Pertemuan
Hana termenung duduk seorang diri di dalam kamarnya. Felix telah terlelap dengan nyaman diatas ranjangnya. Hana tentu saja hanya bisa memandang putranya, dengan senyum lembut yang hanya ada untuk Felix.
Kejam kah diri Hana?
Itulah satu tanya yang Hana tujukan pada dirinya. Hana merasa ia tak adil pada Felix. Kasih sayang seorang ayah yang seharusnya Felix dapatkan dari Tirta, tidak Felix dapatkan akibat keegoisan dirinya. Ya, Hana merasa dirinya sangat egois kali ini.
Tetapi takdir tak ada yang tahu. Bahkan sekali pun Hana melawan, namun takdir tetap membawanya pada situasi untuk jauh dari Tirta. Andai dirinya saat itu tak meninggalkan kediaman Tirta, Hana tak berani jamin Felix akan tumbuh sehat hingga hari ini.
Hana tak bisa membayangkan, bila ia mengandung dan tetap tinggal di rumah Tirta yang Tirani itu. Mungkin kandungannya akan mati akibat Hana tertekan dan stress. Tekanan demi tekanan yang saat ini Hana ingat, membuat Hana muak dan semakin benci saja pada Tirta.
Keputusan untuk pulang, Hana sudah sangat yakin. Akan tetapi, Hana tak yakin apa ia mampu menghadapi Tirta. Inilah yang menjadi beban tersendiri bagi Hana.
'Terkutuklah, kau Tirta.'
Batin Hana.
Tangisnya pecah dan air matanya berderai. Saat tengah sendiri di dalam kamar, tanpa teman, Hana selalu menghabiskan waktunya dengan menangis. Terlebih, saat ia mengingat si Tirta itu. Hatinya teriris dan tersayat pilu.
Pintu diketuk dari luar. Tentu saja Hana beranjak dan menghapus air matanya itu. Seperti biasa, Hana tak ingin siapa pun melihatnya terpuruk dalam kesedihan. Sayangnya, Hana tak pandai dalam menutupi suatu hal.
"Ada apa, Nara?" Tanya Hana setelah pintu terbuka. Nara muncul dengan dandanan yang sudah cantik.
"Turunlah, kak Gihana. Papa sedang ada tamu dan meminta kak Hana untuk menemuinya. Jangan khawatir, papa sudah ada disana." Jawab Nara.
Hana hanya mengernyitkan kening sebagai tanda tak mengerti.
"Tamu? Tamu siapa?" Tanya Hana kemudian.
"Aku tak tahu namanya. Hanya saja, dia .... Ah sudahlah. Aku sulit menjawabnya. Ayo cepat turun dan temui langsung. Oh ya, mana Felix?" Tanya Nara.
"Felix sedang tidur. Semalaman dia sangat rewel." Ungkap Hana kemudian.
"Ya sudah. Aku akan berangkat ke sekolah sebentar lagi. Cepat turun dan temui papa. Aku akan lewat pintu samping yang terhubung dengan garasi. Sopir sudah menungguku." Ungkap Nara.
"Ya sudah hati-hati di jalan. Oh ya, bekal makan siangnya? Sudah?" Tanya Hana.
"Sudah. Pelayan yang menyiapkan. Jangan khawatir. Aku berangkat dulu, bye." Ujar Nara sambil berlalu setengah berlari. Gadis itu menuruni tangga, dan menghilang dengan cepat.
Hana mengintip felix sekali lagi, memastikan Felix masih terlelap sebelum kemudian ia berlalu pergi dari sana. Hana sangat penasaran akan tamu yang di maksud oleh Nara.
Alangkah terkejutnya Hana, ketika dirinya tiba di lantai bawah ruang tamu. Matanya melotot dengan sempurna, ketika mendapati sosok yang selama ini ingin Hana singkirkan dari hidupnya.
Mata Hana bersirobok mata sang tamu. Jantungnya terasa diremas dengan lilitan tak kasat mata. Dunia Hana seolah hancur saat ini.
Tirta berdiri dari kursinya, ketika ia mendapati Hana terpaku dengan wajah yang menampakkan raut benci, sekaligus jijik. Pria itu menatap datar Hana, namun memiliki euforia dalam hatinya saat melihat Hana tetap baik-baik saja.
Sejenak, dunia seolah berhenti berputar. Masing-masing, baik Hana maupun Tirta, keduanya sama-sama bungkam, menyisakan Kara yang tersenyum kecil melihat situasi canggung dan panas dalam waktu bersamaan.
Hana hendak berbalik dan kembali ke kamar, ketika suara Kara mencegah langkahnya berlanjut. Sungguh, harusnya Tirta sudah tidak bisa melacak rumah Kara dan menemukannya di tempat ini. Namun nyatanya, Tirta datang dengan niat yang entah apa. Hana tak tahu.
"Kemari dan duduklah dulu, Hana. Tirta datang jauh-jauh untuk bertemu denganmu." Ungkap Kara kemudian.
Hana kembali menatap Kara di tempatnya, menyampaikan maaf tanpa kata, karena ia tak ingin bertemu dengan Tirta hingga saat ini. Mata Hana sudah berkilat penuh murka, saat melihat sosok Tirta yang berdiri dengan tenang, sebelum ia kembali duduk di kursi tempatnya semula.
"Aku tak ingin menemuinya, om. Tolong Usir dia pergi. Aku tak ingin diriku kembali menjadi istrinya yang bodoh dan mudah ditindas." Jawab Hana dengan nafas yang naik turun.
Emosi Hana tak terkontrol. Dirinya tak mampu meski hanya sekedar melihat Tirta. kebenciannya sudah terpupuk subur akibat ulah Tirta sendiri. Sumpah demi Tuhan, Hana benci dengan situasi macam ini.
"Ada aku. Jangan khawatir," Kara menatap Tirta dengan sorot tegas dan pembawaan yang berwibawa.
"Jika dia berani bermacam-macam denganmu, tanganku sendiri yang akan memotong lehernya." Janji Kara.
Tirta tak menciut nyalinya. Apapun rintangannya, lelaki itu sudah memutuskan untuk menghadapi dan menerjangnya. Nyatanya, hidup tanpa Hana, membuat Tirta tak mampu berpikir normal. Ia seolah kehilangan fokus dan dunianya.
Itu fakta.
Tak ingin membantah lagi orang yang telah berjasa menolong Hana dari Tirta, Hana segera melangkah mendekat. Wanita itu sudah bisa mengendalikan dirinya.
Sedang Tirta. Sedikit pun ia tak melepaskan pandangan sedikit pun dari Hana. Hana semakin cantik meski tubuhnya lebih kurus dari saat pertama kali Tirta bertemu dengannya.
Kara yang ingin keduanya lebih leluasa berbicara, segera bangkit dan berlalu. Ia tak ingin mencampuri urusan rumah tangga Hana dan tirta, tentu saja. Kara lebih cenderung memberi privasi, dan waktu untuk keduanya bicara dari hati ke hati, selepas perpisahan dua tahun.
"Katakan apa tujuanmu menemuiku." Ucap Hana kemudian.
"Aku tak memiliki banyak waktu untuk berbasa-basi." Tambahnya kemudian.
"Apa kabar?" Tanya Tirta lirih. Rasa bersalah pelan-pelan membuat Tirta kehilangan kepercayaan dirinya.
"Tanyakan yang penting-penting saja. Kabarku tentu bukanlah prioritas utama untukmu, bukan?" Tanya Hana dengan nada sarkas.
"Dimana anak kita?" Tanya Tirta lagi.
"Tidak ada. Dia sudah mati." Hana menjawab serta membuang pandangannya.
"Jangan berbohong, Hana. Katakan siapa namanya. Aku adalah ayahmu, seburuk apapun aku di masa lalu. Tolong, jangan hukum aku dengan cara seperti ini. Aku mohon .... " Ungkap Tirta. Kalimatnya terkesan karena ia tengah berusaha mengontrol hatinya yang mulai kehilangan kendali.
"Aku mohon maafkan aku. Aku telah berubah dan aku datang untuk memperbaiki semua, menebus dosa, dan juga telah menerima hukuman darimu."
Hana tertawa keras kemudian. Wanita itu tertawa bebas dan tak peduli suaranya menggema dan terdengar di telinga Kara yang tengah duduk di ruang keluarga, tak jauh dari ruang tamu dan tertutup tembok tanpa pintu.
"Apa katamu? maaf? Hukuman? Astaga? Kemana iblis yang ada dalam dirimu itu?" Tanya Hana kemudian. Wanita itu menatap Tirta dengan tatapan yang tajam.
"Aku tak percaya kau merasa terhukum karena kepergianku."
"Bagaimana bila aku katakan bahwa aku sangat mencintaimu, Hana?" Tanya Tirta.
"Sumpah demi tuhan, Tirta. Aku tak percaya." Jawab Hana dengan mata berkilat penuh murka.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments