Sebuah sepeda motor matic berhenti tepat di depan rumah Suci. Pemiliknya adalah seorang gadis seusianya.
"Suci, …"
"Maaf, anda siapa dan ada perlu apa?" tanya Suci.
"Astaga. Bagaimana mungkin kamu tidak mengenaliku? Ini aku, Dina. Kawan bermainmu."
Suci pun lantas mengamati penampilan gadis berambut kecoklatan itu dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Tentu saja ia masih ingat Dina, kawannya semasa kecil dulu. Dia bukanlah dari keluarga berada. Sama sepertinya, saat sekolah dulu sepatu atau tas yang dikenakannya dibelikan oleh kedua orangtuanya di pasar.
Setelah hampir delapan tahun tidak bertemu, penampilan Dina benar-benar berubah total. Wajahnya yang dulu begitu kusam, kini tampak glowing. Tidak hanya wajahnya saja. Pakaian, tas ataupun sepatu yang dikenakannya adalah barang mahal yang mungkin hanya bisa ditemukannya di Mall.
"Suci. Kamu kok bengong?"
"Kamu benar Dina Anggraeni?" tanya Suci. Gadis itu menganggukan kepalanya.
"Maaf, aku nyaris tidak mengenalimu karena penampilan kamu sekarang jauh berbeda saat masih SMP dulu."
"Ya jelas beda. Sekarang aku sudah kenal
Skincare, salon, dan tentu saja cowok. Itulah sebabnya aku harus pintar-pintar menjaga penampilan."
"Skin-skin-apa?" tanya Suci dengan polosnya.
"Skincare, atau produk perawatan wajah. Kamu lihat 'kan sekarang? Wajahku yang dulu dekil dan berjerawat sekarang putih dan mulus. Itu karena aku rutin menggunakan skincare."
"Begitu ya." Suci manggut-manggut.
"Apa kamu nggak pingin juga cantik sepertiku? Kalau penampilan kamu kuno begini mana ada laki-laki yang mau mendekatimu, apalagi melamarmu."
"Buat apa aku mikir penampilan? Setiap hari kerjaku hanya memberi makan ribuan ekor bebek. Belum lagi membersihkan kandangnya. Ehm … ngomong-ngomong kamu sekarang kerja di mana, Din?"
Pertanyaan yang sedari tadi ditunggu akhirnya meluncur juga dari mulut Suci.
"Aku bekerja di kota sebagai asisten rumah tangga di rumah seorang artis Rapi amat."
"Asisten rumah tangga? Pekerjaan apa itu?" tanya Suci.
"Astaga. Masa itu saja kamu nggak tahu. Itu bahasa modern untuk pembantu."
"Memangnya berapa gaji kamu?" tanya Suci lagi.
"Hampir lima juta."
"Lima juta? Itu uang semua, Din?"
"Bukan, … daun. Tentu saja uang. Padahal pekerjaanku setiap hari hanya menyuci dan menyetrika bajunya saja. Itulah sebabnya dalam waktu satu tahun saja aku bisa membeli sepeda motor baru. Aku juga bisa merenovasi rumah orangtuaku."
"Ckckckck." Suci berdecak kagum.
"Memangnya kamu tidak pingin kerja di kota juga?" tanya Dina.
"Sebenarnya aku sedang dipusingkan oleh hutang. Ini semua karena ibu tiriku yang sok bergaya hidup mewah itu. Tanpa sepengetahuan bapak ia berhutang pada rentenir dengan menggadaikan rumah ini sebagai jaminannya. Jumlahnya tidak main-main, dua puluh juta."
"Ibu tiri kamu itu memang benar-benar sudah gila! Bisa-bisanya dia menggadaikan rumahnya sendiri sebagai jaminan hutang."
"Sssst … jangan keras-keras. Nanti ibuku dengar. Aku tidak mau kamu ribut dengannya," ucap Suci setengah berbisik.
"Memangnya uang sebanyak itu buat apa?"
"Katanya untuk membeli sepeda motor buat Siska yang kini sedang kuliah di kota. Sekarang aku pusing memikirkan bagaimana caranya melunasi hutang itu beserta bunganya. Aku sudah berjanji pada orang suruhan rentenir itu untuk melunasinya dalam waktu seminggu."
"Seminggu? Nekat banget kamu. Memangnya kamu mau cari duit sebanyak itu ke mana? Ngepet? Merampok? Atau menjual bebek-bebek di kandang pak Burhan secara diam-diam?"
"Hushh! Ngawur kamu. Aku terpaksa mengatakan itu biar orang suruhan pak Burhan cepat pergi. Aku tidak tega melihat bapak dipukuli mereka," ungkap Suci.
"Oh, begitu."
"Ehm … setelah kupikir, kerja di kota itu lumayan juga gajinya. Kalau penghasilannya lima juta perbulan aku bisa melunasi hutang pada rentenir itu dalam waktu empat bulan saja."
