Azkira berlari sampai ke luar rumah dan dia langsung menaiki ojek. "Tolong ke antar saya ke Teluk Hijau, ya, Pak," ujar Azkira pada tukang ojek tersebut.
Sementara itu, Fathan yang kehilangan jejak hanya bisa berdiri di depan gerbang rumahnya dalam keadaan masih bertelanjang dada. "Arrrggghh! Cepat sekali dia perginya," cicit Fathan frustasi. Lantas, dia masuk kembali ke dalam rumah.
Dengan perasaan masih menahan hasrat yang belum sempat tersalurkan, Fathan berjalan menuju kamar untuk berganti pakaian. Kemudian, mata Fathan tertuju pada sebuah tas selempang milik Azkira. Dia pun meraih tas itu dan membawanya duduk di single sofa.
"Dia pergi tanpa membawa apapun, bahkan tasnya sendiri?" gumam Fathan.
Ada rasa penasaran yang mendorong Fathan untuk membuka tas selempang tersebut. Dengan perlahan, akhirnya Fathan membuka dan melihat isi di dalamnya. Mata Fathan terbelalak saat melihat ada sebuah frame kecil yang menampilkan potret keakraban Azkira dengan Revan.
"Pria ini, apa mereka benar-benar lebih dari sekedar teman? Kenapa mereka kelihatan akrab sekali?" gerundal Fathan sambil memasukkan kembali benda itu ke dalam tas, dengan sedikit kasar.
"Jika sampai terbukti dia memiliki hubungan dengan pria lain, lihat saja! Apa yang akan aku lakukan padanya!" lanjut Fathan seraya bergegas pergi dari sana.
Sementara itu, Azkira sudah sampai di sebuah danau, di mana tempat itu disebut Teluk Hijau. Dia turun dari ojek usai membayar jasanya. Syukurlah, karena dia masih mengantongi sejumlah uang di dalam saku celananya.
"Huuuft! Hampir saja aku tertangkap oleh Suamiku yang munafik itu," cetus Azkira sembari menghela napas lega. Dia terus berjalan hingga ke tepi danau.
Tiupan angin terdengar riuh menggoyangkan ranting pohon dan dedahanan. Azkira memejamkan matanya, menghirup udara danau yang menyegarkan. "Keadaan danau ini masih sama seperti dulu. Keadaan dirikulah yang sudah berbeda. Aku bukan lagi gadis belia dengan hati dan jiwa yang bebas lagi ceria. Melainkan, aku adalah seorang istri yang tidak pernah diharapkan, tidak juga dicintai. Sebuah kemalangan yang sangat sempurna," ujar Azkira seraya mengulas senyum dengan perasaan hati yang perih.
Di danau yang sama, namun di sisi yang berbeda. Terlihat seorang pria yang tengah berdiri dengan tatapan lurus ke danau. Ya, dia adalah Revan. Dia datang ke danau itu untuk mengobati rasa rindunya pada Azkira. Mengingat, danau itu memang biasa mereka kunjungi bersama sewaktu dulu, saat Azkira belum sibuk dengan hidup dan pekerjaannya.
"Aku ingat, saat itu kamu masih memakai seragam sekolah. Kamu menangis karena temanmu menuduhmu menukar buku PR-nya. Kemudian, kamu datang padaku untuk mengadu. Dan aku mengajakmu ke sini, ke danau ini untuk menghiburmu. Sambil memberikan es krim dan coklat kesukaanmu. Lalu, dengan polosnya kamu berkata 'untuk es krim dan coklat semanis ini aku tidak menyesali tuduhan yang dilakukan temanku itu padaku'. Lalu, kita tertawa bersama. Melupakan semua rasa yang menyakiti hati dan perasaan kita. Aku tidak tahu lagi, Azki. Mungkinkah waktu tertawa bersamamu akan terulang kembali, atau selamanya hanya akan menjadi kenangan yang membuatku semakin merasa kehilangan? Aku tidak tahu."
Revan bicara sendirian. Memutar ulang kenangannya bersama Azkira, yang tanpa dia sadari terenyata orang yang dia rindukan itu juga sedang berada di danau yang sama. Hanya posisi mereka saja yang berbeda. Bahkan, mereka sedang menatap ke arah yang sama. Memandangi hijaunya air danau yang selalu mereka suka.
****
Hingga sore hari, Azkira masih belum pulang juga. Fathan berulangkali menatapi jarum jam yang semakin bergulir menuju waktu malam. Tapi untuk apa? Apa dia menunggu Azkira pulang? Bukankah seharusnya dia tidak perduli? Entahlah, mungkin dia sedang penasaran pada hubungan Azkira dan Revan, lalu ingin menanyaknnya.
"Huuuh, kemana wanita menyebalkan itu?" dengus Fathan yang kala itu sedang duduk di ruang tengah rumahnya.
[Suara dering telepon berbunyi dengan sangat nyaring.]
Revan melihat layar ponselnya dan tertera deretan nomer yang tidak dikenal di sana. "Siapa yang meneleponku dengan nomer baru?" gumam Fathan.
[Halo,] jawab Fathan saat mengangkat panggilan telepon itu.
[Nak, Fathan. Ini Nenek Sinta. Azkira ada di sini, tapi dia tidak mau bicara apapun. Sejak tadi dia hanya diam dan mengurung diri di dalam kamar,] adu Sinta pada Fathan.
"Oh, jadi dia pergi ke rumah neneknya," batin Fathan.
[Begitu, ya, Nek. Begini saja, biar Fathan menjemputnya ke sana,] balas Fathan.
[Baik, Nak Fathan. Nenek sangat mencemaskan keadaannya,] sambung Sinta.
[Jangan khawatir, Nek. Nenek tunggu saja, Fathan akan ke sana,] ujar Fathan yang tampak bicara di telepon sambil mondar mandir.
[Terima kasih, ya, Nak.]
Fathan hanya tersenyum, lalu menutup teleponnya. "Merepotkanku saja! Apa sebenarnya yang dia mau?" Fathan mendengus kesal.
"Bi Inah!" seru Fathan pada asisten rumah tangganya.
Tidak berapa lama, Bi Inah pun menghampiri Fathan. "Iya, Den Fathan. Ada apa, Den?" tanyanya.
"Saya mau pergi sebentar. Nanti tolong siapkan makan malamnya setelah saya dan Azkira pulang saja," ujar Fathan.
"Baik, Den." Bi Inah menagangguk patuh.
Tanpa menunggu lama, Fathan langsung bergegas menjemput Azkira dengan membawa mobilnya. Dia pergi dengan sejuta kemelut yang berkecamuk dalam pikiranya. Antara tanggung jawab, atau karena dia sangat penasaran dan ingin berbuat lebih gila lagi pada Azkira. Entahlah, saat itu semuanya begitu campur aduk bagi Fathan.
Beberpasa saat kemudian, Fathan pun sampai di ruman Sinta, atau neneknya Azkira. Tampak Sinta langsung menyambut kedatangan Fathan di depan pintu. Wanita berumur itu mempersilakan Fathan untuk duduk menunggu di ruang tamu.
"Nenek panggilkan dia dulu," ucap Sinta seraya melenggang menuju kamar Azkira.
"Azki, Fathan datang menjemputmu, Nak." Sinta bicara dengan sangat lembut.
"Apa? Dia ke sini? Untuk apa? Tahu dari mana dia kalau aku ada di ini?" batin Azkira tersentak mengetahui keberadaan Fathan di rumah Neneknya.
"Nenek, apa Nenek memberitahu dia kalau aku ada di sini?" tanya Azkira yang semula hanya diam saja.
"Apa yang salah dengan itu? Fathan berhak tahu keberadaanmu. Kamu 'kan istrinya. Kalau dia khawatir padamu bagaimana?" tandas Sinta.
Azki menepuk jidatnya. "Ya ampun, Nenek. Nenek tidak tahu saja bagimana bejadnya dia. Nenek sudah melakukan kesalahan dengan mengatakan keberadaanku padanya," batin Azkira sembari meringis.
"Azki, keluarlah, Nak. Temui suamimu. Jangan biarkan dia menunggumu terlalu lama." Sinta terus saja membujuk Azkira agar mau keluar dari kamarnya untuk menemui Fathan.
"Huuuft! Lihat saja, dia pasti akan bertambah besar kepala setelah melihatku menemui dirinya!" cicit Azkira, yang akhirnya menurut pada bujukan Sinta.
Dengan langkah kaki ragu, Azkira berjalan menuju Fathan. Dan tampaklah wajah Pria yang sudah menunggu itu sedang membawa tatapan matanya pada Azkira. Azkira hanya memalingkan wajah seakan enggan melihat pada Suaminya tersebut.
Fathan menyeringai licik. "Sayang, kenapa tidak bilang kalau kamu ingin pergi ke rumah Nenek? Aku 'kan bisa mengantarmu," tutur Fathan tanpa diduga.
"Lihatlah! Dia bahkan memulai actingnya di depan Nenekku," hardik Azkira di dalam hati.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Sulis Tiyono
kabur sih ke nenek dasar
2022-12-31
1
Vita Zhao
aku sangat membencimu fathan.
2022-11-10
1