Pelacur pribadi.
Dalam sebuah rumah tangga, pahit manis badai ujian selalu ada. Beberapa orang menganggapnya bahwa itu adalah hal biasa, namun tidak bagi Hana yang sore ini merasakan tubuhnya remuk redam, remuk tak berbentuk, padahal usia pernikahannya baru sehari.
Menikah dengan pilihan orang yang Hana cintanya, janji akan kebahagiaan dan hidup damai, nyatanya hanya sekedar bualan semata. Nyatanya, Hana harus berenang menyeberangi lautan penderitaan.
Sore yang melelahkan, Hana menatap Tirta dalam. Lelaki yang menjadi suami Hana itu, tertidur pulas dengan memiringkan tubuhnya menghadap Hana. Meski tak memeluk Hana, namun alam bawah sadar lelaki itu, nampak suka bila menghadap ke arah Hana.
Dengan air mata yang terus berderai, bibir yang terkatup rapat, Hana berusaha bangkit dan menuju kamar mandi. Beruntung, handuk yang tadi Hana kenakan, tidak teronggok jauh dari wanita itu, di lantai dekat ranjang.
Usai membersihkan diri, Hana berganti pakaian berupa dress rumahan berwarna kuning pucat. Sangat serasi dengan kulit Hana yang putih bersih. Niat hati, Hana ingin ke balkon, namun urung saat pandangannya terfokus pada Tirta yang mendengkur halus.
'Kau menang sangat tampan, Tirta. Sayangnya, mulut dan hatimu itu tak setampan wajahmu.'
Batin Hana, yang berlalu pergi begitu saja dari ranjang.
Tampak jelas di pelupuk mata, senja ini terlihat semakin sempurna. Siluet merah keemasan, semakin menambah daya tarik tersendiri. Langit tampak cerah dan berseri, yang berbanding terbalik dengan wajah Hana yang bermuram durja.
Tiba-tiba, Hana teringat akan kedua orang tuanya. Rindu seolah menggelayut di hati Hana. Ingin menangis, tapi Hana sudah terlalu lelah. Bahkan tubuh Hana seolah lantak oleh permainan ganas Tirta. Kasar dan penuh dengan paksaan. Menuntut dan penuh perhitungan.
Dalam diam, Hana memejamkan matanya. Wanita muda itu menikmati hembusan angin sore yang menyejukkan. Rasanya damai, tubuh dan jiwanya seolah menyatu dengan alam.
Dan ketika membuka mata, Hana terperanjat kaget. Wanita itu mendapati Tirta sudah berdiri di sampingnya, dengan sama-sama berpegangan pada pagar balkon yang terbuat dari teralis besi bercat putih.
"Kau? Kenapa tidak bersuara?" Tanya Hana, yang terasa tidak penting bagi Tirta.
Hana merasa, ia tak mendengar suara apa pun sejak tadi. Bahkan suara langkah kaki pria itu, tak sedikitpun mengusik Hana.
Tirta, datang tanpa suara, juga pergi selalu dengan meninggalkan luka.
"Itu tak penting." Jawab Tirta tanpa merasa bersalah.
Hana diam di tempatnya, mengukur banyak tanya yang tak berani ia keluarkan. Hana terlalu takut, kata-katanya nanti hanya akan menimbulkan kemarahan lelaki itu.
"Hana, kau tak risih dengan sikapku padamu selama ini?" Tanya Tirta, membuat Hana terdiam dan mencerna tanya suaminya itu.
"Bukan hanya sekedar risih. Tetapi aku membenci dirimu dan sikapmu yang selalu menyakiti aku." Jawab Hana.
Pandangan mata wanita itu menatap lurus ke arah langit senja, membiarkan separuh wajahnya diterpa sinar matahari yang nyaris tenggelam di ufuk barat.
Sejenak, Tirta menatap Hana intens. bayangan bulu mata samar Hana yang bergetar, menjadi pusat perhatian Tirta. Itu adalah kesamaan Hana dan Anita, sama-sama memiliki bulu mata lentik.
"Bagaimana jika seandainya, kau ditakdirkan hidup selamanya dengan lelaki yang memiliki kecacatan moral sepertiku?" Tanya Tirta kemudian. Lelaki itu masih tetap tak membuang pandangannya, setia menatap Hana dalam-dalam.
"Mungkin satu atau dua tahun, oh tidak. Satu atau dua bulan ke depan, aku memilih bunuh diri sebagai pelarian." Ungkap Hana.
Hana menatap kosong hamparan langit, membiarkan kehampaan melanda hatinya. Dulu ia pikir, mendapatkan pangeran Praja Bekti dengan cara curang, adalah sesuatu yang membuatnya bahagia. Alih-alih menjalankan rencana, ia justru dikirim pada sosok lelaki yang lebih kejam dari pria yang di cintanya itu.
Tirta bahkan sanggup membungkam kekasihnya untuk selamanya. Satu fakta yang berhasil menampar telak kesadaran Hana, bahwa Tirta adalah seorang pembunuh berdarah dingin.
