Episode 9

Kelemahan sang introvert

"Jangan banyak bertingkah, Hana. Semenjak Daniel Atmadja menyerahkan dirimu padaku, maka saat itu pula, kau resmi menjadi pelacur pribadiku."

Jawab Tirta dan kembali melangkah menjauh meninggalkan kamar hotel.

Hana menangis tergugu sendirian. Wanita itu meratapi nasibnya yang terjebak dalam kandang iblis tak bernurani. Sedikit jiwanya yang memiliki kelembutan, perlahan mati. Tergilas oleh kebencian terhadap Tirta.

Pada siapa Hana akan mengadukan kemalangan dirinya kali ini? Bahkan untuk mengadu pada keluarganya, Adi Prama, yang memiliki kekuatan yang lebih besar dari Tirta, Hana tak takut. Hana hanya tak mampu dan tak berdaya. Untuk mengadu, iya saja. Namun Hana tak ingin kedua orang tuanya berakhir tragis di tangan Tirta yang berlumur darah.

"Bajingan kau, Tirta. Bajingan. Aku bersumpah aku akan membencimu hingga ke pembuluh darah dan nadiku, bahkan ke sumsum tulangku, aku bersumpah aku sangat membencimu." Ucap Hana yang meraung sendirian.

Tunggal Daniel itu meraung seorang diri di kamar hotel yang Tirta kunci dari luar. Membayangkan seminggu harus berada di kamar terkutuk ini, membuat Hana tak tahan meski hanya sekedar membayangkan.

Tubuh Hana merosot ke lantai, membiarkan air matanya berderai deras tanpa perasaan.

Sedang Tirta, lelaki itu keluar dari lift hotel, dan menuju ke basemen. Emosinya rumit dan terdapat pendar amarah yang besar. Kilatan murka, siapa pun bisa melihatnya.

Mengemudikan mobil seorang diri dengan kecepatan sedang, Tirta menuju ke makam. Mendiang Anita perlu mendengar umpatan darinya.

Sebuah duka di masa lalu, Tirta bersumpah ia tak akan pernah melupakannya. Meski Anita telah menebusnya dengan tumpahan darah hingga nyawa, namun kebencian Tirta seolah tak ada habisnya.

Cinta Tirta terlalu besar untuk mendiang Anita. Itulah sebabnya Ia tak bisa lepas dari jerat kesakitan masa lalunya yang kelam, akibat ulah Anita.

Sudah delapan tahun berlalu, namun sakitnya masih tetap terasa hingga ke urat nadi. Tirta terjebak dalam dendam yang tak berkesudahan, meski jasad Anita telah menyatu dengan tanah.

"Masihkah kau bisa melihat, bagaimana jika aku telah murka, Anita? Aku bahkan sanggup membunuh mati cintaku, karena sebuah pengkhianatan yang kau lakukan di masa lalu. Karena dirimu, aku bahkan membenci wanita yang telah aku nikahi. Puas kau sekarang, Anita? Apa kau sudah puas?" Tanya Tirta pada sebuah makam, yang bertuliskan nama Anita pada batu nisannya.

Hening. Tak ada suara apa pun saat ini, selain suara serangga malam yang saling bersahutan. Malam mencekam, nyatanya begitu cocok bagi Tirta, untuk melampiaskan kebenciannya.

"Aku pulang, Anita. Tetaplah tidur dan menangis dalam dunia keabadian. Aku tak ingin mengulang masa dengan membaluri kedua tanganku, dengan darah. Namun jika dia, istriku berani melakukan suatu kesalahan seperti yang kau lakukan di masa lalu, aku bersumpah ia akan bersanding denganmu disini, di tempat ini." Ujar Tirta, sambil berlalu pergi begitu saja.

**

Hujan turun dengan deras mengguyur ibukota sepeninggal Tirta dari makam. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang terasa panas, malam ini hujan turun dengan derasnya yang tak terkira. Jalanan yang tadinya ramai kendaraan berlalu lalang, kini sedikit berkurang.

Tirta keluar dari mobil di basemen, membiarkan mobil mewah berwarna hitam itu, terparkir nyaman di tempatnya. Suasana hotel memang sangat sepi, karena malam telah larut.

Saat Tirta membuka pintu kamar hotel, Hana tertidur di lantai, dengan kepala tertopang di tepi ranjang. Wajah wanita itu kuyu, dengan mata yang bengkak kemerahan. Dress yang Hana pakai, masih sama seperti tadi. Agaknya, Hana tertidur akibat kelelahan usai menangis.

