Siang itu Suci tengah mengajak Arsen bermain di taman belakang rumah sembari menyuapinya.
"Makan yang banyak ya, Sayang. Aaaaa,"
Suci membuka mulutnya agar Arsen mengikutinya.
"Alhamdulillah, sejak kamu tinggal di sini, selera makan tuan muda Arsen meningkat. Berat badannya pun naik," ucap mbok Asih.
"Arsen ini tidak pilih-pilih makanan, Mbok. Apa saja masuk," ucap Suci.
Obrolan mereka terhenti saat tiba-tiba ponsel Suci berdering. Rupanya sang ayah yang menghubunginya. Dengan penuh semangat Suci menjawab panggilan itu. Ini adalah kali pertama sang ayah menelpon semenjak ia bekerja di kota.
[Assalamu'alaikum, Pak]
[Waalaikumsalam. Bagaimana kabarmu, Nduk?]
[Alhamdulillah, kabarku baik. Bapak, Budhe dan adik-adik bagaimana?"
[Alhamdulillah, kabar kami juga baik. Sebenarnya ehm, …]
[Kenapa, Pak?]
[Ini soal hutang Widya. Besok adalah batas terakhir pembayaran hutang itu. Bapak takut penagih hutang itu mendatangi rumah kita. Ehm … apa kamu sudah memiliki uangnya?]
[Aku baru beberapa hari bekerja sementara gajiku akan diberikan setiap bulan]
[Jadi, bagaimana jika penagihan hutang itu benar-benar datang dan menagih hutang? Sementara bapak tidak memiliki uang sebesar itu]
[Aku akan usahakan uang itu secepatnya. Bapak cukup do'akan saja dari rumah]
[Bapak merasa tidak berguna. Seharusnya bapak yang membayar hutang Widya, bukan kamu yang harus bekerja keras begini]
[Bapak jangan bicara begitu. Ini sudah kewajibanku sebagai anak untuk membantu orangtua saat kesusahan]
[Kamu sungguh anak yang berbakti. Bapak sungguh beruntung memiliki Puteri sepertimu]
[ Oh ya. Bagaimana Fitri? Apa dia sering menanyakanku?]
[Sesekali saja dia bertanya kapan kamu pulang. Katanya dia ingin dibelikan boneka beruang besar berwarna merah muda. Setiap malam dia baru mau tidur setelah memeluk bajumu]
[Sampaikan padanya jika pulang nanti aku akan membawakannya itu banyak oleh-oleh]
[Oh ya, Nduk. Bagaimana dengan tempat bekerjamu? Majikannya baik 'bukan?]
[Alhamdulillah, Pak. Majikanku baik]
[Syukurlah kalau begitu, bapakmu ini jadi tenang. Ya sudah, lanjutkan kembali pekerjaanmu. Kalau bapak kelamaan nelpon nanti kamu dimarahi]
[Ya, Pak. Sampaikan salam kangenku untuk budhe, Murni dan Fitri]
[Pasti bapak sampaikan. Kamu jaga diri baik-baik di sana, jangan lewatkan sholat. Assalamu'alaikum]
[Waalaikumsalam]
Panggilan terputus.
"Loh, kenapa kamu menangis, Nduk?" tanya mbok Asih saat mendapati mata Suci yang mulai basah.
"Tidak apa, Mbok. Saya hanya kangen dengan keluarga saya. Tadi bapak yang menelpon."
"Begitu, ya."
"Saya bingung, Mbok."
"Bingung kenapa?"
"Jujur, tujuan saya merantau adalah mendapatkan uang untuk membayar hutang ibu sambung saya pada rentenir. Beberapa hari sebelum berangkat, penagih hutang itu mendatangi rumah kami. Mereka mengancam akan mengusir paksa kami dari rumah. Saya pun sudah terlanjur mengatakan untuk membayar hutang itu dalam waktu seminggu. Namun yang jadi masalah dari mana saya mendapatkan uang sebesar itu dalam waktu seminggu? Sementara saya juga baru beberapa hari bekerja," ungkap Suci.
Suasana hening sejenak.
"Bagaimana kalau kamu coba meminjam uang pada tuan Rayyan?"
"Saya belum genap bekerja di rumah ini. Saya tidak berani, Mbok."
"Ya sudah, kalau kamu tidak berani, nanti mbok yang coba bicara pada tuan Rayyan. Mbok rasa hanya itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan keluargamu dari kekejaman rentenir."
"Maaf, jadi merepotkan Mbok."
"Tidak kok Nduk. Kamu itu sudah mbok anggap seperti puteri mbok sendiri."
"Allah begitu baik mempertemukan saya dengan orang sebaik Mbok."
"Ya sudah, mbok mau masak untuk makan siang dulu. Sebentar lagi nyonya besar pulang."
"Terima kasih, Mbok."
Suci kembali menghampiri Arsen yang masih asyik bermain di atas rerumputan. Raut wajahnya berubah panik saat tiba-tiba bayi laki-laki itu muntah hingga mengotorinya pakaiannya.
"Mbok! Mbok Marni!" teriaknya. Namun mbok Marni yang sudah masuk ke dalam dapur tidak mendengar teriakannya. Zola lah yang tengah menyirami tanaman bunga itu yang datang menghampirinya.
"Astaga. Kenapa kamu teriak-teriak begitu. Kamu pikir rumah ini milik nenekmu?!" sungutnya.
"Tuan muda Arsen …"
"Kenapa dengan tuan muda?"
"Tuan muda muntah-muntah!"
"Pasti kamu sembarangan memberi makan dia," tuduh Zola.
"Nggak! Saya hanya memberinya bubur."
"Jika tuan muda Arsen hanya makan bubur, mana mungkin dia muntah-muntah begini. Awas saja! Aku akan melaporkanmu pada tuan Rayyan biar dia tahu seperti apa pengasuh bayi yang sudah dipilihnya. Aku pastikan hari ini adalah hari terakhirmu bekerja di rumah ini!" ancam juru bersih-bersih itu.
"Dasar penjilat!"
"Apa kamu bilang?!"
"Penjilat! Suka cari muka!"
"Breng*ek!" Zola menarik rambut Suci hingga wajahnya mendongak ke atas.
"Apa-apaan ini?!"
Kedatangan seseorang tentu saja mengagetkan keduanya.
"Tu-Tu-Tuan Ray."
"Apa saya membayar kalian untuk bertengkar 'hah!"
"Gadis kampungan ini yang mulai duluan. Saya yang menegurnya agar tidak memberi makanan sembarangan pada tuan muda, tapi dia justru marah-marah dan menampar saya."
"Kamu jangan bohong, Zola! Saya melihat dengan mata kepala sendiri kamu yang menjambak rambut Suci!"
"Saya hanya …"
"Sekali lagi saya melihat kalian bertengkar, kalian berdua akan saya pecat!" ancam laki-laki yang kerap dipanggil Ray itu.
"Tuan muda Arsen tiba-tiba muntah-muntah, Tuan," ucap Suci seraya mengangkat tubuh Arsen dari rerumputan.
"Memangnya siapa yang menyuruh Arsen bermain di sana?!"
"Ehm … tuan muda sepertinya bosan bermain di dalam kamar, jadi saya ajak ke taman ini. Dia juga perlu udara segar. Terlalu lama di dalam ruangan ber- AC kurang baik bagi bayi."
"Sok tahu kamu! Menikah saja belum, sok-sokan bicara cara mengurus bayi."
"Saya pernah membacanya di majalah bekas yang diberikan salah satu kawan bapak saya."
"Gadis kampung ya bacaannya majalah bekas," cibir Zola.
"Biarpun majalah bekas, yang terpenting saya bisa mendapatkan informasi."
"Zola."
"Saya, Tuan."
"Cepat hubungi dokter Nara."
"Baik, Tuan."
"Dan kamu, bawa Arsen ke kamar dan ganti pakaiannya."
Suci lekas meninggalkan taman belakang rumah, lalu membawa Arsen masuk ke dalam kamarnya.
"Makanan apa yang tadi Mbok masak untuk Arsen?" tanya Ray pada mbok Asih yang tengah sibuk memasak di dapur.
"Seperti saran dokter Nara, saya memasak makanan ***** untuk tuan muda."
"Arsen muntah-muntah."
"Astaghfirullahaldzim!"
Saya sudah menyuruh Zola menghubungi dokter Nara. Dia sedang dalam perjalanan ke rumah ini."
"Di mana tuan muda sekarang?"
"Dia ada di kamarnya bersama Suci."
"Kasihan Suci. Dia pasti akan terkena masalah," gumam bi Asih.
Seorang perempuan berusia dua puluh lima tahun terlihat turun dari mobil. Dia tampak menenteng koper dan mengenakan rompi berwarna putih. Kulitnya putih bersih, postur tubuhnya pun terbilang ideal. Ya, perempuan itu adalah dokter anak khusus Arsen.
"Di mana Arsen?" tanyanya pada Zola yang membukakan pintu untuknya.
"Tuan muda ada di dalam kamarnya."
Dokter muda itu pun lantas melangkahkan kakinya menuju kamar Arsen. Alangkah terkejutnya dia saat mendapati Suci berada di dalam sana.
"Siapa kamu?" tanyanya.
"Nama saya Suci, pengasuh tuan muda Arsen."
Dokter bernama lengkap Kinara itu pun mengamati penampilan Suci dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Seperti hari-hari biasanya Suci hanya mengenakan kaos lengan pendek dan celana jeans panjang.
"Bagaimana bisa Ray memilih gadis tomboy begini menjadi pengasuh Arsen?" gumamnya.
Bersambung …
Hai, pembaca setia…. ditunggu dukungannya ya….
Jangan lupa tinggalkan like,komentar positif, favorit, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰
Happy reading…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Kenyang
dokter jngn melihat orng dari pnampiln saja😡😱
2022-12-14
0