"Tapi masalahnya kamu sudah terlanjur berjanji melunasi hutang itu dalam waktu seminggu. Bagaimana jika rentenir itu nekat mengusir paksa kalian dari rumah ini?"
Suasana hening sejenak.
"Kamu bisa bantu aku bekerja di kota? Tidak masalah jadi pembantu juga. Yang penting keluargaku tetap punya tempat tinggal," ucap Suci.
"Ehm … aku mendengar informasi sebuah keluarga kaya tengah mencari jasa seorang babby sitter."
"Babby sitter? Apa pekerjaan itu pembantu rumah tangga juga?" tanya Suci.
"Beda. Tugas babby sitter itu mengasuh dan merawat bayi. Kudengar ibu bayi itu meninggal dunia karena sakit."
"Hanya mengurus bayi saja 'bukan? Saat Murni dan Fitri masih kecil aku juga sering membantu almarhumah ibuku merawat mereka."
"Jangan kamu pikir cara merawat dan mengurus bayi orang kaya itu gampang. Apalagi nenek bayi itu begitu galak. Entah sudah berapa orang pengasuh yang keluar masuk di rumah itu. Hampir semua tidak betah karena sikap nenek bayi itu," ungkap Dina.
"Aku jadi penasaran, seperti apa penampakan nenek si bayi itu. Seseram apapun dia, tidak akan mungkin memakan orang 'bukan?" ucapbSuci yang sontak membuat tawa Dina meledak.
"Kebetulan security yang bekerja di rumah itu adalah kawan pacarku. Jika kamu tertarik dengan pekerjaan ini, aku akan menghubunginya lebih dulu. Tapi kamu juga harus minta izin pada kedua orangtua mu," ucap Dina.
"Kamu jangan khawatir. Aku pasti akan minta izin pada bapak dan ibu. Bagaimana pun juga niatanku bekerja untuk membayar hutang. Mereka pasti mengizinkanku."
"Ya sudah, aku pulang dulu. Aku harus bersiap-siap. Jam tiga sore ini aku harus sudah kembali bekerja. Oh ya, kamu punya handphone 'kan?"
"Ada, tunggu sebentar."
Suci masuk ke dalam rumah. Tidak berselang lama ia kembali dengan membawa ponsel miliknya."
"Aku sudah menyimpan nomormu di handphone ku. Semoga keluarga itu belum menemukan pengasuh bayi," ucap Fina setelah menyalin nomor handphone Suci di ponselnya.
"Aku tunggu kabar baiknya."
"Sampaikan salamku untuk bapakmu dan kedua adikmu." Dina menaiki sepeda motornya. Tidak berselang lama ia pun meninggalkan rumah Suci.
"Siapa yang tadi itu, Nduk?" tanya sang ayah saat ia kembali dari bekerja.
"Dina, Pak."
"Dina anaknya pak Hasan 'bukan? Sudah lama sekali tidak main ke sini."
"Dina sekarang bekerja di kota. Mungkin hanya beberapa bulan sekali pulang. Ehm … anu … Pak."
Pak Bimo meletakkan sabitnya di bawah balai lalu ia merebahkan diri di dipan yang terbuat dari bambu itu.
"Kenapa, Nduk?"
"Aku-aku minta izin untuk bekerja di kota."
"Apa?! Sedari kecil kamu nyaris tidak pernah pergi kemana pun selain ke sekolah dan ke pasar. Bagaimana kamu tiba-tiba mempunyai keinginan untuk bekerja di kota?"
"Apa Bapak lupa ancaman penagih hutang itu? Kita diberi waktu satu Minggu untuk melunasi hutang. Jika tidak, kita harus angkat kaki dari rumah ini."
"Iya, bapak tahu. Tapi, apa kamu sanggup tinggal berjauhan dari ayah dan kedua adikmu? Hidup di kota itu tidak semanis yang kamu pikirkan. Kamu tahu mbak Nia 'kan? Dia berbangga diri saat mendapatkan pekerjaan di kota. Tapi nyatanya nasibnya begitu menyedihkan. Dia pulang ke kampung ini dalam keadaan berbadan dua tanpa menikah ataupun suami. Setelah melahirkan dia menghabisi anaknya lalu mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri."
"Bapak percaya sama aku. Aku akan menjaga diriku baik-baik, juga kehormatanku. Aku melakukan ini demi keluarga kita," ujar Suci.
"Maafkan bapak, Nduk. Gara-gara salah memilih istri, kini kita harus menghadapi masalah berat ini."
"Sudahlah, Pak. Tidak perlu menyesal. Ini semua adalah bagian dari takdir Allah."
Obrolan keduanya terhenti saat tiba-tiba Widya keluar dari dalam rumah dengan membawa tas berukuran besar.
"Kamu mau kemana?" tanya Bimo.
Bersambung …
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Kenyang
trus terang aku semakin tertarik Thor..
😂😂🤭pasti istri tidak tau diri itu mau mnggat lari dari hutang lepas tngn begitu ja😡😡
2022-12-14
3
Suhaetieteetie
bagus ceritany nih lanjut thor
2022-11-01
2