Permohonan Maaf
"Maaf, tuan. Nyonya Gihana tidak ada disana. Beliau sudah pergi dan tak ada jejaknya yang bisa saya temukan." Johan dan Haikal berdiri berdampingan, menyampaikan kabar buruk yang membuat Tirta makin kelimpungan.
Sudah seminggu lamanya sejak kepergian Hana malam itu. Kini, Tirta tak bisa menemukan wanita itu. Tentunya Tirta sangat khawatir, dan juga ia menyesali sikap tiraninya pada istrinya sejak lima bulan lalu, tepatnya setelah mereka menikah.
Kepergian Hana, ditambah lagi wanita itu tengah mengandung darah daging Tirta, siapa yang tak kepikiran? Terlebih, Hana pergi karena ia tak lagi ingin hidup dengan Tirta.
Jantung Tirta terasa kian berdenyut nyeri seketika. Andai ia tak terlalu kasar mengancam dan memperlakukan Hana, mungkin ia saat ini sudah bisa mengusap perut Hana yang masih rata, mencoba berkomunikasi dengan calon bayinya yang menjadi sumber bahagia lelaki itu.
"Aku akan mencari Hana, apapun caranya, kalian juga cepat temukan Hana untukku." Titah Tirta kemudian. Lelaki itu lantas keluar dari ruangan kerjanya, mengemudikan mobil seorang diri menyusuri jalanan ibukota yang padat.
Johan dan Haikal saling pandang, menatap kepergian sang majikan dengan raut khawatir. Seminggu Hana pergi, mampu membuat dunia Tirta porak poranda, bahkan hancur tanpa sisa. Penampilan yang biasanya sempurna, ditambah lagi tubuh yang biasa tegap, kini tampak kacau dan menyedihkan. Siapa yang akan menduga, Tirta akan terpuruk setelah Hana pergi?
"Hana, kemana kiranya kau pergi? Bahkan kediaman Adi Prama tak menampakkan tanda-tanda kau disana." Gumam Tirta.
Lelaki itu bahkan sudah mengecek ke segala arah, namun nihil. Lelaki itu lantas menepikan mobilnya di sebuah tempat kumuh nan sepi. Sekeliling, tampak sepi. Hanya segerombolan anak-anak jalanan yang tengah asik memetik gitar, dan bernyanyi.
Tatapan Tirta menerawang jauh, meresapi hatinya yang terasa tak karuan dan sakit tanpa sebab. Oh, bukan tanpa sebab, melainkan sakit hatinya itu disebabkan oleh kepergian Hana. Ketiadaan Hana dalam tujuh hari ini, membuat hati Tirta yang tadinya nyaris berwarna, kini telah redup.
Ya, semenjak kematian Anita, Tirta merasa hidupnya suram. Tak ada warna, tak ada tawa. Semua aktivitas dirinya hanyalah sebuah kegiatan monoton yang dilakukan pria bernyawa. Namun kehadiran Hana, Tirta merasa Lima bulan itu ia perlahan seperti menemukan cahayanya kembali setelah delapan tahun tewasnya Anita di tangannya.
Siapa yang menyangka, Hana mampu meruntuhkan dinding kokoh keegoisan Tirta? Sayangnya, Hana telah pergi, naas setelah Tirta baru menyadari arti Gihana Atmadja Rahardja, di dalam hidupnya.
**
Di sebuah ruang kamar yang cukup luas, seorang wanita yang tengah berbaring, menatap langit-langit ruangan. Kondisinya berangsur membaik setelah seminggu lalu ia datang ke rumah ini dalam kondisi kacau. Hati siapa yang tak terenyuh?
Hana datang di pagi nyaris siang. Semua orang tengah pergi ke LA untuk mengunjungi istri pangeran muda Praja Bekti yang hampir melahirkan.
Hanya ada Aridha, Radhi, dan Alex di kediaman besar Praja Bekti. Seminggu lalu, Hana datang dengan kondisi tubuh yang lemah dan pucat. Ada memar di bagian sudut kiri bibirnya yang menawan.
Usai menceritakan semuanya pada Aridha, wanita itu cukup syok dan terguncang. Ia tak menyangka, Kawan dibawah angkatannya sewaktu kuliah dulu, nyatanya memiliki kepribadian yang buruk.
"Hana, kau sudah bangun? Ini, minumlah air dan obatmu sekalian. Makan dulu rotinya sebelum meminum obat." Suara Aridha datang, dengan wajah lembut. Wanita itu juga sangat mengkhawatirkan kondisi Hana yang menyedihkan. Aridha merasa bersalah, karena memiliki andil menyeret Hana ke dalam situasi rumah tangga yang rumit.
"Oh, terima kasih, Tante. Terima kasih sudah merawatku." Ujar Hana kemudian.
