Malam, tepat setelah Bastian berbicara dengan Elina, Ibunya, Bara datang ke rumahnya tanpa memberitahukan apapun padanya.
“Bastiannya ada, Bu?” tanya Bara. Kebetulan sekali malam itu yang membukakan pintunya adalah Elina.
“Lama banget kamu gak ke sini, Bar. Yuk masuk, Bastian ada di kamarnya,” ajak Elina menggiring Bara untuk masuk ke rumahnya.
“Iya, Bara lagi sibuk banget sama kerjaan,” jawabnya. “Kalian itu sama-sama gila kerja ya! Jangan terlalu berkerja keras, sekali-kali main ke sini,” ujar Elina.
Bara tersenyum dan mengangguk. “Mau langsung ke kamarnya atau Ibu panggil dia ke sini?” tanya Elina.
“Langsung ke atas aja, Bu. Ayah di mana? Kok gak keliatan,” tanya Bara ketika sedari dia datang dia sama sekali tak melihat Gibran.
“Di belakang lagi ngopi,” kekeh Elina. Suaminya itu memang tak akan tidur jika masih sore seperti ini. Ya, jam sepuluh malam baginya masih sore.
“Ya udah, nanti Bara sapa Ayah kalau udah selesai ngomong sama Bastian deh,” ujar pria itu yang diangguki oleh Elina.
Setelah selesai dengan percakapan mereka berdua, Elina mempersilahkan Bara untuk naik ke kamar Bastian.
Kini, Bara sudah ada di depan pintu berwarna putih polos. Dia mengetuknya sebelum kemudian dia masuk ke sana tanpa mendapatkan izin dari sang pemilik kamar.
“Apa, Bu?” tanya Bastian dengan posisi yang membelakangi pintu dan tanpa menoleh pada orang itu.
Bastian agak heran ketika tak ada yang menyahut pertanyaannya. Dengan pelan, dia memutar kursinya untuk melihat orang yang datang.
“Loh, ngapain malam-malam di sini?” tanya Bastian ketika dia sudah melihat siapa orang yang baru saja datang itu.
“Ada hal penting yang harus kita bicarain,” jawab Bara. Raut wajah pria itu terlihat sangat marah. Bastian menjadi bingung, apa kiranya yang membuat pria itu menjadi seperti ini.
“Apa?” tanyanya ragu. Tanpa menunggu Bastian mempersilahkannya duduk, pria itu segera duduk di sofa yang ada di kamar Bastian.
“Setelah waktu itu lo ngomong sama Defira, kenapa dia gak ada kemajuan? Malah sekarang dia jarang masuk kerja,” ucap Bara mempertanyakan hal yang selama seminggu ini selalu ada dalam kepalanya.
Bastian menghela nafas. “Gue kira ada apa,” ujarnya. Dia kembali memutar kursinya menghadap layar laptop yang ada di hadapannya.
“Lah, kok gitu sih?” tanya Bara heran melihat tanggapan teman sekaligus bosnya itu.
“Emangnya gue mesti kaya gimana?” tanya Bastian santai. Lagi pula memang dia sendiri yang memberikan izin pada gadis itu.
“Harus ada tindak lanjut lah, masa dia gak masuk kerja tapi tetap dapat gaji,” protes Bara.
Karena enggan mendengar omelan Bara lagi, akhirnya Bastian kembali memutar kursinya menghadap pria itu.
“Gue bakal nikah sama dia,” ucap Bastian tiba-tiba yang membuat mata Bara terbelalak. Tak hanya itu, pria itu juga sampai tersedak ludahnya sendiri.
“Bas, gue gak lagi bercanda ya.” Bara memperingati temannya itu. “Emang gue kelihatan lagi bercanda?” Bastian menaikan sebelah alisnya meminta pendapat Bara.
“Lo serius?” tanya Bara kembali memastikan. “Hhmm,” gumam Bastian sambil kembali memutar kursinya.
“Kok bisa?” tanya Bara masih tak menyangka dengan apa yang dikatakan Bastian. “Gue bakal cerita lain kali. Yang perlu lo tau buat sekarang adalah, mungkin satu bulan ke depan gue bakal nikah sama dia.”
Bara kembali dibuat terkejut untuk kesekian kalinya oleh Bastian. “Oh iya, kalau besok atau kapanpun itu dia gak masuk kantor, jangan permasalahin. Kasih kerjaan dia sama orang lain. Lo juga gak perlu kasih dia gaji lagi, biar gue yang kasih,” ucap Bastian.
“Kerasukan apa lo sampai kaya gini?” heran Bara. Pasalnya temannya itu sudah lama tak mendekati seorang gadis.
Bahkan dia juga sempat mengira jika temannya itu adalah gay. “Setan gay di tubuh gue udah pergi,” jawab Bastian singkat.
“Lain kali lo mesti cerita,” paksa Bara yang kemudian mendapatkan anggukan dari Bastian.
“Itu aja kan yang mau lo omongin? Udah selesai? Gak pulang?” tanya Bastian sarkas.
Bara berdecak ketika mendengar temannya itu mengusirnya. “Mentang-mentang mau kawin, main usir gitu aja,” ucapnya. “Dulu aja, lo nangis-nangis ke gue gara-gara cewek,” sindirnya.
Bastian langsung melayangkan tatapan nyalang pada temannya itu yang dibalas dengan senyuman tak berdosa dari Bara.
“Iya gue pulang sekarang,” ucap Bara sambil beranjak dari duduknya. Dia keluar dari kamar Bastia mandiri tanpa diantar oleh sang pemilik kamar.
Bara berjalan menuju dapur untuk mencari Elina. Awalnya dia akan ke belakang, tapi rupanya Elina ada di dapur dengan segelas susu yang ada di tangannya.
“Loh, Bar, kok cepat banget?” tanya Elina heran. Baru saja pria itu naik ke kamar putranya dan sekarang Bara sudah kembali.
“Iya, Bu. Diusir sama yang punya kamar,” adunya. Hal seperti ini sudah menjadi makanan rutin bagi Elina.
Mendengar Bastian yang bersikap keterlaluan pada Bara dan Bara yang pasti mengadu padanya. “Kasian, besok Ibu marahin dia,” kekehnya.
Bara juga ikut tersenyum mendengar hal itu. Niatnya memang hanya bercanda, tapi jika Elina memarahi Bastian untuknya, itu adalah kesenangan tersendiri baginya.
“Ayah masih di belakang?” tanya Bara sambil melihat ke arah taman belakang. “Hhmm, dia masih di sana. Mau ke sana?” tanya Elina yang kemudian mendapatkan anggukan dari Bara.
“Ya udah yuk,” ajak Elina. Wanita itu menyimpan segelas susu yang semula dia genggam. “Bu, minum dulu aja susunya. Bara gak buru-buru juga kok,” ucap pria itu sebelum Elina benar-benar membawanya pergi ke halaman belakang.
Elina tersenyum lembut sebelum kemudian mengangguk dan meneguk susu itu hingga tandas.
“Yuk,” ajaknya kembali pada Bara yang kali ini diangguki oleh pria itu. Mereka berdua berjalan beriringan menuju halaman belakang.
Di sana, di sebuah kursi ada Gibran yang masih betah dengan iPad di tangannya. Kacamata bertengger dengan nyaman di hidungnya. Jangan lupa secangkir kopi yang menemaninya malam ini.
“Ayah, lagi apa nih? Seru banget kayanya,” ucap Bara ketika tiba di sana. Perhatian Gibran sepenuhnya dia alihkan pada pria yang baru saja datang itu.
Pria yang selama ini sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri. “Loh, kamu? Ke mana aja?” tanya Gibran. Pria paruh baya itu bangun dari duduknya dan memeluk Bara dengan erat dan menepuk-nepuk punggung pria itu.
“Bara sibuk di kantor, Yah. Salahin Bastian yang selalu limpahin kerjaan karyawan sama Bara.” Pria itu kembali mengadu, kali ini pada Ayahnya.
Gibran terkekeh mendengar hal itu. Mereka bertiga kembali duduk setelah itu banyak sekali pembicaraan di antara mereka hingga topik yang sedari tadi ingin ditanyakan Bara akhirnya keluar juga.
“Yah, katanya Bastian bulan depan mau nikah?” tanya Bara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments