"Sekarang atau besok sama saja 'bukan? Kita pasti dipaksa penagih hutang itu untuk meninggalkan rumah ini," ucap Widya dengan entengnya.
"Kita seharusnya mencari jalan keluar, bukan pasrah begitu saja dengan keadaan," ucap Bimo.
"Mau usaha sampai jungkir balik sekalipun mustahil kita mendapatkan uang dua puluh juta dalam waktu seminggu."
"Apa Ibu sadar, Ibu lah penyebab masalah ini. Kalau Ibu tidak egois mementingkan Siska, kita tidak akan terlibat hutang dengan lintah darat itu," ucap Suci.
"Kalaupun ada yang salah, itu bapak kamu. Seharusnya dia bisa memberikan apapun yang aku inginkan."
"Ibu saja yang kurang bersyukur. Sebelum memutuskan menikah, Ibu sudah tahu 'bukan? Apa pekerjaan bapak, dan bagaimana kondisi keluarga kami? Kalau Ibu memang ingin hidup mewah dan bergelimang harta, kenapa Ibu tidak cari suami yang kaya?"
"Inilah salah satu sebab yang membuatku tidak betah tinggal di rumah ini. Selain pembangkang, kamu juga berani pada orangtua. Apa begini cara ibumu yang sudah membusuk di dalam tanah itu mengajarimu?"
"Widya! Jaga mulutmu! Tidak sepantasnya kamu bicara begitu. Kami tidak pernah mengajarkan hal-hal buruk kepada putri-putri kami. Kalaupun Suci membantahmu, itu karena sikapmu yang sudah keterlaluan!"
"Dia anak kandungmu, sudah pasti kamu akan membelanya."
"Aku membelanya karena dia benar."
"Sudahlah, lebih baik aku pergi ke kota dan tinggal bersama Siska. Aku sudah muak hidup bersama kalian, orang miskin!"
"Kamu mau pergi, Silahkan! Aku juga sudah tidak tahan lagi menghadapimu! Detik ini juga aku jatuhkan talak padamu! Kita bukan suami istri lagi!" tegas Bimo.
"Kamu pikir aku sedih berpisah darimu?" Aku masih cantik dan menarik. Aku pasti bisa mendapatkan suami baru yang lebih segalanya darimu," ucap Widya dengan angkuhnya.
Tidak berselang lama sebuah mobil berhenti tepat di hadapan rumah Suci. Pasti Widya yang telah memesannya melalui aplikasi.
"Ke kota, Pak," ucapnya pada pengemudi taksi. Tanpa salam Widya masuk ke dalam mobil berwarna hitam itu lalu menutup pintu dengan kerasnya.
"Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan," gumam Bimo.
"Apa Bapak yakin dengan keputusan Bapak?" tanya Suci sesaat setelah mobil itu berlalu.
"Sebenarnya sudah lama bapak ingin mengutarakan niatan itu. Bapak mencoba bersabar dan berharap ibu sambung mu itu bisa berubah. Tapi, ternyata bapak salah. Dia justru semakin menjadi. Kini kesabaran bapak sudah benar-benar habis."
"Semoga ini keputusan terbaik," ujar Suci.
****
Keesokan paginya.
Suci beserta bapak dan kedua adiknya tengah mengitari meja makan. Seperti biasanya, Murni dan si bungsu Fitri akan pergi ke sekolah. Suci akan pergi ke kandang bebek, sementara sang ayah akan menjadi buruh pencari rumput.
Meskipun hanya sebakul nasi putih hangat dan sepiring telur dadar yang dipotong menjadi empat bagian, tak terdengar sedikit pun protes dari kedua bocah perempuan itu. Keduanya menikmati sarapan pagi mereka dengan penuh rasa syukur.
"Ibu kemana? Kok semalam tidak tidur di rumah?" tanya si bungsu Fitri dengan mata polosnya.
Suci dan sang ayah saling bersitatap. Tentu saja pertanyaan itu cukup sulit dijawab. Gadis sekecil itu belum paham apa arti perpisahan.
"Ehm … ibu-ibu berkunjung ke rumah sanak saudaranya," jawab Suci.
"Berapa hari, Mbak?" Giliran si sulung Murni yang bertanya.
"Ehm … entahlah. Mungkin berhari-hari."
"Kenapa kalian menanyakannya? Memangnya selama ini ibu sambungmu itu peduli pada kalian? Apa pernah dia menyediakan makanan di meja makan? Apa pernah dia mencuci baju kalian?"
"Walaupun ibu Widya tidak sebaik almarhumah ibu, tapi ibu Widya sering membelikanku mainan," ujar Fitri.
"Mainan itu dia beli dari uang hasil berhutang, dan pada akhirnya bapak dan mbakyumu yang repot," ucap sang ayah.
"Sudah jam setengah tujuh. Cepat habiskan sarapan kalian. Nanti kalian terlambat." Suci sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Kami berangkat dulu, Pak … Mbak."
