Azkira menangis mengingat perkataannya sendiri. Dia tahu, itu pasti akan menyakitkan bagi Fathan, tapi apa mau dikata? Kenangan tentang perlakuan Fathan selalu saja menggerogoti perasaan Azkira dengan kesakitan. Walau di awal waktu pernikahannya, Azkira pernah berujar bahwa dia akan ikhlas menerima setiap takdir yang tertulis untuknya sekali pun itu sangat pahit dan getir. Namun, pada kenyataannya Azkira hanyalah manusia biasa yang bisa marah dan merasa lelah.
"Tolong aku, wahai Sang Pemilik jagad raya. Tunjukkan jalan yang harus aku pilih. Karena ternyata aku lemah dalam menghadapi fase sulit ini. Aku tidak sekuat kelihatannya." Azkira meratap pilu mengadukan nasibnya.
Di sisi lain, di dalam kamar sana. Fathan masih setia dengan guratan sesalnya. Dia terus saja merasa tidak rela andai perpisahannya dengan Azkira benar-benar terjadi. Wajah kusut kini menjadi pemandangan yang tampak pada diri Fathan.
****
Dua hari kemudian ....
Awan cerah meliputi langit usai mendung dan hujan yang berkepanjangan kala itu. Azkira masih berada di rumah neneknya. Sementara, Fathan sudah kembali ke rumahnya tanpa Azkira. Sebab, Azkira bersikukuh untuk tidak ikut pulang bersama, karena dia masih ingin menginap di rumah Nenek Sinta.
"Pagi, Den. Sarapannya sudah siap," ujar Bi Inah menyapa Tuannya.
"Terima kasih, Bi. Tapi saya sedang buru-buru. Untuk Bi Inah saja sarapannya." Fathan pergi tanpa menunggu lagi.
"Aduh, ada apa dengan Den Fathan?" gerundal Bi Inah.
Di tempat lain, Revan tengah bersiap hendak pergi ke rumah Sinta. Dia ke sana untuk mengantarkan hadiah ulang tahun Azkira, yang sudah dikemasnya sejak beberapa hari lalu. Rumah Revan yang bertetangga dengan Sinta pun membuatnya tidak perlu menempuh jarak dan waktu yang lama. Cukup beberapa menit saja, Revan pun tiba di sana.
"Nenek!" Revan menyeru Sinta sembari mengetuk pintu.
"Revan ...." Sinta menatap Revan penuh tanya.
"Untuk Azki, Nek. Ini 'kan hari ulang tahunnya," papar Revan seolah mengerti isi hati Sinta.
"Ya ampun. Kamu selalu ingat, bahkan Nenek saja lupa," ujar Sinta yang lantas mempersilakan Revan untuk masuk.
"Hanya Bang Revan yang selalu ingat pada hari ulang tahunku." Azkira yang tanpa sengaja mendengar percakapan Revan dan Neneknya itu merasa terharu.
Detik kemudian, Azkira menghambur memeluk Revan, yang kala itu tengah duduk di ruang tamu. "Terima kasih, Bang," ucapnya sambil terisak.
"Azki! Kamu masih ada di sini?" tanya Revan. Azkira mengangguk pelan.
Ya! Revan memang tidak tahu kalau Azkira masih ada di sana. Dia mengira kalau Azkira sudah pulang ke rumah suaminya. Sontak saja hal itu membuatnya tak percaya dan kaget ketika mendapati Azkira yang berlari ke dalam pelukannya secara tiba-tiba.
"Abang kenapa tidak pernah bicara pada Azki? Abang marah padaku, ya?" rengek Azkira manja.
Revan mengedip tidak beraturan. Antara senang dan gugup bercampur aduk menjadi satu. Dia senang bisa melihat Azkira kembali seperti dulu. Walau, setelah ini dia tidak tahu lagi apa yang akan terjadi.
"S-siapa yang marah, Azki? Tentu saja Abang jarang bicara denganmu. Kamu 'kan sekarang sudah menikah," terang Revan.
"Sudahlah, lupakan saja. Mana hadiah untukku?" Azkira langsung mengambil sebuah kotak hadiah yang dikemas indah dengan bungkus kado bermotif bunga-bunga. Sementara kotak satunya belum dia ambil.
"Boleh aku buka?" lanjutnya berbasa-basi.
"Tentu saja. Semua itu milikmu, Azki." Senyuman Revan terus mengembang.
Dengan mimik wajah yang bahagia, Azkira terus membuka bungkus kado itu. Sampai akhirnya, hadiah itu pun tampak di depan matanya dengan jelas. "Apa ini, Bang?" tanya Azkira.
"Bukankah kamu pernah memimpikannya? Itu Abang belikan untukmu dari hasil menabung selama satu tahun," urai Revan sambil tertawa kecil.
Sebuah laptop dan beberapa batang coklat yang dikemas dalam dua kotak berbeda. Azkira tidak percaya, bahwa Revan masih ingat keinginannya yang sempat terlontar dari mulutnya dulu. Padahal, waktu itu Azkira hanya asal bicara saja saat mengutarakan keinginannya untuk memiliki sebuah laptop. Tak disangka Revan menanggapi hal itu dengan serius.
"Terima kasih, Bang. Kenapa Abang repot-repot menghabiskan uang tabungan Abang untuk ini?" Azkira kembali memeluk Revan sembari menangis haru.
Azkira memang sangat dekat dengan Revan, tapi dia menganggapnya tidak lebih dari seorang kakak. Sampai detik ini, Azkira tidak tahu bahwa Revan memiliki perasaan yang lebih terhadapnya. Hingga kesempatan untuk menyatakan perasaannya pada Azkira telah terlambat, Revan pun memilih untuk tetap mencintai Azkira, meski hanya dalam diam dan bungkam.
"Apa kamu suka hadiahnya?" lontar Revan sembari melepas pelukan Azkira.
"Tentu saja Azki suka, Bang. Bukan tentang hadiahnya, tapi tentang perhatian Abang yang ternyata jadi orang satu-sutunya yang masih ingat pada ulang tahun Azki."
"Benarkah? Apa suaminya tidak tahu kalau hari ini Azkira ulang tahun?" batin Revan.
Mereka tidak menyadari. Sejak tadi ada sepasang mata yang memperhatikan mereka berdua. Ya, Fathan sudah berdiri di ambang pintu dengan sebuah buket bunga di tangannya. Pria tampan itu menatap Azkira dan Revan dengan perasaan tak menentu. Mungkin dia sedang terbakar api cemburu. Atau, mungkin saja dia sedang memikirkan hal yang lain.
"Nak Fathan! Kenapa tidak masuk? Ayo kemari, Nak." Sinta yang baru muncul dengan beberapa minuman dan makanan yang dibawanya dari dapur, langsung menyambut Fathan.
Sementara itu, Azkira dan Revan cukup terkejut dengan kehadiran Fathan yang tidak mereka ketahui. Keduanya tampak saling menatap penuh kebingungan. Namun, akhirnya dari ketiga orang yang tengah sama-sama kikuk itu mulai mencairkan suasana.
Fathan masuk dan langsung menghampiri Azkira sambil memberikan buket bunga di tangannya. "Maafkan aku, Sayang. Aku datang sedikit terlambat," ucap Fathan yang tidak ragu memberi kecupan mesra di kening Azkira.
Azkira menjadi salah tingkah dan malu. Terutama pada Revan yang juga menyaksikan hal itu. Sedangkan Revan sendiri, dia hanya tertunduk saat adegan yang merobek jantungnya itu berlangsung.
Tidak lama berselang, dua orang kurir datang membawa cake ulang tahun yang besar. Tentu saja, Fathan yang sudah memesannya. Sambil tersenyum Fathan memberi isyarat pada kurir pengantar cake itu untuk masuk membawa pesanannya.
"Selamat ulang tahun, Istriku." Fathan mencium Azkira sekali lagi. Kali ini tepat di bibirnya.
Ada yang berkobar di dalam dada Revan. Itu adalah Api cemburu yang membakar hati dan perasaannya. Yang lebih menyakitkan adalah, dia tidak bisa protes atau marah pada Fathan. Karena Fathan memang suami sah dari Azkira.
Kendatipun demikian, Azkira masih menunjukkan sikap canggung dan kakunya. Bukannya senang, Wanita itu justru terlihat risih saat Fathan berulangkali memeluk dan menciuminya. Berbeda dengan Fathan yang tidak perduli akan hal itu. Satu yang Fathan inginkan adalah memberitahukan pada siapa saja bahwa Azkira adalah miliknya. Hanya miliknya seorang.
****
Fathan membawa Azkira pulang ke rumah pada malam harinya. Kini mereka berdua sudah ada di kamar. Walau masih sama-sama diam dan tidak bicara sepatah kata pun juga.
"Kamu masih marah padaku?" kata Fathan pada akhirnya.
Azkira mengangkat pandangannya pada Fathan, kemudian menggelengkan kepalanya. Memang dia sedang tidak marah, melainkan jengah. Pemilik mata coklat dengan bulu mata lentik itu, kemudian menunduk kembali.
"Soal pria yang selalu ada itu-"
"Namanya Revan!" potong Azkira.
"Oke! Mengenai dia ... aku akan percaya padamu, walau tetap saja aku tidak suka melihat istriku dipeluk atau memeluk pria lain," ungkap Revan sambil memindai wajah Azkira yang enggan melihat padanya.
"Memangnya kenapa aku tidak boleh memeluk kakakku sendiri?" ketus Azkira.
"Karena biar bagaimanapun, dia bukan kakak kandungmu, Azki. Dan percayalah, tidak ada hubungan persahabatan yang murni antara laki-laki dengan perempuan. Salah satu di antara keduanya pasti ada yang memiliki perasaan lebih dari sekedar itu. Dan percaya atau tidak, aku melihat cinta di mata pria itu untukmu."
"Jangan merasa paling tahu tentang hidupku. Lagi pula, memangnya kenapa kalau dia punya cinta untukku? Apa itu masalah bagimu? Atau ... kamu menginginkan semua orang berbuat sama denganmu tehadapku? Tidak mencintai, bisanya hanya memaki, menuduh, menghina, merendahkan, menyakiti perasaanku tanpa mau perduli, dan memaksakan kehendak, begitu?" celoteh Azkira menggebu-gebu.
"Shiiit! Kenapa dia tidak paham juga pada maksudku? Apa dia tidak merasakan kecemburuanku?" cicit Fathan di dalam hati.
"Aku lelah. Aku ingin tidur!" tandas Azkira sembari membenamkan diri ke dalam sebuah selimut tebal.
"Lihat saja, Azki! Kamu akan tidur atau aku tiduri." Fathan menggumam sambil mengancam.
Bersambung ....
Mohon tinggalkan jejak dukungannya, ya, teman-teman. Terima kasih. 🙏❤🖤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Vita Zhao
Jangan kasar lagi sama Azki ya Fathan 🔪
2022-11-16
1