Episode 11

Kembali jatuh cinta

Lima bulan sudah berlalu semenjak kepindahan Hana ke rumah Tirta. Tak banyak yang berubah, semua masih sama, termasuk Tirta yang masih sedingin es kutub Utara.

Berbagai cara, Hana berusaha untuk meraih hati Tirta, dan juga mencoba untuk menaklukkan laki-laki itu. Tapi apa yang terjadi? Berbagai umpatan dan juga makian, Tirta layangkan untuk istrinya itu.

Dua bulan terakhir, Hana memilih diam dan menjadi pihak yang pasif. Ia sudah lelah dan memutuskan berhenti berjuang menaklukkan Tirta, hanya dalam tempo waktu tiga bulan saja.

Tak hanya itu. Hana bahkan lebih banyak mengalah, dan itu tak urung membuat ego Tirta sebagai pria, tergores seketika.

Sama seperti saat mereka masih berada di fase sebagai pengantin baru, Hana selalu menerima perlakuan dingin dan menyakitkan dari Tirta. Suaminya itu menjatuhkan mentalnya, hingga ke titik paling rendah. Membuat Hana merasakan di titik neraka yang paling menyakitkan.

Tirta. Lelaki itu tak hanya memukul sebagian kecil raga Hana, melainkan juga menghajar mental Hana habis-habisan.

Seperti malam ini misalnya.

"Hana, aku ingin mandi dan aku ingin kau menggosok punggungku."Ujar Tirta datar. Seperti biasa, setelah lembur, Tirta akan selalu mencari gara-gara dengan Hana.

Biasanya, Hana akan membantah dan akan menyuruh Tirta untuk menggosok punggungnya sendiri. Sayangnya, Hana mengangguk dan tak banyak membantah. Tirta sangat kesal dibuatnya.

"Ayo." Ajak Hana yang tak ingin berlama-lama menunggu Tirta.

"Kau tak ingin membantah?" Tanya Tirta yang tengah membuka kancing kemejanya satu persatu.

"Membantah aku salah, tak membantah pun aku selalu salah di matamu." Ucap Hana pelan.

Tirta merasa tak puas dengan jawaban istrinya itu. Pria itu lantas menatap istrinya lekat. Baru kali ini, Tirta melihat Hana tampak pucat, tanpa polesan sedikit pun warna lipstik di bibirnya. Aneh, begitulah pikir Tirta.

Biasanya, Hana selalu suka dengan polesan make up dengan warna berani alias mencolok. Tapi lihatlah hari ini, Hana tampak lain. Tatapan matanya tampak sendu dengan raut wajah yang tampak lelah. Bukankah semua pekerjaan rumah sudah ditangani oleh pelayan?

Tirta penasaran.

"Hana, kau menyerah di bawah kendali diriku?" Tanya Tirta dengan raut dingin. Tangannya terulur mencengangkan dagu Hana, menariknya agar Hana mendongak menatapnya.

Dengan kasar, Hana menepis tangan Tirta dan menatap berani lelaki itu.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang, Tirta? Aku menurut pun, mengapa selalu terlihat salah dan hina di matamu?" Tanya Hana kemudian.

"Karena kau memang ditakdirkan selalu salah di mataku." Ucap Tirta dingin, berusaha menahan emosinya.

"Bunuh saja aku kalau begitu, Tirta! Jika membunuhku kau bisa puas, aku bersedia mati di tangan bajingan sepertimu. Sumpah demi tuhan, aku membencimu hingga ke ulu hati terdalam ku." Teriak Hana dengan lantang.

*Plakk

Plakk

Plakk*

Tiga tamparan, mendarat tepat di kedua pipi mulus Hana, hingga di tamparan terakhir, Hana terlempar di atas ranjang. Mata Tirta penuh amarah. Kilatnya seolah menyambar dan hendak menumbangkan siapa saja.

Sepanjang kemarahan Tirta, baru kali ini Hana merasakan sakitnya ditampar hingga tiga kali berturut-turut. Baru kali ini pula Hana merasakan denyutan paling nyeri di dadanya.

Hana menderita.

Dengan sekali gerakan, secara spontan Tirta baik ke atas ranjang, dan mencekik leher Hana. Tak terlalu kuat, namun cukup membuat Hana kesulitan meraup oksigen.

"Dengarkan aku, istriku tercinta. Jangan pernah meminta kematian padaku. Tidakkah kau takut aku akan mengabulkannya? Harusnya kau cukup cerdas dan tidak memancing amarahku. Dari awal, aku sudah memperingatkan dirimu. Apa telingamu tuli?" Tanya Tirta dengan Geraman marah, dan wajahnya yang memerah akibat murka.

