Bara Caleb, seorang anak tunggal dari keluarga Caleb. Memiliki keluarga yang kaya memang anugerah bagi sebagian orang, tapi tidak bagi Bara.
Pria yang memiliki wajah tampan itu sama sekali tak bahagia dengan kekayaan keluarganya. Pria itu justru memilih pergi dari rumah dan berusaha hidup sendiri.
Walau tak dia pungkiri, Bastian adalah seorang malaikat dalam hidupnya. Pria yang berstatus sebagai temannya itu dengan baik hati menawarkan tempat tinggal dan tempat kerja untuknya. Itulah kenapa Bara sekarang berakhir di perusahaan Bastian.
“Hari ini Defira tidak masuk, saya harap kalian bisa handle semua kerjaan dia. Jangan tanya kenapa dia gak masuk, dan jangan bicara macam-macam soal dia,” ucap Bara.
Pagi ini adalah pagi yang sangat panjang bagi Bara. Karena kedatangan Ayahnya ke rumahnya, lebih tepatnya rumah yang dibelikan Bastian untuknya, dia menjadi telat datang ke kantor.
“Baik, Pak,” jawab para karyawan serentak. Mereka memang menjawab seperti itu sekarang, tapi siapa yang tahu isi hati mereka semua ketika mereka tahu mereka harus mengerjakan pekerjaan Defira.
Setelah mendapatkan jawaban dari para karyawannya, Bara kembali ke ruangannya. “Hahh, astaga. Awas aja lo, Bas, sampai gak cerita semuanya sama gue.”
Pria itu mendudukkan dirinya di kursi kebanggaannya, menyandarkan tubuhnya kemudian memejamkan matanya. Dia mencoba mengistirahatkan tubuhnya dari semua hal melelahkan yang terjadi hari ini.
Sementara itu, di luar sana Klara masih sibuk dengan fikirannya. Defira sering sekali tak masuk ke kantor dan dia sama sekali tak tahu alasannya.
"Apa dia baik-baik aja?" tanyanya. Menelpon? Dia sudah melakukannya dan jawaban gadis itu adalah, "aku gapapa."
Klara tak bisa lagi memaksa gadis itu untuk mengatakan yang sebenarnya.
Untuk sekarang dia hanya bisa menunggu hingga Defira kembali ke kantor dan menceritakan semuanya
****
Bastian benar-benar menepati janjinya untuk pergi menemui Defira di rumah sakit. Pria itu berpakaian dengan rapi, karena setelah dari sana dia bermaksud untuk berkunjung ke kantornya.
Pria dengan setelan jas berwarna abu itu terus berjalan menyusuri lorong rumah sakit hingga dia menemukan Defira yang sedang duduk menunggu di sebuah bangku.
Defira yang melihat itu segera bangun dari duduknya menyambut pria yang berstatus sebagai calon suaminya itu.
"Gimana keadaannya udah membaik?" tanya Bastian ketika mereka sudah saling berhadapan.
Defira mengangguk. "Hmm, semalam dia seperti sesak nafas tapi dokter udah tanganin kok," jawabnya.
Bastian sedikit lega mendengar jawaban Defira. " Boleh saya lihat ke dalam?" Bastian memandang Defira berharap gadis itu mengizinkannya masuk.
Devira mengangguk pelan. Mereka berdua berjalan beriringan menuju ke ruangan di mana Dafa berada.
Hal pertama yang bisa dilihat oleh Bastian adalah seorang anak laki-laki dengan kulit pucat yang tengah berbaring di brankar rumah sakit.
Matanya terpejam dengan sebuah perban di pelipis kanannya. Bastian juga bisa melihat jika kaki pria itu dibalut oleh perban dari lutut hingga ke telapak kakinya.
"Dia patah tulang di bagian kaki?" tanya Bastian pada Defira yang dianguki oleh gadis itu.
Bastian bisa melihat jika mata Dafa mulai mengerjap.
"Kak," lirih anak laki-laki itu. Semula dia akan selalu memanggil nama ibunya ketika dia bangun tidur. Tapi sekarang dia sadar jika dia sudah tidak memiliki siapapun kecuali kakaknya.
Devira yang mendapatkan panggilan segera mendekati brankar itu kepala adiknya.
"Kenapa? Ada yang sakit?" tanya Defira perhatian.
