"Kenapa dengan tuan muda Arsen?" tanya dokter Nara.
"Tiba-tiba dia muntah-muntah," jawab Suci.
"Memangnya kamu beri dia makanan apa?"
"Saya hanya memberinya bubur saja."
Dokter berambut panjang itu pun lantas memeriksa Arsen di beberapa bagian tubuhnya.
"Arsen kenapa, Dok? Dia baik-baik saja, 'bukan?" tanya Ray yang baru saja memasuki kamar Arsen.
"Kamu tidak perlu khawatir. Arsen hanya kekenyangan dan sedikit kembung."
"Jelas saja tuan muda kembung. Suci membiarkannya berlama-lama di atas rerumputan." Zola menimpali.
"Apa benar begitu?"
"Tidak lama kok, Dok. Mungkin satu jam. Tuan muda ini kan baru belajar berjalan. Bukankah sesekali dia perlu menginjakkan kakinya di tanah?"
"Oh, jadi kamu merasa lebih pintar dari saya, begitu?" sungut sang dokter.
"Bu-bu-bukan begitu, Dok. Saya mengajaknya berjalan-jalan agar tuan muda menghirup udara segar. Saya rasa orang dewasa pun akan jenuh jika hanya menghabiskan waktunya di dalam rumah."
"Ternyata aku salah sangka. Gadis udik ini rupanya cukup cerdas," batin dokter Nara.
"Jadi, Arsen tidak perlu dirawat, Dok?" tanya Ray lagi.
"Tidak perlu, Ray. Beritahu pengasuh Arsen, jangan sampai kecerobohannya membahayakan kesehatan ataupun keselamatan putramu."
"Memangnya siapa yang ceroboh? Saya selalu menjaga tuan muda dengan baik. Mungkin tuan muda mengalami perut kembung karena belum terbiasa terkena udara di luar."
"Kamu tahu 'kan tuan muda Arsen ini siapa? Jangan samakan dia dengan anak-anak di kampungmu yang sering bermain sembarangan," ucap Zola.
"Kami pun berasal dari kampung 'bukan? Jangan jadi kacang yang lupa akan kulit nya," sindir Suci.
"Astaga. Apa tidak ada hal lain yang bisa kalian lakukan berdebat?" protes Rayyan yang sontak membuat kedua gadis itu bungkam.
"Saya harap kejadian ini tidak kembali terulang. Kami jangan memperlakukan Arsen sesuka hatimu hanya dengan mitos kampungan," ucap dokter Nara yang tentu saja ditujukan pada Suci.
"Ucapan dokter Nara jangan hanya kamu dengar saja, tapi dijalankan," ucap Zola.
"Baiklah, saya permisi dulu."
Dokter Nara meninggalkan kamar Arsen diikuti Ray di belakangnya.
"Apa kamu tidak salah pilih pengasuh untuk Arsen?" tanya dokter Nara sesampainya di teras.
"Apa maksud Dokter?"
"Bukankah sudah kubilang, saat kita hanya berdua panggil namaku saja."
Rayyan tak pernah tahu jika kawan sekolahnya itu memendam perasaan padanya. Bahkan jauh sebelum dia menikah. Namun, Nara tidak bisa berbuat banyak saat tahu Ray lebih tertarik pada sahabatnya, Arini. Ketika mendengar kabar Arini meninggal dunia, Kinara menjadi satu-satunya orang yang paling berbahagia lantaran kesempatan untuk mendekati Ray terbuka lebar. Ternyata Nara salah. Jangankan mendekati perempuan lain. Sepeninggal Arini, Rayyan seolah menutup hati bagi perempuan manapun. Rayyan yang dulunya berpenampilan rapi dan menawan perlahan berubah menjadi laki-laki yang acuh pada penampilan. Kesan rapi seolah menghilang berganti menjadi laki-laki yang usianya lebih tua dua puluh tahun dari usia sesungguhnya.
"Kamu menyetir sendiri 'kan?" Ray mengalihkan pembicaraan.
"Ya. Aku terbiasa sendiri kemanapun."
Tiba-tiba Nara mengamati wajah Ray.
"Apa kamu belum memiliki keinginan untuk mencukur jambang dan mencukur rambutmu? Jujur, aku kurang suka dengan penampilanmu yang sekarang."
"Aku masih nyaman dengan berpenampilan begini. Maaf, aku masih ada pekerjaan. Kamu hati-hati menyetirnya." Ray berlalu dari hadapan Nara lalu masuk kembali ke dalam rumah.
