Dua hari lagi adalah hari ulang tahun Azkira. Revan sudah menyiapkan hadiah untuk Azkira sedari beberapa hari yang lalu. Meski Azkira kini sudah tidak sama lagi dengan Azkira yang dulu, yang bisa dia sayangi tanpa terhalang rasa cemburu, tetapi Revan tidak pernah lupa pada hari di mana Tuhan menghadirkan sosok Azkira ke dunia. Walau Revan tidak bisa memiliki raga Azkira, dia berharap kesempatan untuk menaruh segenap rasa sayang dan cintanya pada wanita itu masih ada. Sakit memang, mencintai tanpa balas. Namun, memilih untuk tetap mencintai adalah keputusan yang Revan ambil sendiri.
"Mungkin hari ini aku hanya bisa mencintaimu dalam kesakitan. Semoga saja, suatu saat aku bisa mencintai dan dicintai olehmu dalam suka cita. Jika pun tidak, tak mengapa aku terima. Mungkin batinku harus puas dengan cinta tanpa balas. Aku tidak pernah meyesali keputusanku ini." Revan bicara pada sebuah benda mati yang bernama kenangan, berwujud foto yang menampilkan potret wajah Azkira dan juga dirinya.
****
"Nak Fathan, Azki, bagaimana keadaan kalian?" lontar Sinta membuka dialog, sesaat setelah duduknya mulai santai.
"Kami sangat baik, Nek. Hanya saja, Istriku yang manja ini selalu saja tidak bisa berlama-lama jauh dari Nenek," jawab Fathan sembari terus menatap lekat pada Azkira.
"Ciihh! Dasar pembohong. Aku rasa kepiawaiannya dalam berbohong perlu diberi penghargaan yang besar. Ya! Lihat saja, akan kuberi dia hadiah atas semua perbuatannya yang penuh kepalsuan itu," maki Azkira di dalam hati.
"Syukurlah kalau begitu. Maklumi saja, Azkira memang sangat manja." Sinta menyunggingkan senyuman terbaiknya.
"Nenek, aku ingin istirahat di kamarku." Azkira langsung berlalu tanpa menunggu persetujuan dari siapa pun.
"Apa dia merepotkanmu selama ini, Nak?" tanya Sinta pada Fathan, setelah Azkira tidak terlihat lagi.
"Ahh, tidak juga, Nek. Dia beradaptasi dengan baik di tempat tinggalnya yang baru." Revan memuji Azkira. Entah jujur atau tidak, yang jelas kalimat itulah yang keluar dari mulut Fathan saat itu.
"Baiklah, Nak. Kalau kamu lelah istirahatlah saja bersama Azkira. Nenek masih harus menyelesaikan sesuatu di dapur," ujar Sinta.
"Ya, tentu saja. Terima kasih, Nek."
"Memang itu yang aku tunggu-tunggu. Menyusul istriku ke kamarnya." Fathan melanjutkan dengan suara gumam yang sangat pelan.
Setibanya di kamar Azkira, Fathan melihat Wanita cantik itu tengah memandangi sebuah foto keluarga yang menampilkan seorang gadis kecil beserta kedua orang tuanya. Fathan mendekati Azkira sambil turut menatap pada potret itu. Lalu, secercah senyum terbias di bibir Fathan.
"Mereka kedua orang tuamu, dan gadis kecil itu adalah kamu, benar?" terka Fathan membuat Azkira terkejut dengan kehadirannya itu.
"Ya!"
"Apa kamu merindukan mereka?" tanya Fathan. Dia seakan tidak perduli pada Azkira yang tampak malas bicara dengannya.
"Setiap saat, terutama di waktu-waktu terpurukku. Aku merindukan sosok Ayahku, yang selalu mendidikku untuk berani dan kuat. Aku juga merindukan sosok wanita hebat seperti Ibuku, yang selalu mengajarkanku untuk mengalahkan egoku dengan sabar yang luas dan keikhlasan yang dalam. Tapi, aku sendiri tidak tahu apakah aku bisa seperti mereka atau tidak? Terkadang aku merasa lelah dengan jalan hidup yang harus aku hadapi ini," beber Azkira.
"Apa dia sedang benar-benar bersedih?" pikir Fathan sambil duduk mendekat pada Azkira.
"Emm, Azki. Sebenarnya aku ingin-"
"Oh, ya. Jika ingin memakai kamar ini untuk istirahat, maka silakan saja. Aku mau membantu Nenek dulu." Azkira menjeda kalimat Fathan yang masih belum selesai bicara.
Fathan membuang napas kasar. "Ya, terima kasih. Tapi, Azki ... bisakah kita bicara sebentar?" kata Fathan berusaha agar Azkira tetap tinggal.
"Bukankah kamu punya waktu sepanjang sisa hidupmu untuk bicara denganku. Ya, tentu saja. Bicara denganku, istri yang tidak pernah pantas untuk kamu hargai," sindir Azkira sambil tersenyum getir.
"Baiklah, aku memang bersalah, tapi tolong dengarkan aku dulu, Azkira."
"Selama aku denganmu, bukankah aku sudah cukup menjadi pendengar yang baik untukmu, Bang? Apakah masih kurang? Bahkan, aku rela menerima kemalangan karena menjadi pendengar yang tidak pernah diberi kesempatan untuk didengar."
"Azkira, tolong jangan bicara seperti itu," mohon Fathan.
"Apa selain tidak berhak didengar, aku juga mulai dilarang untuk bicara sekarang?" Azkira seakan meluapkan segala isi hatinya pada Fathan, yang telah lama dia pendam.
"Bukan begitu, Azki." Fathan tampak kehabisan kata-kata untuk menimpali Azkira.
Azkira menghela napasnya dengan panjang. "Jika aku begitu hina di matamu, aku memberimu kebebasan untuk melepaskanku. Kurasa akan sangat mudah bagimu mencari orang yang lebih pantas dan sepadan untuk membersamaimu. Aku bukanlah orang yang kamu mau, juga aku tidaklah setara denganmu yang jauh di atasku segala-galanya."
Entah mengapa mendengar kata-kata Azkira saat itu membuat Fathan sedih. Perasaan Fathan bagai dikoyak dengan paksa. Hatinya seolah tidak rela jika harus melepaskan Azkira.
"Perasaan macam apa ini? Kenapa hatiku sakit sekali mendengar semua perkataan Azkira baru saja? Apakah aku telah jatuh cinta padanya? Mengapa aku sangat tidak rela mendengar kata-kata yang mengisyaratkan perpisahan dengannya?" Banyak pertanyaan yang bertengger di benak Fathan kala itu.
Tanpa terasa air mata Fathan lolos begitu saja. Azkira pun dapat melihatnya dengan jelas ketika hal itu terjadi. Ya, pria angkuh yang biasanya pandai memaki dan berbuat sesuka hati itu kini tengah menunjukkan kelemahannya di hadapan Azkira.
"Aku permisi," pamit Azkira.
"Azki, maafkan aku," ungkap Fathan sembari mendorong tubuh bagian belakang Azkira, hingga lebih merapat padanya.
"Kamu berhak marah padaku atas semua perlakuan burukku padamu, tapi tolong beri aku maaf dan kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku. Aku mohon, Azkira." Fathan semakin merapatkan pelukannya.
Azkira hanya diam. Perasaannya terlalu rumit kala itu. Dia tidak mengerti, bagaimana harus berikap dalam menghadapi semua yang terjadi. Sebab, harga diri dan perasaannya terlanjur terluka sangat dalam oleh perbuatan dan kata-kata Fathan selama ini.
"Aku permisi dulu," ulang Azkira melepaskan pelukan Fathan.
Fathan hanya bisa menangis tanpa suara tatkala melihat Azkira bergegas pergi dari kamar itu. "Inikah balasan untuk semua hal bodoh yang pernah aku lakukan padanya? Sakit sekali, Tuhan." Fathan meratapi kesedihannya.
Bersambung ....
Mohon dukungannya, ya, teman-teman. Jangan jadi silent reader please. Karena support kalian dalam bentuk like, komen, dan juga vote serta gift sangatlah berarti bagi othor. Terima kasih. ❤🖤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Vita Zhao
Rasain luh fathan, emang enak😌
2022-11-14
3
Jumi Saddah
semangat thor,,,💪💪💪
2022-11-14
1