"Tak apa. Usia kehamilan empat belas Minggu memang kerap kali merepotkan dan membuat tak nyaman. Namun kau harus mensyukuri itu, Hana. Jangan terlalu banyak berpikir. Kulihat wajahmu sudah sembuh total dari memar. Tapi matamu masih bengkak. Apa yang kau tangisi? Sudah aku katakan, kau harus kuat jadi wanita." Ungkap Aridha.
Wanita yang dikenal sebagai singa betina di kalangan pebisnis itu, prihatin juga saat melihat Hana yang dulu sempat ia tak suka. Biar bagaimana pun, Hana sudah mengalah pada cintanya, lebih memilih untuk menekan dan membunuh mati cintanya pada pangeran bermarga Praja Bekti itu, dan mengorbankan hidupnya pada si tirani, Tirta.
"Aku hanya takut tanpa sebab, Tante. Bayangan suamiku memukul dan menjatuhkan mentalku berkali-kali, aku masih sangat mengingatnya hingga saat ini." Jawab Hana kemudian, dengan suara lirih.
"Maafkan aku dan keluargaku, Hana." Ucap Aridha. Wanita itu meletakkan nampan ke atas nakas, dan duduk di tepi ranjang dengan menggenggam kedua tangan Hana. Sontak Hana bangkit dan menyandarkan tubuhnya ke bahu ranjang.
"Ini Maslaah rumah tangga dan aku tak boleh ikut campur sebenarnya. Hanya saja, karena perjodohan ini dilakoni oleh keluargaku, dan juga aku yang menyeret Tirta padamu, maka aku akan mengulurkan bantuan padamu hingga masalahnya selesai."
"Tak akan ada penyelesaian masalah, Tante. Tirta memang memiliki karakter yang jahat, terutama pada wanita." Timpal Hana.
"Bukan begitu. Dulu, Tirta adalah orang yang sangat pengertian, ramah, supel dan sangat menghormati wanita. Itu yang aku tahu. Namun semenjak kematian Anita, mantan kekasihnya dulu sejak delapan tahun lebih, kini Tirta memang dikenal sebagai pribadi yang tak manusiawi." Ujar Aridha.
'Kau hanya tak tahu, Anita mati ditangan Tirta sendiri, Tante. Andai kau tahu dan aku menceritakan semuanya, apa kau akan percaya padaku? Aku mendengarnya dari mulut Tirta sendiri.'
Batin Hana berteriak lantang. Sayangnya, Hana tak memiliki keberanian untuk mengatakan hal itu pada Aridha.
"Aku tak tau bagaimana Tirta di masa lalu." Ucap Hana sekedar menimpali.
"Apa tak ada cara lain, Hana? Maksudku, mungkin dengan mediasi antara kau Tirta. Aku siap untuk menjadi mediator kalian jika kau mau. Dengarkan aku, setiap kali ada sebuah kesalahan yang dilakukan seseorang, tentu akan ada penyesalan. Tirta memang tak mencari dirimu kemari, tapi mungkin ia memiliki alasan takut datang kemari. Tadi anak buahku mengatakan, Tirta mencarimu selama seminggu ini." Ungkap Aridha pelan. Ia hanya ingin mendinginkan hati Hana yang memanas.
"Aku tak peduli lagi, Tante. Yang jelas, tolong bawa aku keluar dari negeri ini. Tebus kesalahan Tante dan keluarga ini, kesalahan padaku, dengan memberi pertolongan padaku." Ucap Hana mengiba.
"Jangan khawatir, Hana. Aku sendiri yang akan memberi laki-laki biadab itu pelajaran." Kata Aridha dengan sorot mata penuh janji.
"Jangan. Kumohon jangan sakiti dia." Ujar Hana seraya mengatupkan kedua tangannya. Matanya kembali berkaca-kaca.
"Kau mencintainya?" Tanya Aridha.
"Tidak. Aku tak mencintainya. Hanya saja, tolong jangan melakukan apapun pada lelaki itu." Jawab Hana kemudian.
"Apa alasannya Hana?" Tanya Aridha, yang mendapatkan gelengan kepala dari Hana.
"Cukup bawa aku pergi, itu sudah menjadi balasan tersakit untuk Tirta." Jawab Hana.
'Baiklah, jika begitu. Bawa Gihana ke Aussie, Tante Ridha. Biarkan Hana tinggal dan menetap bersama mama Hanum, Papa Kara, dan juga Nara. Jangan khawatir, Hana. Aku akan bertanggung jawab atas kesalahanku padamu di masa lalu. Maafkan aku, Gihana.'
Suara khas Aksa, terdengar dari ponsel Aridha yang sejak tadi tersambung dengan Aksa. Aridha tersenyum, Aksa memang ingin mendengar sendiri, penyelesaiannya dari mulut Hana.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
mbuh
ya lah
cb tuh anak2 jelita yg di bogem
nyawa taruhannya
masih mending hana
gua rasa malaikat sbnrnya ya kek hana haha
2022-11-14
2
Vera Mahardika
si aksa kuliah di LA ya. Lenteng Agung kah?? 😁😁
2022-11-14
1