Nara mendengus kesal. Ray tak pernah peka meskipun dirinya sudah berulang kali menunjukkan sinyal atas ketertarikannya pada duda beranak satu itu.
"Dokter Nara!" panggil seseorang dari dalam rumah.
"Ya, Zola."
"Dokter meninggalkan benda ini di dalam kamar Arsen," ucap Zola sembari menyodorkan stetoschope ke arahnya.
"Astaga. Bagaimana aku bisa meninggalkan alat ini?"
Dokter Nara pun lantas memasukkan benda tersebut ke dalam tas miliknya.
"Terima kasih."
"Ehm …"
"Kamu ingin bicara sesuatu?" tanya dokter Nara.
Zola menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
"Bagaimana kalau di sana? Tidak enak jika ada yang mendengar obrolan kita." Keduanya pun lantas berjalan beriringan menuju mobil.
"Apa yang mau kamu bicarakan?"
"Bagaimana pendapat Dokter tentang pengasuh kampungan itu?"
"Maksud kamu Suci?"
"Siapa lagi kalau bukan dia."
"Sepertinya kamu kurang suka padanya."
"Bukan kurang suka, aku bahkan tidak menyukainya."
"Memangnya siapa yang membawanya ke rumah ini? Apa dia masih kerabat mbok Asih?" tanya dokter Nara.
"Bukan, Dok. Tiba-tiba saja dia muncul di rumah ini dan melamar sebagai pengasuh tuan muda Arsen. Dari awal nyonya Sofia sudah menolaknya, bahkan sempat mengusirnya. Namun aku tak habis pikir kenapa tuan Rayyan menerima begitu saja gadis itu. Dia beralasan hanya Suci yang dapat membuat tuan muda Arsen tenang saat menangis," ungkap Zola.
"Jika boleh jujur saya pun kurang menyukai gadis itu. Dia merasa sok pintar dan tahu segalanya."
"Oh ya. Dokter menyukai tuan Rayyan ya?" Tiba-tiba Zola mengalihkan pembicaraan.
"Apa maksudmu?"
"Dari cara Dokter menatap mata tuan Rayyan, aku tahu dokter menyukainya."
"Kamu benar. Sudah begitu lama saya mengagumi Ray. Namun dia tak pernah peka. Apalagi setelah kematian Arini. Sikapnya berubah dingin pada perempuan."
"Sudah setahun berlalu, sepertinya tuan Rayyan belum bisa melupakan nyonya Arini."
"Aku heran. Apa yang menarik dari perempuan itu. Secara fisik dan latar belakang keluarganya, sudah pasti aku lebih unggul. Bahkan setelah dia tiada pun Ray tak pernah memandangku."
"Ehm … Dokter sudah cukup lama mengenal tuan Rayyan 'bukan? Dokter pasti tahu apa yang disukai dan apa yang tidak disukainya. Dokter bisa merebut hatinya dengan cara sering-sering memberinya hadiah berupa barang-barang kesukaannya atau pun memasak makanan kesukaannya, dan tentu saja Dokter harus mampu merebut hati tuan muda Arsen."
"Saya tidak menyangka ternyata kamu cukup pandai dalam hal ini."
"Sepertinya ini akibat karena saya terlalu banyak menonton drama Korea." Zola terkekeh.
"Saya rasa tidak ada salahnya mencoba saranmu."
"Dokter harus bergerak cepat sebelum pengasuh kampungan itu benar-benar mencuri hati tuan Ray dan tuan muda Arsen."
Kalimat demi kalimat yang meluncur dari mulut Zola bagaikan minyak tanah yang dituangkan di atas bara api. Keinginannya untuk mendekati Ray semakin menggebu.
***
Sementara itu di dalam kamar Arsen.
Tidak seperti biasanya, Arsen meminta Ray untuk menemaninya di dalam kamar. Tentu saja Suci merasa canggung saat bayi berusia satu tahun itu melarangnya keluar dari kamarnya.
"Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mengutarakan niatanku," gumam Suci.
"Tu-Tu-Tuan."
"Ya, ada apa?"
"Sebelumnya saya minta maaf. Saya sadar diri saya baru beberapa hari bekerja di rumah ini. Tapi, …" Suci menggantung kalimatnya.
"Tapi kenapa? Kamu tidak bermaksud mengundurkan diri dari pekerjaan ini 'bukan?"
Bersambung …
Hai, pembaca setia…. ditunggu dukungannya ya….
Jangan lupa tinggalkan like,komentar positif, favorit, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰
Happy reading…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Kenyang
semoga berhasil suci🤲amin
2022-12-14
0