"Kau yakin?" Tanya Tirta santai.
"Ya. Siapa pun yang berada dibawah tekanan psikopat gila sepertimu, aku yakin semakin bertambahnya waktu, dia akan kehilangan daya keinginan untuk hidup. Mengapa, Tirta? Mengapa kau menikahiku jika kau hanya ingin aku menderita? Bukankah kita tak pernah memiliki keterkaitan di masa lalu? Apa aku pernah menyinggung dirimu di masa lalu?" Tanya Hana.
Manik mata wanita itu menatap Tirta penuh emosi. Antara sedih, takut, bercampur kecewa. Kecewa karena apa, Hana tak tahu tepatnya.
"Alasannya tak sesederhana yang terlihat, Hana. Aku ingin, kau tetaplah menjadi penurut untukku. Jangan membantahku, dan jangan mendebatku jika kau ingin kau dan keluargamu selamat. Ingat, hidupmu sudah tergadai padaku. Jika sedikit saja kau berani berulah, akan aku pastikan kau tak akan selamat dariku." Jawab Tirta sambil membuang pandangan, ke arah langit yang nyaris gelap.
"Kalau begitu, aku ingin kita berpisah, Tirta. Aku tak mencintaimu. Biarkan aku pergi dan kau bisa terbebas dariku, yang kau benci tanpa alasan." Pinta Hana serius.
Alih-alih marah, Tirta justru tertawa renyah. Tawa yang begitu lepas, hingga berhasil membius Hana. Saat tertawa begini, Tirta terlihat jauh lebih tampan dari sebelumnya. Oh astaga, Hana tak sadar dirinya kini terjebak dalam pesona pria berbahaya dan sanggup mematikan seperti suaminya itu.
"Kau? Kau meminta perpisahan dariku? Astaga, apa aku tak salah dengar?" Tanya Tirta sambil berusaha mengendalikan tawanya.
"Ya. Aku tak ingin hidup dalam kesakitan hati yang tak bertepi." Jawab Hana. Masih setia menatap Tirta, menjajaki pandangannya pada setiap lekukan pahatan sempurna yang tuhan miliki.
Bola mata hitam yang Tirta miliki, demikian sangat dalam, bak kegelapan di langit malam yang tak memiliki ujung dan pangkal. Luas dan menyeret Hana pada perasaan yang sulit Hana artikan.
"Kau yakin? Setelah kau menyandang gelar sebagai nyonya Rahardja, apa kau yakin ada lelaki yang bersedia menerimamu apa adanya? Latar belakang mendiang nenekmu yang menjadi simpanan tuan besar Adi Prama, apa itu terdengar baik?" Tanya Tirta.
Hana memucat di tempatnya. Bahkan rahasia sebesar itu, yang selama ini disembunyikan dari dirinya, Tirta telah mengetahuinya. Orang seperti apa, Tirta sebenarnya?
"Dan juga latar belakang ibumu yang menggunakan intrik kotor untuk mendapatkan tuan Azkara, apa kau yakin, akan ada lelaki yang bersedia mempersuntingmu? Belum lagi dengan kebobrokan statusmu yang terlahir diluar pernikahan. Apa kau yakin akan ada lelaki tulus yang akan menerimamu?" Sambung Tirta lagi.
Tubuh Hana limbung dan nyaris terjengkang ke belakang seketika, akibat syok. Wanita itu bahkan tak memiliki sedikit pun tenaga untuk menopang tubuhnya sendiri.
"Ka ... kau ... ?" Hana tak sanggup berkata-kata. Suaranya mencicit lirih. Alih-alih menolong, Tirta justru menertawakan Hana dan tatapannya mengejek.
"Apa yang tidak aku tahu tentang masa lalumu dan latar belakangmu? Hanya identitas lelaki masa lalumu saja yang tak aku ketahui, lelaki yang sudah mendahului suamimu ini diatas ranjang." Ucap Tirta sebelum berlalu pergi.
Hana tak kuat. Namun wanita itu berusaha kuat dan mengejar suaminya, dengan secuil keberanian yang tersisa.
"Apa maumu, Tirta?" Teriak Hana dengan bibir bergetar. Matanya nyalang menatap Tirta.
Tirta membalikkan badan, menatap datar Hana, dengan kedua kepalan tangannya yang ia sembunyikan di kedua sisi kantung celana.
Menatap kecantikan istrinya, membuat Tirta muak dan mengingatkan dirinya pada tragedi tewasnya Anita di tangannya sendiri.
"Jangan banyak bertingkah, Hana. Semenjak Daniel Atmadja menyerahkan dirimu padaku, maka saat itu pula, kau resmi menjadi pelacur pribadiku."
Jawab Tirta dan kembali melangkah menjauh meninggalkan kamar hotel.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Novie Achadini
kabur aja hana
2023-04-14
0
Vera Mahardika
oh si hana dislong alias gadis bolong. siapkh cowo yg udh merawanin si hana
2022-11-10
1