"Apa benar begitu?" tanyanya.
"Ti-ti-tidak, Tuan. Tadi saya berpapasan dengan nyonya Sofia saat melintasi tangga. Beliau lantas merebut paksa amplop berisi uang itu dari saya," ungkap Suci.
"Dia bohong! Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri saat Suci mendorong nyonya Sofia." Zola yang selalu berada di kubu sang nyonya menimpali.
"Memangnya dari teras rumah ini bisa melihat ke arah tangga? Kamu baru masuk ke ruangan ini setelah mendengar suara teriakan nyonya setelah terjatuh. Itupun karena kesalahannya sendiri."
"Selain pembangkang, rupanya pengasuh pilihanmu ini juga pintar memutarbalikkan fakta. Sudahlah, pecat dia sekarang juga!" seru nyonya Sofia.
"Di mana uang itu sekarang?" tanya Rayyan.
"Uangnya diambil Nyonya, Tuan," jawab Suci.
"Mana uang itu, Bu? Aku yang meminjamkannya pada Suci," ucap Ray.
"Apa kamu ini sudah kehilangan akal 'hah?! Kenapa kamu meminjamkan uang sebesar itu pada gadis yang tidak punya sopan santun sepertinya? Bagaimana jika besok tiba-tiba dia kabur?"
"Saya terpaksa meminjam uang untuk membayar hutang keluarga saya pada rentenir. Jika hari ini hutang itu tidak dibayar maka bapak dan kedua adik saya harus angkat kaki dari rumah," ungkap Suci.
"Apa tidak ada alasan lain yang kamu pakai untuk menutupi kebohonganmu itu?"
"Demi Allah, apa yang saya katakan adalah jujur," ujar Suci.
"Sudahlah, berikan saja uang itu padanya. Aku harus segera bersiap ke kantor."
Meski terpaksa, nyonya Anita tidak memiliki pilihan selai memberikan amplop berwarna cokelat itu pada Suci.
"Hari ini juga kamu kirimkan uang itu pada keluargamu," ucap Rayyan.
"Oh ya. Apa boleh saya mengajak serta tuan muda Arsen? Selama ini dia pasti belum pernah melihat suasana di luar rumah. Tuan jangan khawatir, saya akan meminta mbok Asih untuk menemani kami," ucap Suci.
Rayyan hanya mengangguk pelan sebelum akhirnya beranjak dari tempat itu.
Siang harinya.
"Lihat saja nanti, tuan muda pasti sakit setelah kamu kalian mengajaknya keluar rumah," cibir Zola pada sang Suci saat keduanya melintasi halaman rumah.
"Buruk sekali pikiranmu, Nona. Tuan muda akan baik-baik saja bersama kami. Permisi." Suci dan mbok Asih pun lantas berlalu dari hadapan Zola.
"Mari saya antar, Mbak, Mbok," ucap pak Seto, sopir pribadi nyonya Sofia.
"Tidak usah, Pak. Kami bisa naik taksi. Kami tidak ingin terkena masalah karena menggunakan mobil milik nyonya Sofia tanpa sepengetahuannya," ucap Suci.
"Ya sudah, kalau begitu kalian hati-hati."
Suci dan mbok Asih pun lantas meninggalkan rumah tersebut.
*****
Suci dan mbok Asih baru saja memasuki halaman kantor pos ketika tiba-tiba seseorang memanggilnya.
"Suci!"
Suci pun sontak menoleh ke arah suara. Rupanya petugas parkir.
"Maaf, kamu siapa? Apa kamu kenal saya?" tanyanya.
"Astaga. Ini aku, kawanmu di kampung, Hans."
"Hans? Sepertinya aku tidak memiliki teman bernama Hans."
"Bagaimana dengan Hanafi?"
Suci mengamati wajah juru parkir itu. Seingatnya Hanafi kawan masa kecilnya dulu memiliki tanda lahir di bagian lengan kirinya. Dari wajah, pandangannya beralih ke bagian lengan.
"Hanafi. Kamu benar Hanafi?"
"Syukurlah, Akhirnya kamu mengenaliku."
"Aku tidak menyangka kita bertemu lagi. Sejak kapan kamu berangkat ke kota ini?"
"Aku sudah hampir dua tahun menjadi juru parkir di tempat ini. Kamu sendiri, bagaimana kamu bisa berada di kota ini?"
"Dina yang mengajakku bekerja di kota ini."
"Apa Dina yang kamu maksud itu Dina kawan kita?"
"Ya, dia bekerja di kota ini juga sebagai asisten rumah tangga."
Tiba-tiba pandangan laki-laki bertubuh tinggi itu tertuju pada Arsen yang berada di gendongan Suci.
"Kamu sudah punya anak?" tanyanya.
"Oh, anak ini bernama Arsen. Aku bekerja sebagai pengasuhnya. Sedangkan beliau ini mbok Asih, asisten rumah tangga di rumah itu," jelas Suci."
"Jadi kamu bekerja sebagai baby sitter?"
"Ya, begitulah. Aku belum genap satu bulan bekerja di rumah itu."
"Lantas, apa tujuanmu datang ke kantor pos ini?"
"Aku ingin mengantar uang untuk bapak di kampung."
"Hebat juga kamu. Belum genap sebulan bekerja, tapi sudah mengirim uang."
"Ehm … aku terpaksa meminjam uang dari majikanku karena terpaksa, sebab hari ini juga aku harus membayar hutang pada rentenir. Jika tidak, bapak dan kedua adikku akan diusir."
"Apa aku tidak salah dengar? Bapak kamu pinjam uang ke rentenir dengan rumah sebagai jaminannya."
"Sebenarnya … sebenarnya bukan bapak yang meminjam uangnya. Tapi ibu sambungku."
"Bapak kamu menikah lagi?" tanya Hanafi. Suci menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
"Ibu sambungku meminjam uang dengan menggadaikan rumah kami sebagai jaminan. Dia melakukannya tanpa sepengetahuanku ataupun bapak. Tiba-tiba saja seminggu yang lalu rumah kami didatangi penagih hutang. Mereka memukuli bapak sekaligus mengancam agar segera membayar hutang ibu sambungku. Akhirnya aku bilang pada penagih hutang itu jika aku akan melunasinya dalam waktu satu Minggu. Itulah sebabnya aku terpaksa meminjam hutang pada majikanku," ungkap Suci.
"Syukurlah, kamu memiliki majikan yang baik."
"Aku masuk ke dalam dulu."
"Tunggu! Aku boleh 'kan minta nomor teleponmu?" Hanafi mengambil ponselnya lalu menyodorkannya pada Suci. Gadis itu pun lantas mencatat nomor ponselnya di buku telepon.
"Terima kasih."
Suci dan mbok Asih pun lalu masuk ke dalam kantor pos.
Sebelum giliran antreannya tiba, Suci menyempatkan menghubungi sang ayah.
[Assalamu'alaikum, Pak]
[Waalaikumsalam, Nduk]
[Alhamdulilah, Pak. Aku sudah dapat uangnya. Sekarang aku sedang di kantor pos. Mungkin hari ini juga uangnya sampai]
[Bapak minta maaf, sudah menyusahkanmu, Nduk]
[Tidak apa, Pak. Yang terpenting sekarang Bapak dan adik-adik bisa hidup dengan tenang karena hutang ibu Widya sudah lunas]
[Tapi, Nduk. Darimana kamu mendapatkan uang sebanyak itu hanya dalam waktu satu hari saja? Dan bagaimana cara kamu mengembalikannya?]
[Bapak tidak.usah pikirkan itu. Aku hanya minta do'a dari Bapak semoga Allah selalu melancarkan urusanku]
[Pasti, Nduk. Tanpa kamu minta pun bapak akan selalu mendoakanmu]
[Ya sudah, aku tutup dulu teleponnya. Sampaikan salamku untuk budhe dan adik-adik. Assalamu'alaikum]
Suci mengakhiri panggilan.
"Alhamdulillah ya Mbok, majikan kita baik, walaupun wajahnya menyeramkan. Jika bukan karena kebaikannya, saat ini aku pasti sudah bingung membayar hutang itu," ucap Suci sesaat setelah meninggalkan kantor pos.
"Menyeramkan?"
"Ya, Mbok. Aku tak berani menatap wajahnya. Sudah berjambang, rambutnya pun gondrong. Hiiii." Suci bergidik ngeri.
"Ya, begitu lah. Walaupun terkadang galak dan tegas, tuan Ray begitu baik pada kita."
"Kita mau langsung pulang atau kemana, Mbok?" tanya Suci.
"Sepertinya persediaan bumbu dapur dan lauk mulai menipis. Mungkin kita mampir ke pasar dulu."
"Oh ya. Aku baru ingat. Sabun mandi Arsen pun hampir habis."
"Ya sudah, sementara mbok berbelanja di pasar, kamu ke supermarket dulu," ucap mbok Asih. Suci mengangguk setuju.
Mbok Asih berjalan menuju pasar, sementara Suci memasuki supermarket yang berada tidak jauh dari pasar.
Suci baru menarik gagang pintu. Entah bagaimana, tiba-tiba saja dia menabrak seorang perempuan yang baru saja keluar dari supermarket tersebut. Akibatnya barang belanjaannya pun jatuh berserakan di atas lantai. Tak terkecuali telur yang baru saja dibelinya.
"Astaga. Apa kamu tidak punya mata 'hah!"
"Salah kamu sendiri, jalan sambil bermain handphone."
Perempuan itu pun lantas mendongakkan wajahnya.
"Kamu?"
Bersambung …
Hai, pembaca setia…. ditunggu dukungannya ya….
Jangan lupa tinggalkan like,komentar positif, favorit, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰
Happy reading…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Nicky Nick
hadeeeh suci ktmu siapa lagi
2023-01-02
0
Kenyang
siapa dia aku jadi penasaran😱
2022-12-14
1