Episode 17

Felix Harraz Rahardja

Di sebuah rumah megah yang menjulang tinggi, seorang wanita tengah asik makan buah anggur di gazebo teras belakang. Mata wanita itu berbinar penuh kebahagiaan, saat menatap putra semata wayangnya yang tengah bermain mobil-mobilan dalam jumlah yang banyak.

Felix Harraz Rahardja, adalah nama yang Gihana sematkan pada putranya yang berusia nyaris satu setengah tahun itu. Satu-satunya buah hati yang membuat Hana kuat bertahan hingga saat ini, meski ia membenci setengah mati ayah dari putranya, Tirta Rahardja.

Melihat Felix, percayalah, Hana selalu mengingat suaminya hingga saat ini. Entah bagaimana kabar ayah Felix saat ini, Hana tak peduli. Hanya tinggal menunggu waktu saja, sampai Hana siap dan kembali pulang ke negaranya, menggugat cerai Tirta dan lepas dari jerat bayang-bayang kebencian.

Diperhatikannya wajah Felix dengan seksama oleh Hana. Tubuh balita itu cukup padat berisi dengan pipi yang menggembung sempurna. Kulitnya yang putih bersih serupa Tirta, membuatnya menjadi sedikit kemerahan bak kelopak bunga sakura, saat berjemur di bawah terik sinar matahari.

Sempurna. Itulah kata yang tepat disematkan pada Felix. Ya tuhan. Hana benar-benar bersyukur bisa memiliki Felix.

Mata Felix sangat sipit, dengan pandangan yang tajam. Alisnya cukup tebal dengan bentuk lurus dan sedikit lengkungan di bagian ujungnya. Rambutnya hitam legam sekelam malam. Rahangnya setegas Tirta, dengan hidung yang tinggi. Bibirnya ... sumpah demi tuhan, tak ada bedanya dengan Tirta, bak pinang dibelah dua

Meski mirip sekali dengan Tirta, Hana tak pernah membenci putranya itu. Ada banyak hal yang membuat Hana luluh, dan entah karena apa. Yang jelas, Hana tak pernah memiliki keinginan untuk membalas dendam pada Tirta.

"Felix, jangan kau banting-banting begitu. Ya tuhan, Opa Kara pasti akan sedih jika mainan yang ia belikan untukmu, kau hancurkan dalam sekejap. Oh, astaga." Hana mengeluh seorang diri sesekali. Entah berapa kali Kara dan putri bungsunya, Nara, membelikan mainan untuk felix, dan berakhir hancur.

"Ta ta ta ... bum ... bum bum ... "Felix bergumam bebas. Salivanya tampak tercecer akibat ia suka berceloteh riang. Ya Tuhan, Hana sangat bahagia melihat Felix yang tumbuh cerdas saat ini.

Dari arah pintu penghubung dapur dan teras belakang, Kara muncul dengan setelan kemeja putih dan jas hitamnya. Celana bahan hitam, membalut kakinya yang jenjang dan mempesonanya.

"Kenapa menggerutu, Hana? Ada apa dengan Felix?" tanya Kara pada Hana. Lelaki itu lantas duduk di gazebo, melepas sepatunya dan segera meraih Felix yang asik bermain.

"Astaga, Felix. Kau menghancurkan mainanmu lagi." Imbuhnya.

"Oh, maaf, Om, Kara. Felix memang suka membanting mainannya." Sahut Hana merasa tak nyaman.

"Tak apa. Kau tahu, bahkan Giovanni juga lebih parah dari Felix. Lain waktu, Felix harus bertemu Gio. Ngomong-ngomong, apa kau tak ingin kembali ke Negara kita?" Tanya Kara tiba-tiba.

Bukan karena tak ingin menjadi tempat penampungan Hana selamanya. Kara justru lebih bahagia karena di rumah, Nara tak akan kesepian. Hanya saja, biar bagaimana pun dua tahun adalah waktu yang cukup menghukum suami Hana. Begitu pikir Kara.

Lagi pula, dengan memberikan perlindungan untuk Hana, Kara merasa bisa sedikit menebus dosanya di masa lalu, atas kejamnya pada Dita. Memberi Hana perlindungan, bukanlah hal yang besar bagi Kara yang memiliki kekuatan yang luar biasa.

"Ingin sebenarnya, om Kara. Hanya saja, aku belum siap. Aku sudah rindu mama dan papaku. Tapi aku mungkin memang harus menekan keinginanku itu." Jawab Hana kemudian.

"Karena Tirta sebagai alasanmu?" Tanya Kara yang mendapat anggukan dari Hana.