Hana membuka mulutnya untuk bernapas. Wajahnya sudah memerah akibat kurangnya asupan oksigen. Matanya terbuka sempurna dengan air matanya yang deras mengalir.

Dan saat Hana tak menepis tangan Tirta, melainkan justru ia memegangi perutnya yang terasa nyeri, maka saat itulah Tirta terpaksa melepas tangannya dan turun dari ranjang, masih dengan mata yang berkilat penuh murka.

"Kau ... Kau benar-benar, lelaki tirani, Tirta." Gumam Hana lirih. Suaranya sangat pelan hingga Tirta mendengarnya hanya serupa bisikan. "Kau tirani."

Tanpa mendengar dan menimpali Kalimat Hana, Tirta berlalu pergi, meninggalkan kamar dan menemui kepala pelayan, Haikal. Niatnya untuk mandi, urung akibat Hana yang selalu berhasil memancing emosinya.

"Haikal, panggil dokter Ida kemari. Suruh dia memeriksa kondisi Hana. Sepertinya Hana sedang sakit." Ujar Tirta kada Haikal, yang kebetulan sedang berada di ujung tangga.

"Baik, tuan. Ada lagi, tuan?" Tanya Haikal datar. Lelaki yang bekerja sebagai kepala pelayan itu, menunduk dalam dan memberi hormat.

"Panggilkan Johan agar segera datang ke ruangan kerjaku." Perintah Tirta. Haikal hanya mengangguk menyanggupi. Setelahnya, lelaki itu berlalu pergi begitu saja dari sana.

Tirta segera ke ruang kerjanya. Lelaki itu perlu mendinginkan otaknya untuk bisa meredam amarahnya. Saat Hana memintanya untuk menghabisinya, Tirta merasa tak terima. Hasrat ingin membunuh itu ada. Entah penyakit apa, yang jelas Tirta enggan untuk berkonsultasi ke psikolog.

"Tuan memanggil saya?" Tanya Johan, saat ia masuk ke dalam ruang kerja majikannya. Bisa Johan rasakan, suhu ruangan seolah berubah dingin dalam sekejap.

"Ya. Duduklah." Ujar Tirta.

"Han. Gihana ingin aku membunuhnya. Bagaimana menurutmu?" Tanya Tirta tanpa berbasa-basi.

"Apa, tuan?" Tanya Johan. Pemuda itu lantas mendudukkan tubuhnya dengan lembut ke arah sofa empuk.

"Dia menyerah menghadapi aku. Menurutmu, aku harus bagaimana? Mengembalikan Gihana pada keluarganya, sama saja aku bunuh diri dan menghancurkan bisnisku lewat jalur utama. Tapi aku tak bisa menghabisi Hana seperti aku menghabisi Anita. Kau tahu, Han? Sudut hatiku yang lain, aku tak ingin kehilangan Hana. Apa menurutmu, itu normal?" tanya Tirta kemudian.

Selain Joshua dan Ronnie yang mengetahui pembunuhan sadis Anita yang dilakukan Tirta, Johan juga mengetahui semuanya dari cerita Tirta sendiri.

'Itu normal, tuan. Yang tak normal itu, perlakuan jahat andai pada nyonya Hana, dan mudah menghabisi wanita.'

Gumam Johan.

Johan tak segera menjawab. Alih-alih menjawab, Johan hanya mengerjapkan matanya beberapa kali.

Johan tahu dan kenal betul bagaimana karakter Tirta yang kejam dan tak bernurani. Tirta layaknya Dewa tirani yang terlahir tanpa hati. Jika seseorang menantang Tirta agar membunuhnya, Tirta tentu akan melakukanya. Hanya saja, mendengar bahwa Tirta mengatakan tak ingin kehilangan istrinya, ini seperti di luar nalar. Sulit dipercaya.

"Apa maksud tuan tak bisa kehilangan Nyonya Gihana?" Tanya Johan cukup cerdas.

"Entah. Aku sendiri tak mengerti. Jika boleh aku ceritakan satu hal, aku mudah marah pada Hana. Hanya saja, ada sudut hatiku yang lain, merasa keberatan melihatnya tersakiti. Tapi bagaimana lagi?" Ungkap Tirta pada Johan.

"Saya rasa, anda hanya terlalu keras pada nyonya Gihana, tuan. Maaf jika anda merasa tak nyaman dengan pernyataan saya." Jawab Johan kemudian.

"Menurutmu, mengapa aku bisa begini?" Tanya Tirta lagi.

"Menurut saya, sepertinya andai kembali jatuh cinta, usai tragedi delapan tahun lalu, yang terjadi pada mendiang nona Anita." Jawab Johan, membuat Tirta memucat ditempatnya.

**

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!