Dipandanginya Hana dalam tidurnya. Cantik rupa wanita itu, membuat Tirta diam-diam mengulas senyum tipis. Segera saja Tirta memindahkan Hana ke tempat tidur, memberi selimut agar Hana tetap hangat di malam yang diwarnai hujan.

Tirta hanya tak sadar, jika semenjak mengenal Hana, pelan-pelan sikap manusiawi yang dulu sempat ia bunuh matu, perlahan kembali tanpa ia sadari.

Menantu Daniel itu keluar kamar hotel, mengunci pintu dan segera menemui seseorang di dalam mobil di basemen.

"Sudah dari tadi, Han?" Tanya Tirta pada Johan, asistennya, ketika ia baru masuk ke dalam mobil Johan. Sengaja Tirta ingin bertemu Johan sebentar, meski hanya di dalam mobil.

"Tidak, tuan. Ada apa tuan memanggil saya kemari?" tanya Johan. Lelaki itu selalu memasang wajah datar, dan terkenal tak memiliki emosi. "Ada apa tuan memanggilku kemari? Bukankah seharusnya .... "

"Aku tidur dengan istriku dan menikmati malam sebagai pengantin baru?" Tanya Tirta menyela.

"Ya kurang lebih begitu, tuan." Jawab Johan, membuat Tirta mendengus pada asistennya itu.

"Lupakan. Sekarang, aku ingin kau segera melakukan transaksi untuk rumah yang kemarin aku dan Hana lihat. Segera lakukan pagi-pagi sekali, Johan. Siapakah segalanya, termasuk perabotan seisi rumah. Jika selesai besok, maka sore aku akan segera membawa Hana ke rumah itu." Ujar Tirta kemudian.

Johan mengerutkan keningnya kemudian. "Bukankah Anda dan nyonya, menyewa hotel selama seminggu, setelah resepsi?" Tanya Johan kemudian.

"Tadinya begitu, tapi aku berubah pikiran. Jika kau ingin, kau bisa menggunakan kamar itu setelah aku dan Hana pindah ke rumah baru. Aku tak nyaman berada disana." Ungkap Tirta.

"Baik, Tuan." Sahut Tirta.

"Ingat, lakukan segalanya dengan cepat, Johan. Terlalu lama di tempat ini, aku khawatir Hana berulah. Kau tahu, bagaimana aku tak suka direpotkan oleh wanita." Ungkap Tirta kemudian.

"Tentu, tuan. Ada lagi yang perlu saya lakukan, tuan?" tanya Johan lagi.

"Ya. Ada satu lagi tugas untukmu. Siapkan satu pengawal andalan dan terpilih, yang akan mengawasi gerak-gerik Hana. Aku memiliki firasat tak baik untuk istriku itu. Tutup rapat rumah lamaku dari Hana. Aku tak ingin dia melakukan kebodohan yang bisa memancing amarahku." Tegas Tirta.

"Baik, tuan." Jawab Johan. "Lalu, apakah nyonya nanti boleh keluar rumah dan bebas mengunjungi rumah keluarganya?" Tanya Johan lagi untuk memastikan.

"Kurasa, ia tak boleh terlalu sering bertemu dengan keluarganya. Atur jadwal untuknya mengunjungi kedua orang tuanya, satu bulan sekali. Ingat, Johan, satu bulan sekali." Ujar Tirta.

"Baik. Ada lagi, tuan?" Tanya Tirta lagi.

"Tidak. Itu sudah cukup. Untuk uang kebutuhan dia dan belanjanya, akan aku urus sendiri saja, Han." Titah Tirta lagi.

'Huh, sudah seharusnya begitu, tuan. Jika aku yang mengurus, memangnya dia itu istriku? Dasar majikan egois.'

Umpat Johan dalam hati.

Sebagai asisten sekaligus kaki tangan Tirta, Johan sudah tahu betul akan karakter majikannya. Sedikit saja perintahnya dibantah, Johan akan marah besar, dan suka kehilangan kendali.

Lelaki berkepribadian introvert itu, tak pernah memiliki toleransi sedikit pun terhadap kesalahan sekecil apa pun. Segalanya dituntut sempurna, dan patut harus selaras dengan apa yang keluar dari mulutnya.

Namun ada satu sisi baik dari seorang Tirta, yang tak banyak orang tahu. Hanya orang terdekatnya saja yang mengenal kepribadian Tirta.

Tirta, akan selalu luluh lantak perasaannya, jika sudah berhadapan dengan anak kecil. Itulah kelemahannya.

**

Terpopuler

Comments

Azzahra Rara

Azzahra Rara

semoga hana cepat hamil

2022-11-11

1

Vera Mahardika

Vera Mahardika

ayo hana kamu harus segera hamil. biar si saikoji itu waras kembali

2022-11-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!