Sarapan pagi bersama
Pernahkah kau dihantam luka paling dahsyat hingga merasa diambang Kematian?
Pernahkah kau mengharap kematian yang tak kunjung datang, sementara untuk hidup kau tak mampu menjalani?
Pernahkah kau berada di titik paling bawah, dengan keterpurukan yang tak dapat kau deskripsikan?
Pernahkah . . . ?
Pernahkah . . . ?
Gihana, yang kini telah menyandang gelar Rahardja dibelakang namanya, duduk termangu diatas ranjang pagi ini. Wanita itu merasa tak berdaya dengan semua tragedi yang menimpanya semalam.
Rasanya air mata Hana tak pernah habis menghiasi pipi, jatuh bergulir seiring dengan kisi-kisi ingatan tentang peristiwa semalam.
'Mengapa tuhan tak adil memberikan aku beban neraka seberat ini? Hidupku sudah tak lagi berarti dan tak bernilai di mata suamiku sendiri. Ini bukan pernikahan impian.'
Jerit batin Hana. dalam hening.
Dengan langkah tertatih, Hana bangkit dari ranjang, berjalan dengan langkah aneh, akibat rasa sakit dan tak nyaman pada pangkal pahanya. Jarak kamar mandi dari ranjang, terasa jauh baginya. Hatinya terlanjur lebur tak berbentuk. Tercabik dan penuh rasa sakit.
Usai membersihkan diri di kamar mandi, Hana melirik jam dinding yang menggantung indah diatas pintu. Waktu sudah memasuki pukul delapan, namun hingga kini suaminya belum juga kembali.
Kepergian Tirta, Hana tak tahu harus tertawa atau menangis untuk itu. Nyatanya keberadaan Tirta hanya akan membuat hatinya luka. Ketiadaan Tirta pun, menjadi bukti bahwa Hana tak diinginkan sama sekali oleh lelaki itu.
"Apa yang harus aku lakukan?" Desahnya dengan suara lirih.
Sekali lagi, Hana menatap wajahnya yang sedikit membengkak, dengan mata yang sembab dan kemerahan. Menangis nyaris semalaman, membuat Hana kacau, meski ia telah menutupi wajahnya dengan polesan make up minimalis.
Pintu terbuka dari luar. Hana diam tak bergerak, membiarkan Tirta masuk tanpa kata, juga tanpa sambutan darinya. Hana hanya masih berpikir keras, lelaki macam apa yang menikahinya itu.
"Kau sudah bangun? Bersiaplah. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat, setelah aku mandi." Ucap Tirta sambil berlalu ke kamar mandi. Lelaki itu benar-benar pantas dijuluki sebagai biadab saja di mata Hana.
"Aku sudah mandi dan berganti pakaian." Jawab Hana. Ia tak mau suaminya yang tirani itu merasa diabaikan, dan berakhir Hana harus menjadi pelampiasan amarah Tirta.
"Ya sudah. Tunggu aku sebentar lagi. Kau sudah sarapan?" Tanya Tirta layaknya tak terjadi apa-apa semalam.
Dengan gerakan anggun dan maskulin, Tirta membuka kancing lengan kemejanya. Lelaki itu menatap Hana datar.
Hana menggelengkan kepalanya, tanpa ingin repot menjawab Iya.
Pandangan mata Hana mengikuti siluet Tubuh Tirta yang berlalu ke kamar mandi. Hari ini, meski Tirta menatapnya tajam dan bicara dengan nada datar, Hana merasa ini lebih baik daripada perlakuannya semalam.
'Ya tuhan. Lelaki macam apa yang menjadi suamiku ini. Mengapa semua tindak tanduknya sulit kutebak? Mengapa sifat dan karakternya penuh misteri? Sebenarnya, siapa dia?'
Gumam Hana dalam hati.
Tak ingin kembali mendapatkan makian, Hana lantas bersiap dan mengambil tasnya untuk memasukkan ponsel dan dompetnya. Wanita itu lantas menyiapkan kemeja dan celana untuk Tirta. Ia tak ingin jika nanti Tirta kembali menghardiknya, jika Hana tak melayani suaminya dengan baik.
Hana duduk termenung di kursi meja rias. Wanita itu menatap kosong bayangannya sendiri, ke arah cermin. Hana dulunya adalah wanita yang bermulut pedas dan tak mudah ditindas. Bersuamikan Tirta, entah mengapa membuatnya menjadi wanita yang penakut dan tersakiti.
Setelah selesai mandi, Tirta segera berganti pakaian di depan Hana tanpa rasa risih. Hana juga tampak tak peduli. Ada banyak hal yang Hana pikirkan, tentang kemana Tirta akan membawanya. Untuk bertanya, Hana sudah malas dan tak ingin memancing perdebatan.
"Kau yang menyiapkan pakaianku?" tanya Tirta pada Hana.