"Jangan takut. Tirta tak akan berani bermacam-macam padamu. Bukan aku tak suka kau ada disini, bukan aku merasa di repotkan olehmu dan Felix. Justru kau dan Felix, membuat Nara tak lagi kesepian di rumah ini. Mamanya sibuk melakukan perjalanan yang sering dari sini dan mengunjungi cucu. Hanya saja, aku juga memikirkan tentang masih rumah tanggamu."

"Lalu, menurut om Kara, aku harus bagaimana?" Tanya Hana kemudian.

"Kembali dan selesaikan masalah kalian. Ada Felix yang juga memiliki hak mendapatkan kasih sayang dari Tirta. Jangan karena ego, kau dan Tirta mengorbankan perasaan anak kalian. Lagi pula, Tirta sudah banyak berubah. Percayalah." Jawab Kara kemudian.

Hana termenung di tempatnya. "Benarkan dia sudah berubah, om Kara? Rasa-rasanya, Hana tak percaya. Di dalam dada ini, aku sangat membencinya. Membenci hingga setengah mati." Jawabnya.

"Baru setengah mati. Belum sepenuhnya mati." Kara terkekeh renyah. Ia memaklumi bagaimana perasaan Hana. "Aku hanya tak ingin kau menjadi pecundang, nak. Kau sudah berjuang banyak untuk tak mengusik putraku. Ayahmu juga bahkan pernah membantu menyelamatkan Aksa dari Penculikan John. Kau sudah seperti anakku sendiri. Hanya saja, kiranya sampai kapan kau akan berlarut-larut dalam masalah? Tidakkah kau ingin menyelesaikannya?" Tanya Kara lagi.

"Ingin. Hanya saja .... " Hana tak mampu menjawab.

"Jangan khawatir. Aku berani bertaruh, Tirta sudah berubah sepenuhnya dari sikapnya yang dulu. Ingat satu hal, setiap orang, bukankah mereka memiliki kesempatan kedua?" Tanya Kara.

"Ya. Tapi aku tak menginginkan Tirta untuk menjadi suamiku lagi, om Kara." Tukas Hana dengan suara lirih.

Hening. Baik Kara maupun Hana, keduanya sama-sama diam. Hana masih bergelut dengan kesakitan yang Tirta berikan. Berbeda dengan Kara yang merasa ia perlu membantu Hana. Baik untuk lepas dari Tirta, maupun untuk bersatu dengan Tirta.

Pada dasarnya, untuk urusan rumah tangga, Kara bukanlah seseorang yang akan dengan mudah ikut campur. Membantu Hana pun, tersebab putranya yang memiliki andil besar perjodohan Hana dan Tirta.

"Lalu, keputusanmu bagaimana?" Tanya Kara, setelah keduanya terjebak dalam kebisuan yang lumayan panjang.

Hana menatap kosong Felix yang masih asik bermain. "Aku tak tahu, om. Hanya saja, aku semakin tak kuat saja karena harus menahan kerinduan pada mama dan papa. Andai aku pulang ke rumah mama, apakah Tirta akan menemukan aku?" Tanya Hana kemudian.

"Itu sudah pasti, Hana. Cepat atau lambat, Tirta pasti akan mengendus keberadaan dirimu dan Felix." Jawab Kara skeptis.

"Bisakah bila seandainya, aku datang sembunyi-sembunyi?" tanya Hana lagi.

Kara tentu saja tertawa renyah mendengarnya. Pembawaan tegas dan dingin lelaki itu, kini tak lagi terlihat seperti dulu.

"Itu tak mungkin. Jangan takut pada Tirta. Percayalah, aku akan tetap memberimu perlindungan." Janji Kara.

"Akan aku pikirkan." Tukas Hana kemudian.

Ada banyak hal yang perlu Hana pertimbangkan. Sebersit tanya tiba-tiba muncul di kepala Hana. Bisakah Hana memusnahkan kebencian pada suaminya sendiri? Kebencian itu, bahkan sanggup memorakporandakan hati Hana yang rapuh.

**

Terpopuler

Comments

kalea rizuky

kalea rizuky

tolol benci ya benci g usa kasian

2024-09-13

0

💓💖Bunda Chafas💖💓

💓💖Bunda Chafas💖💓

ngomong benci di bab ini nti di bab berikut nya author bikin Hana Bucin akut ke laki nya trus lupa dg siksaan dari awal nikah. Kasihan wanita di Novel sering di jadikan samsak dan di siksa lahir batin

2023-03-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!