Episode 12

Kehamilan

Di dalam sebuah kehidupan, akan selalu ada yang namanya rasa sakit, kepedihan, penderitaan, dan juga kesengsaraan. Bak nestapa yang seolah mampu mengoyak hati seseorang, Hana kini merasa bahwa dirinya akan mati dalam waktu singkat.

Perlakuan kasar dan penyiksaan batin yang Tirta lakukan padanya, membuat daya hidup Hana, seolah menghilang sedikit demi sedikit, membiarkan Hana terjebak dalam penderitaan dan luka yang berkepanjangan.

Seorang dokter perempuan menghampiri Hana, mencoba untuk bersikap ramah dan peduli terhadap Hana. Sikapnya yang sangat ramah, membuat Hana merasakan kehangatan yang selama lima bulan ini sangat ia rindukan, datang padanya.

"Selamat malam, nyonya Rahardja. Saya dokter Ida, dokter pribadi tuan Tirta yang mendapat kepercayaan dan mandat, untuk memeriksa kondisi tubuh nyonya. Maaf, bolehkah kita berbincang lebih dekat, agar saya mempermudah mengenali keluhan anda?" Tanya seseorang yang baru saja datang, masuk ke dalam kamar utama tanpa mengetuk pintu.

Hana bangkit, berusaha duduk di bahu ranjang, dengan kedua pipi yang memerah.

"Oh, silakan, dokter."

"Terima kasih. Ngomong-ngomong, anda bisa memanggil saya, dokter Ida." Ucap wanita itu. Wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai dokter Ida itu, duduk di tepi ranjang, menatap Hana yang tampak pucat, dan sebuah lebam di sudut kiri bibirnya.

"Apa yang anda rasakan sekarang?"

"Ya, baiklah. Aku merasakan pusing beberapa hari terakhir. Aku juga merasakan mual dan tak berselera makan saat ini. Ada bau-bau tertentu yang sangat menggangguku. Aku sebenarnya ... sangat merindukan orang tuaku, itulah sebabnya aku merasa tertekan." Ungkap Hana. Ia enggan menangis sebenarnya. Tapi apalah daya. Air matanya mendadak menggila dan matanya berkaca-kaca.

"Ada lebam di sudut bibir anda?" Tanya dokter Ida.

"Tirta yang melakukannya. Lelaki Tirani itu menyiksa tubuh dan batinku. Ku mohon, dokter Ida," Hana menggenggam kedua tangan dokter Ida yang terhenyak di tempatnya. "Disini, aku hanyalah wanita yang ditawan oleh Tirta. Aku tak betah berada disini. Bantu aku, bantu aku untuk bisa keluar dari sini." Pinta Hana dengan suara gemetar. Air matanya sudah deras mengalir saat ini. Hana menggenggam erat kedua tangan dokter Ida.

"Maksud anda, anda hendak kabur dari tuan Tirta?" Tanya dokter Ida lirih. Kepalanya memutar, melihat sekeliling ruangan yang sepi dan tak ada satu orang pun disana.

"Ya." Jawab Hana.

"Sulit dan mustahil, nyonya." Sahut dokter Ida. Ada pengharapan besar dalam sorot mata Hana. Sayangnya, semua itu terpatahkan oleh penolakan dokter Ida. "Rumah ini dijaga ketat oleh tuan."

"Baiklah." Genggaman tangan Hana mengendur. Wanita itu merasa harapannya pupus dan terpatahkan.

Keduanya lantas berbincang, membicarakan tentang gejala dan keluhan yang Hana rasakan. Kening dokter Ida berkerut dalam, sedikit curiga dengan apa yang Hana sampaikan.

"Apakah nyonya memakai alat kontrasepsi?" Tanya dokter Ida tiba-tiba. Hana mengerjapkan matanya beberapa kali. Pertanyaan dokter Ida, menampar kesadarannya dengan keras.

"Tidak. Tirta tak memperbolehkan aku saat itu." Jawab Hana jujur.

"Kapan terakhir kali anda mendapati menstruasi, nyonya?" Tanya dokter Ida lagi.

Hana menggelengkan kepala. Sepertinya, Hana tak mendapati tamu bulanan selama lebih dari sebulan ini. Apakah itu artinya?

Tidak, tidak. Hana tak boleh hamil. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana mental anak keturunannya, jika harus memiliki ayah sekejam dan sebiadab Tirta.

"Maaf, nyonya. Jika begitu, aku akan bicarakan dengan tuan Tirta dan tuan Johan, agar mendatangkan dokter ahli kandungan kemari. Bersabarlah, nyonya." Dokter Ida berlalu pergi, meninggalkan Hana yang termenung sendirian.

**

Malam semakin larut. Hujan rintik-rintik tampak turun membasahi bumi yang terasa gersang akibat panas kemarau melanda. Angin sesekali bertiup memberikan kesejukan, bagi hati yang mulai panas.