Kedua bocah perempuan itu bergantian menyalami sang ayah dan sang kakak secara bergantian.
"Kalian belajar yang benar," ucap Suci.
"Ya, Mbak. Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Kedua kakak beradik itu pun beranjak meninggalkan ruang makan.
"Tidak seharusnya Bapak berkata begitu di hadapan Murni dan Fitri. Murni mungkin sudah paham, tapi bagaimana dengan Fitri? Anak seusianya pasti belum cukup mengerti permasalahan orang dewasa," ucap Suci sesaat setelah kedua adik perempuannya berangkat sekolah.
"Bapak minta maaf, Nduk. Bapak hanya kesal saja dengan sikap ibu sambungmu itu. Dia tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu. Dia hanya melakukan apa yang dia inginkan tanpa peduli pada perasaan kita sebagai keluarganya."
"Tok tok tok!"
Obrolan keduanya terhenti saat tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pintu depan rumah mereka.
"Budhe Tini. Mari masuk," ucap Suci.
"Hari ini budhe memasak soto. Budhe sengaja membuat kuahnya lebih banyak agar bisa berbagi dengan kalian."
Wanita paruh baya itu meletakkan rantang dua susun di atas meja.
"Terima kasih, Budhe."
Wanita yang dipanggil budhe itu adalah kakak perempuan pak Bimo. Usianya sudah lebih dari empat puluh tahun tetapi ia tak kunjung mendapatkan jodoh. Tempat tinggalnya persis di belakang rumah Suci. Tentu saja di atas tanah peninggalan almarhum orangtua mereka.
Dulunya Tini pernah menjalin kasih dengan seorang pemuda di desa itu. Keduanya sudah sepakat untuk saling menikah. Namun, manusia hanyalah perencana. Calon suami Tini meninggal dunia di hari pernikahan mereka, hanya selang beberapa menit sebelum acara ijab qobul. Aji, begitulah nama pemuda itu. Ia ditemukan meninggal dunia di dalam kamarnya dalam keadaan telah mengenakan jas pengantin. Tidak diketahui pasti penyebab kematiannya yang mendadak itu. Tapi menurut pengakuan keluarganya, malam sebelum hari pernikahan itu, Aji sempat mengatakan tidak enak badan.
Tentu saja kematian Aji memberi pukulan hebat bagi Tini. Sejak saat itu dia tidak pernah lagi dekat ataupun menjalin hubungan dengan pria manapun.
"Anak-anak sudah berangkat sekolah ya?" tanyanya.
"Sudah, Budhe."
"Pasti nyonya besar masih asyik berkelana di alam mimpinya."
Nyonya besar yang dimaksud tidak lain dan tidak bukan adalah Widya.
"Ehm … ibu Widya kemarin siang pergi ke kota, Budhe."
"Hah? Mau apa dia di kota? Tidak mungkin dia bekerja."
"Ibu bilang mau tinggal bersama Siska di tempat kost nya."
"Ckckck. Benar-benar perempuan tidak punya adab. Setelah berhutang pada rentenir dengan menjaminkan rumah ini, sekarang dia pergi begitu saja. Aku tidak tahu lagi di mana letak pikirannya. Apa memang dia tidak punya pikiran?"
"Aku sudah menjatuhkan talak pada Widya, Mbak," ucap Bimo.
"Bagus! Mbak dukung 1000 persen keputusanmu. Seharusnya dari dulu kamu melakukannya."
"Selama dua tahun ini aku mencoba bersabar dan berharap dia berubah. Tapi ternyata dia semakin menjadi dan tidak bisa diatur. Semoga keputusan yang kuambil tepat."
"Dari awal Mbak tidak menyukai hubungan kalian. Mbak sudah mengingatkanmu, tapi kamu tidak menggubris ucapan Mbak."
Suara dering ponsel Suci membuat obrolan mereka terjeda. Suci pun bergegas masuk ke dalam kamarnya. Dia lantas menjawab panggilan tersebut.
"Siapa yang nelpon, Nduk?" tanya sang ayah.
"Dina, Pak. Dia memberi kabar jika hari ini juga aku disuruh berangkat ke kota."
"Kamu benar-benar tega ninggalin bapak dan adik-adikmu, Nduk?" tanya pak Bimo dengan mata berkaca-kaca.
Bersambung …
Hai, pembaca setia….
Ditunggu dukungannya ya….
Jangan lupa tinggalkan like, komentar positif, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰
🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Devi Handayani
hmmm rasain lohh benalu.... sekalian bayar tuh utang muu😠😠😠😠😠
2023-03-09
0
Devi Handayani
cereiin pak pak.... sampah kayak gitu yo dipungut😠😠😠😠😠😠😠😠
2023-03-09
0
Kenyang
sabar Gie pak Bimo doakn saja anakmu suci yg terbaik dn bisa membahagiakan BPK dan keluarga..😭😭🤲amin...agar BPK sekeluarga tidak di rendahkan istri jlng itu..😡
2022-12-14
0