Dafa menggeleng dengan pelan sebelum kemudian dia berkata, "aku haus."
Defira mengembangkan senyumnya ketika mendengar ucapan sang adik. Dia tak menjawab perkataan adiknya itu melainkan dia segera mengambil minum yang ada di meja samping pintu.
Ketika Defira melakukan kegiatannya itu, fokus Dafa teralihkan pada seorang pria yang berdiri di hadapannya.
Bastian yang sadar akan hal itu, segera mendekati Dafa dan mengulurkan tangannya.
"Ahh perkenalkan saya Bastian, calon suami Defira." Seolah tak bisa berbasa-basi, Bastian mengatakannya begitu saja.
Alis Dafa berkerut penuturan Bastian. "Kak?" Dafa menoleh pada kakaknya meminta kejelasan tentang hal yang baru saja dikatakan oleh pria asing di hadapannya.
"Nih minum dulu." Defira tak langsung menjawab pertanyaan adiknya itu. Dia memberikan air mineral yang barusan dia bawa.
Daffa meneguk air itu hingga tersisa setengah gelas. "Jadi apa benar?" Dafa kembali bertanya karena dia belum mendapatkan jawaban dari kakaknya.
Defira mengangguk. "Hmm, mungkin dalam waktu dekat kita akan menikah."
Dafa semakin heran dengan semua ini. Selama ini kakaknya tidak pernah mengatakan bahwa dia memiliki kekasih.
"Kenapa mendadak banget?" tanya Dafa.
"Nggak mendadak kok. Kakak cuma belum kasih tahu kamu aja kalau kita udah pacaran lama."
Defira terpaksa berbohong pada adiknya. Karena jika tidak begitu adiknya akan terus bertanya.
Walaupun dengan jawaban Defira yang tidak memuaskan, akhirnya Dafa mengangguk.
Akhirnya dengan jawaban Defira yang seadanya itu, Dafa mencoba untuk menerimanya. Walaupun ada setitik rasa takut di hatinya.
Tentu saja dia takut, setelah beberapa minggu lalu dia baru saja kehilangan orang tuanya dan sekarang dia mendapatkan kabar jika kakaknya itu akan menikah.
Dia takut jika kakaknya akan meninggalkannya dan dia akan hidup sendiri.
"Kalau udah nikah nanti Kakak tinggal di mana?" Sebuah pertanyaan yang tidak Defira duga akan keluar dari mulut adiknya.
Defira bodoh. Ya dia sangat bodoh karena dia tidak memikirkan hal ini.
Oleh karena itu sekarang dia menatap Bastian meminta agar pria itu membantunya menjawab.
"Tenang aja, saya akan beli rumah buat kita tinggal nanti. Dia tidak akan sengsara selama hidup sama saya."
Jawaban yang diberikan Bastian sama sekali tidak memuaskan bagi Dafa. Dia sangat bersyukur jika kakaknya itu tidak akan sengsara selama pernikahannya, tapi bukan itu yang ingin dia dengar.
Daffa menundukkan kepalanya dalam. Raut wajahnya sangat menggambarkan dengan pasti jika dia sangat khawatir.
"Kamu juga ikut sama kita, kita tinggal bersama di rumah itu." Kalimat selanjutnya yang dilontarkan oleh Bastian berhasil membuat Dafa merasa terharu. Ternyata dia tidak dibuang.
Defira yang juga mendengar hal itu ikut merasa lega.
Sebuah senyuman akhirnya terbit di wajah Dafa. "Kakak kenal sama Kak Def dari mana?" Dafa mulai ceria dan bertanya pada Bastian.
Bastian yang tidak ingin menghilangkan senyuman dari anak itu juga menjawabnya dengan senyuman tipis.
"Dia kerja di kantor saya," jawabnya dengan ramah. Mengangguk dengan mulut terbuka membentuk huruf o, pertanda jika dia mengerti dengan apa yang dikatakan Bastian.
Mereka melepaskan rasa canggung dari diri mereka masing-masing dengan mulai membahas topik yang menurut mereka menarik.
"Kapan aku bisa pulang, Kak?" tanya Dafa pada akhirnya. Dia sudah sangat bosan dengan aroma rumah sakit.
"Kakak belum tahu, tapi nanti coba Kakak tanya sama Dokter dulu." Dafa mengangguk mengerti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments