"Dokter Nara."
"Bukankah kamu pengasuh Arsen? Apa yang kamu lakukan di sini?
"Saya baru dari kantor pos."
"Astaga. Cuaca terik begini, kenapa kamu bawa Arsen keluar rumah?"
"Tadi saya naik taksi kok, bukan jalan kaki. Jadi tuan muda Arsen tidak kepanasan," tukas Suci.
"Ray pasti marah besar jika tahu kamu mengajak Arsen keluar rumah."
"Kenapa harus marah? Saya sudah minta izin pada tuan Rayyan. Dia tidak mempermasalahkan jika saya mengajak tuan muda Arsen keluar rumah."
"Saya ini dokter, jadi saya yang lebih tahu mana yang boleh dilakukan atau dilarang dilakukan pada bayi seusia Arsen."
"Saya hanya mengajak tuan muda keluar sebentar. Mungkin hanya satu jam. Kenapa Dokter suka sekali memojokkan saya? Apa saya punya salah dengan Dokter?"
"Ini salah satu yang membuat saya tidak menyukaimu. Kamu ini kampungan, tapi sok tahu."
"Mentang-mentang saya orang kampung, Dokter seenaknya saja merendahkan saya, begitu? Saya pikir seseorang yang berpendidikan tinggi akan memiliki etika yang berkelas, tapi nyatanya?"
"Apa maksud kamu bicara begitu 'hah?! Kamu mau bilang saya tidak punya etika?"
"Memang begitu kenyataannya."
"Sayang ini tempat umum. Jika kita hanya berdua, aku pasti akan merobek mulutmu!"
"Ternyata sekolah tinggi bukan jaminan seseorang memiliki kepribadian yang baik."
"Kamu, …!" Dokter Nara yang mulai terpancing amarahnya itu pun mengangkat tangannya hendak melayangkannya ke wajah Suci. Namun, kemunculan seseorang membuatnya urung melakukannya."
"Kenapa kalian mengobrol di tengah pintu? Memangnya supermarket ini punya nenek kalian?!" ucap salah satu pengunjung.
"Telur siapa ini? Kenapa berserakan di lantai?" tanya pengunjung lain.
"Gara-gara gadis ini telur yang baru saja kubeli pecah."
"Jika Dokter tidak berjalan sambil memainkan ponsel, telur ini tidak mungkin pecah."
"Lihat gadis ini. Bukannya minta maaf, dia malah menyalahkan orang lain."
"Maaf, kebetulan tadi saya mengantre di belakang Mbak. Mbak memang tidak berhenti bermain ponsel." Pengunjung lain menimpali
"Enak saja panggil Mbak. Memangnya saya pembantu? Saya ini dokter."
"Kalau dokternya model begini, pasien bukannya sembuh, tapi penyakitnya akan semakin parah," ucap salah satu pengunjung yang sontak membuat tawa mereka meledak.
"Cepat bersihkan pecahan telur ini, Bu Dokter." Pengunjung itu terkekeh.
Dokter Nara mendengus kesal. Pun dia tidak punya pilihan selain membersihkan lantai itu.
"Awas kamu, pengasuh kampungan!" Dokter Nara memelototi Suci sebelum akhirnya meninggalkan tempat tersebut.
Mbok Asih selesai belanja di pasar bersamaan dengan Suci yang juga telah selesai membeli perlengkapan mandi Arsen di supermarket.
"Kita langsung pulang, Nduk?" tanya mbok Asih.
"Iya, Mbok. Sepertinya tuan muda mengantuk."
****
"Mbok ingin tahu, siapa yang tadi bertemu denganku di supermarket?" tanya Suci saat dalam perjalanan pulang.
"Siapa, Nduk? Teman kamu?"
"Bukan, Mbok."
"Lantas?"
"Dokter Nara."
Tiba-tiba mbok Asih mengamati wajah Suci.
"Sepertinya kamu sedang kesal."
"Mbok benar. Aku tidak menyangka, gadis berpendidikan sepertinya ternyata etika nya nol."
"Begitulah, dokter Kinara. Dia akan bersikap angkuh pada orang yang tidak disukainya."
"Kenapa dia tidak suka padaku? Memangnya apa kesalahanku?"
"Mungkin dia kurang setuju jika tuan muda Arsen diasuh gadis dari desa sepertimu."
"Memang dia itu siapa? Dari cara memanggil tuan Rayyan, sepertinya mereka cukup akrab."
"Dokter Nara adalah sahabat mendiang nyonya Arini. Dari pengamatan simbok, sepertinya dia menyukai tuan Ray. Tapi tak pernah berani mengungkapkannya," jelas mbok Asih. Suci mengangguk paham.
"Apakah setelah kematian nyonya Arini, tuan Ray dekat dengan perempuan lain?"
"Tidak pernah. Tuan Ray bahkan terkesan menutup diri."
*Sepertinya tuan Ray begitu mencintai nyonya Arini. Sudah cukup lama setelah kepergiannya, namun tuan Ray tidak cepat-cepat mencari penggantinya."
"Mbok merawat tuan Ray dari semenjak ia masih sangat kecil. Mbok masih ingat saat mendiang tuan Bayu membawa tuan Ray ke rumah. Nyonya Sofia tampak keberatan jika tuan Bayu mengadopsinya dari sebuah panti asuhan. Saat itu pernikahan Nyonya Sofia dan tuan Bayu sudah memasuki usia lima tahun. Ketika memasuki usia remaja, tuan Ray tak pernah sekalipun berpacaran. Hingga pada suatu hari ketika usianya menginjak dua puluh tahun, secara tiba-tiba dia memperkenalkan nyonya Arini sebagai calon istrinya," ungkap mbok Asih.
"Rupanya nyonya Arini adalah cinta pertama dan terakhir tuan Rayyan," ujar Suci.
Mbok Marni mengulas senyum.
"Tuan Ray masih muda. Bisa saja suatu saat nanti dia kembali jatuh cinta," ujarnya.
"Benar juga."
****
Di sebuah kamar kost terdengar obrolan antara dua orang.
"Kenapa setiap waktu makan kamu hanya membelikan ibu tahu dan tempe, sedangkan kamu selalu dengan lauk ayam atau daging."
"Aku yang susah payah bekerja. Masih untung aku mau menampung Ibu di sini."
"Astaga. Sama ibu sendiri kenapa begitu perhitungan?"
"Jangan bandingkan hidup di desa dan di kota. Di kota apa-apa mahal. Kalau Ibu masih mau tinggal di sini ya sudah, makan saja. Tidak usah kebanyakan protes."
Obrolan di atas terjadi antara seorang ibu dengan anaknya. Ya, sang ibu bernama Widya, dan sang anak bernama Siska.
Widya berpikir hidup bersama sang puteri di kota yang sudah memiliki penghasilan pastilah lebih baik jika dibandingkan dengan hidup di desa bersama duda beranak dua. Namun, rupanya realita tak sesuai ekspektasi. Meskipun memiliki penghasilan yang cukup besar, Siska memperlakukan sang ibu kurang baik. Kedatangan Widya justru dimanfaatkan olehnya untuk menjadi tenaga loundry gratisan.
"Kenapa malah menangis?" tanya Siska yang mendapati sang ibu hanya mengaduk-aduk makanannya sambil terisak.
"Ibu kecewa kenapa kamu memperlakukan ibu begini kejam," ucap Widya.
"Kejam? Aku sudah memperbolehkan Ibu menumpang di kamar kost ini. Masih bagus aku mau memberi makan tiga kali sehari. Kenapa aku masih saja dibilang kejam? Ibu lah yang tidak tahu berterima kasih."
"Lantas, dari semua yang pernah ibu lakukan untukmu, apa pernah sekalipun kamu berterima kasih pada ibu? Lihat sepeda motor itu! Hanya demi menuruti keinginanmu, ibu menggadaikan rumah tanpa sepengetahuan bapak sambungmu hingga membuat mereka berurusan dengan rentenir."
"Ibu pikir aku peduli? Itu salah Ibu. Kenapa menikah dengan pria miskin, beranak tiga pula."
"Kenapa kamu jadi nyalahin ibu?"
"Jelas ini salah Ibu. Jika ibu menikah dengan pria kaya, hidup kita akan berkecukupan."
"Aku berangkat kerja dulu. Baju-baju kotor sudah kutaruh di kamar mandi. Jangan lupa juga setrika baju seragamku," ucap Siska. Dia pun lantas meninggalkan kamar kost nya.
Widya membiarkan saja buliran hangat itu meleleh. Perih, itulah yang dirasakannya saat ini. Tiba-tiba ia teringat Bimo dan ketiga puterinya. Meskipun bukan anak kandungnya, mereka bertiga tidak pernah menyuruhnya melakukan ini dan itu. Mereka bahkan tak pernah protes saat dirinya hanya membeli makanan lezat untuk dirinya sendiri.
"Suci … Fitri … Murni … maafkan ibu, Nak," lirihnya.
Bersambung …
Hai, pembaca setia…. ditunggu dukungannya ya….
Jangan lupa tinggalkan like,komentar positif, favorit, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰
Happy reading…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Kenyang
siapa menanam pasti akn mnuai Bu,,sekarang ibu Bru tau bagai mna rasanya di sakiti seorang anak 😱
2022-12-14
1
Suhaetieteetie
baru tau Kan widya anak sendiri ibuny dijadiin babu makany jngn semena2 karma pasti ada
2022-11-09
1