Seperti yang dikatakan Bastian, saat ini pria itu berada di kantornya. Saat masuk ke dalam, matanya dengan spontan melihat ke arah meja Defira.
Kosong, gadis itu tak ada di tempatnya. Bastian heran dengan hal itu, biasanya Defira akan selalu ada di sana dengan dokumen yang ada di hadapannya.
Namun, dia tak berlarut dalam hal itu. “Siang, Pak,” ucap salah satu karyawan yang kebetulan melihat Bastian melewatinya.
“Siang,” jawab Bastian singkat. Dia tak memperpanjang hal itu. Ruangan Bara adalah tujuannya saat ini.
Dia memasuki ruangan itu. Bara yang awalnya sedang fokus pada pekerjaannya sontak menolehkan pandangannya karena tiba-tiba pintu terbuka.
“Loh kok ke sini?” taya Bara pada Bastian. “Emangnya gak boleh? Ini kan kantor gue,” jawab Bastian.
“Gak gitu, kemarin kan lo bilang gak bisa datang ke kantor karena antar adiknya Defira kontrol,” ujar Bara membela dirinya.
“Udah selesai. Defira ke mana? Kok gak ada di tempatnya?” tanya Bastian pada Bara.
“Oh, dia lagi keluar sama Demian.” Bastian mengerutkan keningnya. “Siapa Demian?” tanyanya.
“Salah satu karyawan di sini juga.” Bastian mengangguk. “Terus lagi apa mereka keluar berdua?”
“Kerja lah!” sentak Bara. “Maksudnya kerja ke mana?”
“Survei ke lokasi yang waktu itu kita bicarain.” Bastian mengangguk paham. Kenapa juga harus dengan seorang pria. Kan masih banyak karyawan perempuan yang bisa menemani Defira pergi ke sana.
Bara yang sadar dengan perubahan raut wajah Bastian akhirnya mencoba menjelaskan alasannya kepada pria itu.
“Gue ngirim calon istri lo sama Demian karena emang mereka berdua yang bertanggung jawab atas proyek ini dari sebelumnya. Kalau gue kirim yang lain, nanti kita mulai lagi dari nol. Gak bakal kelar-kelar,” jelasnya.
“Ya udah sih gak apa-apa. Emangnya kenapa sampai harus dijelasin? Mau dia pergi sama siapapun ya gue gak peduli,” ujar Bastian.
Bara tersenyum miring mendengar pembelaan Bastian. Dia tak lagi mendebat ucapan temanya itu. Dia hanya tahu jika Bastian sepertinya cemburu karena Defira keluar dengan Demian.
“Jadi, urusannya sekarang ke kantor apa? Biasanya lebih suka kerja dari rumah lo,” tanya Bara. Sebuah peristiwa yang sangat langka ketika Bastian pergi ke kantor lebih sering dari biasanya.
“Gak ada urusan apa-apa. Mau cek aja, siapa tau kan lo korupsi,” ujar Bastian yang sontak mendapat pukulan ringan di kepalanya.
“Sembarangan lo kalau ngomong. Kalau mau korupsi, gue deketin bokap lo bukan lo. Perusahaan dia lebih besar daripada punya lo.” Bastian terkekeh mendengar jawaban Bara.
Cukup lama mereka saling terdiam satu sama lain. “Liz gak ada kabar lagi?” tanya Bara.
“Ada sih. Tadi dia bilang mau ketemu sama kita malam ini. Lo bisa?” Bastian merasa teringatkan ketika Bara bertanya karena pada dasarnya dia sangat lupa dengan janji itu.
“Bisa. Di mana?” tanya Bara. “Di kafe biasa aja,” jawab Bastian yang kemudian diangguki oleh Bara.
“Jemput gue ya,” pinta Bara pada Bastian. “Hmm.” Mereka sepakat untuk menemui Liz nanti malam. Bukan pertemuan yang begitu penting. Mereka hanya bertemu untuk bermain saja.
****
Di tengah terik matahari, Defira dan Demian berjalan melihat lokasi yang telah diucapkan Bara tadi. Lokasi di sini menurut Defira sangat tepat.
“Kayanya ini bakal bagus,” ucap Defira yang mendapatkan anggukan setuju dari Demian.
“Selain akses yang bagus menuju pusat kota, lokasi di sini juga dekat sama infrastruktur utama,” lanjut Demian.
Mereka terus melihat-lihat, mengamati apa yang menjadi kekurangan dari lokasi ini. Cukup lama mereka berada di lokasi itu hingga matahari hampir terbenam.
“Sudah selesai?” tanya Demian. “Hmm, tapi bisa kita mampir ke minimarket? Aku haus,” ujar Defira.
“Oke.” Mereka menuju mobil mereka. Minimarket tepat berada di depan, namun mereka memilih untuk membawa mobil mereka agar tak perlu bolak-balik.
Demian menghentikan mobilnya di depan minimarket. “Kamu mau sesuatu?” Defira bertanya pada pria itu.
“Enggak. Aku nunggu di sini ya.” Defira mengangguk, dia segera keluar dari mobil. Sementara itu Demian memperhatikan setiap langkah Defira.
“Akhirnya aku punya kesempatan,” ujarnya. Dia mengeluarkan sebuah album foto kecil yang dia simpan di mobilnya, dia melihat setiap potret yang ada di sana.
Hanya ada satu objek yang sama yang dia ambil. Seorang gadis dengan paras yang menawan. Seorang gadis yang saat ini bekerja dan satu mobil dengannya.
“Setelah dua tahun dan aku baru mendapatkan kesempatan itu sekarang?” desisnya yang kemudian diiringi kekehan.
Ya, dia menyukai Defira sejak lama. Gadis itu pula yang menjadi alasan kenapa dia masuk ke perusahaan yang sama dengan Defira.
Tapi sayang, dia terlalu kecil hati untuk mendekati gadis itu secara terang-terangan hingga sebuah berita muncul jika Defira akan menikah dengan Bos mereka.
Hatinya hancur, tapi setidaknya dia masih bisa melihat gadis itu bahagia walau bukan bersamanya.
“Nih.” Defira masuk ke dalam mobil dengan dua botol minuman di tangannya. Dia menyodorkan satu botol pada Demian. Meski pria itu mengatakan tak ingin minum, tapi mana mungkin Defira tega minum sendiri di dalam mobil.
“Ah, makasih.” Demian akhirnya menerima pemberian Defira itu. Setelah meneguk minuman itu, Demian menyalakan mesin mobilnya. Saatnya untuk mereka pergi ke kantor.
Di kantor sudah agak sepi mengingat jam pulang kerja sudah berlalu beberapa menit lalu dan Defira baru saja tiba di kantornya.
“Jangan lupa nanti,” ujar Bastian yang baru saj keluar dari ruangan Bara. Bertepatan dengan itu, dia berpapasan dengan Defira dan Demian.
Gadis itu tersenyum lebar mendengarkan ocehan Demian yang sukses membuat Bastian melayangkan tatapan tajamnya pada Demian.
“Ah, sore, Pak,” sapa Demian pada Bastian dan Bara yang baru saja keluar dari ruangannya.
“Kalian baru balik?” Kali ini Bara yang bertanya. Sementara Defira menunduk dalam setelah mendapatkan pandangan nyalang dari Bastian.
“Iya, Pak.” Bara mengangguk. “Untuk laporannya bisa kalian sampaikan besok. Sekarang pulanglah, hari juga udah sore,” ujar Bara yang kemudian diangguki oleh Demian dan Defira.
“Permisi, Pak.” Defira berucap sebelum kemudian gadis itu hendak berlalu dari sana. “Pulang sama saya.” Suara bariton membuat Defira menghentikan langkahnya dan berbalik.
Dia tersenyum simpul dan mengangguk. Setelah mendapatkan tatapan nyalang dari Bastian, Defira menciut, dia tak berani menolak perintah pria itu.
Demian awalnya melihat percakapan dua orang itu sebelum kemudian Bara yang peka dengan keadaan membawa pria itu pergi dari sana hingga menyisakan Defira dan Bastian.
“Saya ambil barang-barang saya dulu, Pak,” izin Defira yang mendapatkan anggukan dari Bastian.
Defira segera menuju mejanya. Dia membereskan barang-barangnya sebelum kemudian dia membawa tasnya. Bastian di sana masih memperhatikan gerak-gerik gadis itu.
Akhirnya mereka pulang bersama dengan suasana yang sepi sepanjang perjalanan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments