"Aku minta maaf, Pak. Kalaupun aku memilih mengambil pekerjaan di kota, itu kulakukan demi keluarga kita. Aku tidak rela rumah yang menjadi tempat aku dilahirkan ini jatuh ke tangan orang lain apalagi jika kita yang harus angkat kaki. Dari mana kita bisa mendapatkan uang dua puluh juta dalam waktu seminggu?"
"Tapi, Nduk, hidup di kota itu keras. Banyak orang di desa ini yang nekad merantau di sana, hidup mereka justru semakin susah. Mau pulang kampung mereka malu, hingga pada akhirnya mereka melakukan segala cara demi untuk bertahan hidup." Tini menimpali.
"Pekerjaan yang ditawarkan Dina adalah sebagai pengasuh bayi. Bapak dan Budhe juga kenal dengannya 'bukan? Dia gadis baik-baik, tidak mungkin menipuku."
Pak Bimo terlihat berpikir sejenak.
"Ongkos ke kota itu tidak kecil, Nduk. Bapak sama sekali tidak memiliki uang tabungan. Kalaupun gajian, itu masih tiga hari lagi."
"Bapak tidak usah khawatir, aku masih punya uang simpanan. Sepertinya cukup kalau hanya untuk ongkos naik bis ke kota."
"Tetap saja kamu harus punya uang pegangan. Tidak mungkin kamu langsung gajian setelah sehari bekerja. Budhe hanya punya ini." Tini melepaskan cincin dari jari manisnya lalu diselipkannya di tangan Suci.
"Tidak usah, Budhe. Aku tidak ingin merepotkan siapapun."
"Tidak apa, Nduk. Cincin ini nanti kamu jual di toko emas di dekat terminal."
"Tapi, Budhe, …"
"Sudah. Kamu sendiri 'kan yang bilang ingin bekerja di kota biar hutang pada rentenir karena ulah Widya yang tidak tahu diri itu cepat lunas?"
Suci mengangguk pelan.
"Ya sudah, sekarang kamu rapikan pakaian atau barang apa saja yang sekiranya perlu kamu bawa. Apa perlu budhe bantu?"
"Tidak usah, Budhe. Aku bisa melakukannya sendiri."
"Sebaiknya berangkat nya nanti menunggu kedua adikmu pulang sekolah. Kasihan kalau kamu tidak pamit pada mereka," ucap Tini. Sekali lagi Suci mengangguk paham.
"Ya sudah, budhe pulang dulu. Nanti kalau mau berangkat cari budhe di rumah bu Panji. Hari ini budhe dimintai tolong bantu masak-masak di sana. Ada pesanan catering untuk acara akikah di desa sebelah."
"Maturnuwun, Budhe. Aku berjanji kalau punya rezeki, aku akan mengganti cincin Budhe."
"Tidak usah kamu pikirkan, Nduk."
Jam 11 siang.
Si bungsu Fitri yang baru saja pulang dari sekolahnya terlihat keheranan saat mendapati tas berukuran besar yang berada di ruang tamu.
"Itu tas siapa, Mbak?" tanyanya.
"Itu tas mbak."
"Mbak Suci mau kemana? Kok bawa tas besar?" tanya gadis kecil berusia tujuh tahun itu.
"Mbak mau kerja di kota, Dek."
"Nggak boleh! Mbak Suci nggak boleh pergi!" Tiba-tiba saja tangis Fitri pecah. Dia lantas menghambur ke dalam pelukan sang kakak.
"Mbak harus pergi, Dek. Ini demi keluarga kita. Demi masa depan kamu juga," ucap Suci sembari mengusap rambut Fitri.
"Mbak Suci harus janji sering-sering pulang."
"Iya, Dek. Mbak janji akan sering-sering pulang. Kamu mau dibelikan apa? Baju? Boneka?"
Fitri menggelengkan kepalanya.
"Aku nggak pingin apa-apa, Mbak."
Tidak lama kemudian terlihat Murni memasuki ruang tamu.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
"Tumben jam segini sudah pulang."
"Ada rapat guru, jadi siswa dipulangkan lebih cepat."
Sama seperti si bungsu, gadis yang kini duduk di bangku SMP itu juga penasaran dengan keberadaan tas berukuran besar di atas kursi ruang tamu.
"Itu tas Mbak 'bukan? Kenapa ada di sini? Mbak mau kemana?" tanyanya.
"Mbak Suci mau pergi bekerja di kota, Mbak," jawab Fitri.
"Kenapa mendadak begini?"
"Baru pagi tadi teman mbak menelpon. Mbak harus tiba di kota sebelum malam."
Tiba-tiba raut wajah gadis yang kini duduk di bangku kelas 1 SMP itu berubah murung.
"Kalau Mbak pergi siapa yang siapin sarapan kita? Siapa yang cuciin baju kita?"
Suci tersenyum seraya membelai rambut adik perempuannya itu.
"Murni, kamu 'kan sudah besar. Mulai sekarang kamu harus belajar mengurus ibu dan adikmu. Mbak pergi bukan karena kemauan sendiri, tapi mbak melakukanya demi keluarga kita. Kalian tidak mau 'bukan, jika kita harus meninggalkan rumah yang kita tinggali sejak lahir ini?"
Kedua kakak beradik itu kompak menggelengkan kepalanya.
"Mbak harap kalian bisa mengerti."
Suci lantas merengkuh tubuh kedua adik perempuannya itu ke dalam pelukannya. Ia harus terlihat tegar di hadapan mereka meskipun hatinya terasa begitu sesak.
"Suci pamit dulu, Pak," ucapnya seraya mencium punggung tangan sang ayah penuh takdzim.
"Maafkan bapak, Nduk." Bimo menyentuh puncak kepala puteri sulungnya itu. Ia tak sanggup lagi menahan buliran bening yang sedari tadi merebak di kedua bola matanya. Pria itu menangis untuk pertama kali setelah kematian istrinya beberapa tahun silam.
"Bapak tidak perlu meminta maaf. Yang perlu Bapak lakukan cukup mendoakan Suci agar di kota nanti Suci bisa mendapatkan pekerjaan dan majikan yang baik pula."
"Tentu saja, Nduk. Do'a bapak selalu menyertaimu."
"Mbak Suci janji ya, sering-sering pulang," ucap si bungsu Fitri sambil sesekali terisak.
"Iya, Dek. Do'akan semuanya lancar biar mbak bisa membelikanmu boneka beruang yang besar."
Sekali lagi Suci merengkuh tubuh kedua adik perempuannya sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan itu.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Seperti pesan yang disampaikan sang bibi sebelumnya, jika hendak berangkat, ia diminta mendatangi rumah bu Panji.
"Kamu mau kemana, kok bawa tas besar?" tanya pak Panji yang tengah membersihkan mobilnya di halaman rumah.
"Ehm … saya-saya mau berangkat bekerja ke kota, Pak."
"Tamatan SMP sepertimu mau kerja apa di kota? Banyak yang hanya punya modal nekad, akhirnya nasib mereka justru lebih menyedihkan dibandingkan saat mereka masih di desa."
"Dina yang menawarkan pekerjaan pada saya untuk bekerja sebagai pengasuh bayi."
"Pekerjaannya di kota saja tidak jelas. Sekarang kamu mau ikut-ikutan?"
"Tidak jelas bagaimana, Pak? Dina mengatakan jika dia bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah salah satu artis terkenal."
"Alah. Dia bicara begitu biar kamu tertarik. Bisa saja dia bekerja sebagai wanita penghibur atau, …"
"Maaf, Pak. Dina itu kawan baik saya. Saya harap Bapak tidak berprasangka buruk terhadapnya."
Tiba-tiba pria paruh baya itu mengamati penampilan Suci dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Dari kaki lalu berhenti di bagian dada. Membuatnya merasa tidak nyaman.
"Kamu ini sebenarnya cantik. Dadamu juga cukup berisi. Hanya saja penampilanmu terlalu tomboy," ucap pak Panji setengah berbisik.
"Bapak jangan kurang ajar ya!"
"Istriku sedang sibuk di dapur. Kalau kita melakukannya sebentar saja di ruang tamu, pasti tidak akan ketahuan." Tiba-tiba pak Panji merangkul pundak Suci dan nyaris memegang buah dadanya.
"Plak!" Sebuah tamparan yang cukup keras baru saja mendarat di pipi ketua RT itu.
"Kurang ajar! Berani kamu menampar saya 'hah!"
"Bapak yang sudah berlaku tidak sopan. Saya bisa saja menendang atau meninju Bapak."
"Sikap jual mahal mu ini justru membuatku penasaran," gumamnya. Dia pun lantas membekap mulut Suci dan memaksanya masuk ke dalam ruang tamu.
Bersambung …
Hai, pembaca setia….
Ditunggu dukungannya ya….
Jangan lupa tinggalkan like, komentar positif, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰
🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Thebel Yanix
jangan sampe suci diperkosa pk panji...
2022-11-01
2