Di balkon kamar, Tirta berdiri dengan kedua tangannya yang menyanggah tubuhnya diatas teralis besi bercat putih. Pria itu membiarkan Hana merebahkan tubuhnya diatas ranjang tanpa terlelap, hanya mengusap pipinya sesekali, menyingkirkan air mata yang jatuh tak tahu malu.

Sesekali, Tirta akan menengok dan melirik istrinya dari arah balkon, melalui pintu dan jendela penghubung berbahan kaca. Kamar yang cukup mewah, tapi mampu membuat hati Tirta selalu gundah.

Pria yang nyaris berusia tiga puluh tujuh tahun itu, masih sangat tampan, dengan guratan halus di beberapa sudut wajahnya. Namun hal itu, justru membuat Tirta makin menawan. Bahkan karena ia pandai menjaga kesehatan dan rajin berolah raga, membuat tubuh Tirta sixpack dan tetap tegap terjaga.

Lelaki itu memikirkan banyak hal, terutama tentang pembicaraannya bersama Johan tadi. Tirta gamang. Ada sudut hatinya yang belakangan selalu meneriakkan protes, atas apa yang ia lakukan terhadap istrinya. Entah apa alasannya, Tirta bahkan tak tahu persis akan alasannya.

Mungkinkah apa yang Johan katakan benar? Ia mulai mencintai Hana?

Tak hanya itu. Kabar mengejutkan tentang kehamilan Hana, membuat hati Tirta bergejolak. Gejolak apa tepatnya, Tirta tak begitu mengerti.

Dua jam lalu, dokter spesialis kandungan yang dokter Ida rekomendasikan, menyatakan bahwa Hana telah hamil. Bagaimana ini? Lima bulan pernikahan, nyatanya Mamou memporak porandakan pertahanan Tirta. Ada benihnya dalam rahim istrinya.

Ada secuil kebahagiaan yang membanjiri hati Tirta. Sejak dulu, Tirta sering kali ingin sama seperti teman-temannya, termasuk Ronnie dan Joshua.

Di sudut lain, Hana gelisah. Tirta bahkan mendiamkannya sejak kabar kehamilannya menyebar ke seisi rumah. Hana merasa, ia dan bayinya tengah berada dalam bahaya saat ini.

Kehamilan Gihana, adalah kabar bahagia, sekaligus kabar duka yang datang secara bersamaan.

'Tuhan, selamatkan aku dan bayiku. Kumohon, bantu aku untuk bisa pergi dari sini. Aku mau anakku selamat.'

Batin Hana berteriak lantang.

Bila beberapa waktu lalu, Hana meminta kematian pada Tirta, namun tidak untuk kali ini. Ada kehidupan yang sangat berharga dalam rahimnya, yang harus diperjuangkan hidupnya. Hana tak sendiri, ia merasa memiliki alasan kuat untuk bisa bertahan dan lepas dari Tirta.

Hingga Hana melihat Tirta sudah tak lagi menoleh ke arahnya, Hana bergegas menapakkan kakinya ke lantai, mengendap untuk keluar rumah dan berlalu pergi dari kamar.

Malam yang larut, membuat suasana rumah tampak sepi. Beberapa pengawal yang berjaga, agaknya sudah berkumpul di depan, dan tak ada satupun pelayan yang berlalu lalang.

Hana cukup cerdas dengan berjalan ke arah pintu belakang. Disana, yang Hana tahu, ada sebuah pintu teralis kecil berwarna coklat tua, yang bisa menjadi jalan ia keluar. Akan sangat bahaya, bila Hana nekat lewat melalui pintu gerbang depan. Selain ada banyak pengawal yang berjaga, juga ada Tirta yang bisa melihat dirinya dari arah balkon.

Naasnya, saat Hana berada dekat di pintu belakang, wanita itu terkejut saat seseorang memanggil namanya dengan lantang.

"Nyonya, anda mau kemana?" Suara Haikal, membuat Hana memucat. Wanita itu cukup jauh jaraknya dari Haikal. Maka, tak menunggu lagi, Hana segera membuka palang pintu besi itu, dan berlari keluar, sambil membuang Hells yang ia kenakan.

"Astaga. Kemana perginya para pengawal itu? Aku harus menghubungi tuan besar."

Haikal sadar, ia tak akan bisa mengejar Hana, juga tak mungkin berlari masuk ke dalam kamar utama, mengingat itu akan makan waktu lama karena rumah Tirta yang luas dan besar.

Pria itu memutuskan, untuk menghubungi Tirta saja.

"Tuan, astaga ... Nyonya Hana kabur lewat pintu belakang, tuan. Cepatlah kemari." Haikal panik dan segera memanggil semua penjaga rumah dan pengawal.

**

Terpopuler

Comments

lovely

lovely

syukurlah smoga ga ketahuan

2023-01-03

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!