"Kau pikir siapa lagi yang akan menyiapkan kebutuhanmu selain istrimu? Disini tak ada orang lain selain aku." jawab Hana. Sumpah demi apa pun juga, Hana menyumpah serapah mulutnya sendiri yang kelepasan.
"Aku hanya bertanya. Apa susahnya menjawab. Lain kali, mulutmu yang tajam itu perlu diberi pelajaran!" Ucap Tirta datar, dengan tatapan yang tajam siap menggores hati.
"Berpikirlah untuk cukup cerdas, Tirta Rahardja. Mulutmu yang pedas dan suka menghardik istrimu sendiri, lebih baik diam. daripada harus banyak bicara dan menyakiti hati orang lain." Timpal Hana kemudian.
"Aku sejak tadi bicara baik-baik. sejak tadi pula aku sudah tak kasar padamu. Kau ingin mengulang peristiwa semalam? Jangan selalu memancing jiwa iblisku untuk muncul ke permukaan, Hana." Ucap Tirta. Lelaki itu sudah selesai memakai pakaian, dan menatap Hana dingin.
"Ayo turun. Aku lapar dan perlu sarapan."
'Dan juga perlu menu sarapan hati manusia dan seonggok jiwa yang tersakiti.'
Batin Hana meneruskan. Sayang, Hana tak berani mengatakannya.
Setelah keduanya tiba di lantai dasar hotel, keduanya lantas menuju kafe hotel dan memesan menu sarapan pagi. Mereka memang sepasang pengantin baru, namun bersikap layaknya dua orang asing yang tak saling kenal dan tak banyak bicara.
"Kemana kau akan membawaku pergi?" Tanya Hana. Wanita itu sudah penasaran akan tujuan Tirta.
"Melihat-lihat rumah yang akan kita tempati. Aku perlu membelikan rumah untukmu, dan kita tempati bersama nanti." Jawab Tirta, masih dengan nada suara datar.
"Bukankah kau sudah memiliki rumah? Lalu, bagaimana dengan rumah lamamu?" Tanya Hana lagi.
"Tetap akan menjadi milikku. Mungkin aku hanya akan mengunjunginya sesekali." Jawab Tirta lagi.
"Jika sudah ada rumah, mengapa harus membuang uang untuk membeli rumah lagi?" Tanya Hana.
"Itu hakku, dan kau tak berhak mengaturku meskipun kau istriku. Ingat, Hana. Statusmu hanya sebagai istriku, tidak lebih. Untuk semua keputusan, mutlak di tanganku. Aku juga akan membuatkan peraturan tertulis untukmu sebagai istriku." Ungkap Tirta santai.
"Apa-apaan, ini? Kau mau mengaturku?" Tanya Hana dengan suara penuh penekanan, tak ingin suaranya di dengar orang lain.
"Kau istriku, sudah sewajarnya aku mengaturmu." Jawab Tirta sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Kau tak bisa mengaturku begitu saja, Tirta. Aku istrimu, bukan budakmu." Hana menatap tajam Tirta, memberanikan diri menantang suaminya.
"Suka tak suka, mau tak mau, kau harus patuh, tunduk dan takluk padaku sebagai suamimu." Ungkap Tirta, sambil tersenyum licik.
"Sepicik itu kau memperlakukan aku. Aku tak menyangka, dibalik kesuksesan dan kesempurnaan yang melekat padamu, kau rupanya sangat tirani. Aku pikir, aku akan menduduki permaisuri, diperlakukan layaknya ratu. Tapi kau justru membuatku semakin terpojok dengan peraturan sialanmu itu." Ujar Hana. Matanya sudah berkaca-kaca.
"Apa yang kau incar sbenarnya, Tirta? Mengapa kau menikahiku, hanya untuk kau sakiti berkali-kali lipat?" Tanya Hana.
"Kau sudah menyerahkan sepenuhnya hidupmu padaku. Jika kau ingin hidupmu baik-baik saja, jangan bertingkah dan segera beri aku pewaris. Kau tahu usiaku tak lagi muda."
'Dasar suami tak tahu diri!'
Batin Hana.
"Aku bukan mesin pencetak anak." Tolak Hana.
"Terus saja kau menolakku, maka kau akan merasakan, arti dari neraka yang sesungguhnya." Timpal Tirta tak berperasaan.
Hana hanya bisa membatin dalam diam. Ini adalah suasana mencekam dalam sarapan pagi perdananya bersama Tirta, suaminya.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Ida Omberep
kenapa Hana ga lari aja daripada menderita gtu
2023-04-29
1
lovely
bodohhh pergi aja Hana daripada jadi alat pemuas nafsu s Tirta suana laicnutt🥵
2023-01-03
1
mbuh
jgn sampeplot twis praja bekti cs yg ngebales tirta
smaa aja keluarga arogan
mau nebus kslhan dg bls dendam
pdhl yg brhak ya hana
2022-11-04
1