ya, Defira. Beberapa hari lalu gadis itu benar-benar tak melakukan tugasnya untuk survei tempat dan Bara sudah menegurnya.
Tapi sepertinya gadis itu memerlukan sebuah teguran yang lebih dari yang dia sampaikan. Itulah mengapa sekarang Bara meminta Bastian untuk datang ke kantor besok.
“Gue harus tegur dia?” tanya Bastian sambil menunjuk dirinya sendiri. Bara kemudian mengangguk dengan yakin.
“Teguran gue udah gak dia gubris,” ucap Bara. “Kalau gitu langsung out aja dari perusahaan,” jawab Bastian tak ingin mengambil jalan yang rumit.
“Justru itu, dia salah satu karyawan yang berpotensi. Itulah kenapa kita harus pertahanin dia. Sayang banget kalau dia dikeluarin.” Bara mengatakan alasan tak ingin memecat gadis itu.
Bastian berusaha untuk mengerti sahabatnya itu. “Oke, besok gue ke kantor buat coba ngomong sama dia.”
Bara mengangguk. Dia akan menyerahkan hal ini kepada atasannya saja.
Meski Bara sudah mendapatkan solusi, tapi Bastian masih dengan pikirannya. Bagaimana caranya dia bisa membawa seorang wanita ke hadapan orang tuanya dan dia hanya diberikan waktu satu minggu.
Bastian berpikir cukup lama sebelum akhirnya dia memikirkan hal ini. Mungkin jika banyak orang yang mencari, hal itu akan terasa lebih mudah, itu yang ada dalam pikirannya.
Dia mengalihkan pandangannya pada Bara. Bara yang merasa ditatap dengan lekat, ikut memandang Bastian dengan pandangan yang bertanya-tanya.
“Sebagai gantinya, dalam waktu seminggu ini bantu gue cariin cewek buat gue kenalin sama orang tua gue. Gue gak peduli kaya apapun dia, yang penting dia mau ketemu sama orang tua gue seminggu kedepan, setelahnya kita gak bakal ada hubungan apa-apa lagi.”
Seorang Bastian tentu saja tak akan melakukan hal itu secara cuma-Cuma. Pria itu memang sangat malas jika diminta datang ke kantor. Jadi, imbalan seperti ini sepertinya cukup untuk membuatnya bersedia pergi.
“Oke nanti gue bantu cari.” Akhirnya mereka melakukan kesepakatan. Hal itu menguntungkan bagi keduanya.
Setelah mereka menemukan titik penyelesaian dari masalah mereka masing-masing, mereka memilih fokus pada kopi yang sedang mereka nikmati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments