Kepindahan
"Kemasi barang-barang berharga milikmu, Hana. Kita akan pulang ke rumah baru sekarang. Pakaian dan segalanya yang tak terlalu berharga, akan dikemasi oleh pelayan nanti. Bawa dompet dan ponselmu saja." Ucap Tirta, saat sore ini Tirta baru saja tiba.
Entah kemana perginya Tirta seharian. Sore ini Tirta datang dengan penampilan kusut. Kemeja yang sebagian sudah keluar dari celana, dua kancing kemeja atas terbuka, serta rambutnya yang acak. Yang Hana ingat, dirinya yang menangis dan tertidur di lantai, tiba-tiba pindah di atas ranjang. Pastilah Tirta yang memindahnya.
"Bukankah jatah di hotel ini masih 5 hari lagi?" Tanya Hana datar. Ia tak akan menangis, juga tak akan membuang waktunya untuk meratapi nasib.
Tirta menatap lekat istrinya itu, membiarkan tatapan dalamnya membius Hana.
"Kau masih ingin tinggal disini? Tak apa, aku akan pindah dan kau bisa bermalam di hotel ini seminggu." Ujar Tirta kemudian. Lelaki itu masuk ke dalam kamar mandi, sebelum kemudian akhirnya membersihkan diri. tak membiarkan Hana melanjutkan kalimatnya.
Sikap dan ucapan Tirta yang dingin seperti ini, membuat Hana kembali mengelus dada. Semakin bertambahnya waktu, Hana merasa bahwa ia semakin membenci Tirta.
Dengan langkah malas, Hana meraih tas tangan satu-satunya yang ia bawa. Wanita itu juga nampak muram. Rumah baru yang Tirta maksud, adalah neraka baru bagi Hana. Hana yakin, hidup dan gerak-geriknya tak akan sebebas kemarin-kemarin.
Tirta mendesis tak suka ke arah istrinya.
"Kau ini manusia atau siput? Kenapa lama sekali? Wanita selalu merepotkan dan suka membuang waktu berharga." Ujar Tirta, yang baru keluar kamar mandi, dan hanya membalut tubuh bawahnya dengan handuk.
Diam-diam, Hana meneguk salivanya dengan susah payah, berusaha meredam gejolak muda yang panas tengah menguasai dirinya. Bulir-bulir air yang jatuh dari rambut Tirta, hingga ke dada dan perutnya, membuat Hana cukup gelisah.
Sialan.
Bahkan iblis seperti Tirta, membuat Hana nyaris mati karena sesak dan panas.
"Untuk apa memaki diriku? Kau sendiri belum berganti pakaian!" Hardik Hana yang kesal.
"Aku tak akan lama sepertimu yang seperti bebek tua." Ujar Tirta.
Hana sudah lelah untuk berdebat saat ini. Bahkan dirinya sudah siap dan hanya tinggal keluar kamar, namun Tirta mengatainya lama. Dengan malas, Hana duduk di tepi ranjang, membiarkan Tirta berganti pakaian, hinga keluar dari ruang ganti dengan memakai jam tangan mahal, yang Hana ketahui itu produk edisi terbatas.
"Ayo." Ajak Tirta. "Kau harus bersikap layaknya bahagia dengan pernikahan ini, Hana. Ingat, kau jangan memperlihatkan bahwa pernikahan ini tidak aku inginkan. Keluar dari kamar ini, kau jangan pernah jauh dariku hingga tiba di rumah baruku." Tambahnya dengan tanpa perasaan.
"Kau gila, Tirta. Kau gila. Bagaimana mungkin kau tega dan kejam begini? Rupanya, kebaikanmu di hadapan keluarga eyang Radhi Praja Bekti hanyalah sebuah topeng yang penuh kepalsuan. Aku menyesal menerima pinanganmu." Teriak Hana.
Plakk.
Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi kiri Hana yang mulus. Di saat Tirta kelelahan akibat banyak aktivitas yang menguras tenaga, Hana memancing amarah Tirta ke permukaan. Sialan memang.
"Kau berani berteriak padaku? Sudah aku katakan, kau jangan pernah berani padaku!" Hardik Tirta kemudian.
"Sumpah demi tuhan, Tirta. Aku membenci lelaki tua sepertimu." Ucap Hana, dengan tangis berderai dan suara memilukan.
"Aku tak peduli." Jawab Tirta, seraya menarik tangan Hana dan menggenggamnya kasar. Lelaki itu lantas memaksa Hana keluar, dengan saling bergandengan tangan. Memperlihatkan kepalsuan pada semua orang.
"Hapus air matamu, atau aku yang akan menghapusnya dengan bibirku."
Ya Tuhan. Hana tak mengerti. Tirta berasal dari jelmaan iblis yang seperti apa.
**
Ada beberapa pelayan dan pengawal yang kini tengah sibuk berwara-wiri, di kediaman baru Tirta yang ia tempati bersama Hana. Beberapa dari mereka, sibuk menata pernak-pernik perabotan hiasan, dan juga beberapa guci dan bunganya yang sangat serasi.
Rumah bercat putih dan di dominasi warna emas dan coklat tua di bagian jendela itu, kini tampak indah. Hanya saja, tidak bagi Hana yang merasa bahwa ini adalah neraka penuh siksaan.
"Ayo, ikut aku ke kamar utama." Ajak Tirta kemudian. Lelaki itu terlihat lebih segar, dengan kemeja berwarna violet, dan celana bahan berwarna hitam.
Tak menjawab, Hana lebih memilih untuk diam dan mengekor di belakang Tirta. Dan ketika kakinya menjejak di kamar utama, satu kata yang Hana sematkan untuk kamarnya dan Tirta. Megah.
"Ini kamar kita Hana. Ingat. Jangan berulah dan jangan pernah membantahku. Aku bisa lebih lembut padamu, jika kau bersikap baik di hadapanku. Peraturan di rumah ini untukmu sebagai istriku, kau tidak boleh keluar rumah tanpa seizinku. Kau juga boleh mengunjungi kedua orang tuamu, satu kali dalam satu bulan. Hanya orang tuamu. Tidak untuk yang lain. Nanti, ada pengawal yang sudah aku persiapkan untukmu, yang akan mengawal kemana pun kau pergi." Kata Tirta, setelah ia duduk di sofa bed bersama Hana.
"Iya." Hanya itu yang bisa Hana ucapkan. Untuk membantah dan melayangkan protes, Hana khawatir Tirta akan menerkam tubuhnya kasar, seperti yang sudah-sudah. Apalagi, saat ini mereka berada di dalam kamar.
"Ambil ini, untuk biaya perawatan tubuhmu, dan juga keperluan harianmu. Jajan dan segala makan, semua akan diurus oleh kepala pelayan disini, Haikal." Ucap Tirta, dengan sebuah kartu ATM berwarna hitam.
"Ingat, setiap pengeluaranmu, terpantau olehku. Tak masalah jika kau menghabiskan uangku untuk membeli tas branded, sepatu ternama, atau pakaian mahal lainnya, asal tidak kau pakai untuk membayar lelaki untuk memuaskanmu di ranjang." Tambah Tirta lagi.
"Kau pikir aku wanita murahan?" Tanya Hana yang tak bisa menahan mulutnya yang sulit ia kontrol.
"Aku hanya belajar dari kisah masa laluku yang sering di khianati, Hana. Jangan memandangku sebelah mata, aku tak akan sedingin ini, jika dulu tak dipermainkan oleh wanita. Sudah aku katakan, jangan membantah." Sahut Tirta dengan tatapannya yang tajam menghunus nyali Hana.
"Ya. Aku akan lakukan sesuai interupsi darimu, paduka raja." Kata Hana setengah menyindir Tirta.
Tirta merasa lelah jika harus berdebat dengan Hana saat ini. Lelaki itu lantas bangkit berdiri, membuka jam tangannya dan meletakkannya di atas meja rias mahal, berbahan kayu jati tua, bercat putih yang di hiasi ukuran berwarna emas di sudut kaca dan pinggiran meja.
"Basuh tubuhmu, Hana. Aku ingin kau melayaniku setelah ini. Jangan membantah dan banyak bertingkah. Beri aku hiburan setelah seharian aku lelah beraktivitas." Ucap Tirta kemudian.
Hana menatap horor Tirta. Apa katanya tadi? Jadi, melayani Tirta diatas ranjang, adalah sebuah hiburan baginya?
Dasar hiper ****.
Umpat Hana dalam hati. Sungguh, ia semakin membenci lelaki itu.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments