"Eh, ada Nak Suci."
Kemunculan wanita yang kerap dipanggil Bu Panji itu tentu saja mengejutkan pak Panji. Namun rupanya laki-laki paruh baya itu mencoba bersikap setenang mungkin seolah tak terjadi apa-apa.
"I-i-iya, Bu. Saya datang ke sini untuk mencari budhe saya."
"Oh, mbak Tini masih di dapur. Sebentar saya panggilkan." Bu Panji berlalu dari teras rumah lalu masuk ke dalam dapur yang terpisah dari rumah utama.
"Kalau kamu mau, kamu kawin saja dengaku. Jadi, kamu tidak perlu capek-capek bekerja," ucap pak Panji setengah berbisik.
"Sekali lagi Bapak bicara seronok, saya tidak akan segan-segan melaporkan Bapak pada ibu Panji!" ancam Suci.
"Kamu jangan khawatir. Kalau kamu mau kawin denganku, aku akan membelikanmu rumah baru. Jadi kamu tidak akan tinggal satu atap dengan istriku yang sekarang gembrot itu. Aku pun sebenarnya sudah bosan dengannya."
"Oh, jadi begitu ya. Saya tahu dulu Bu Panji memiliki tubuh yang ideal. Bentuk badannya berubah setelah melahirkan anak kalian yang ke lima. Apa hanya karena hal itu Bapak berniat meninggalkannya dan mencari istri baru?"
"Aku malu kalau ke acara kondangan lantaran sering diledek berjalan dengan gajah bengkak."
Obrolan keduanya terhenti saat Tini muncul di teras.
"Kamu jadi berangkat, Nduk?" tanyanya.
"Iya, Budhe. Aku juga sudah berpamitan pada Murni dan Fitri."
"Ya sudah, hati-hati di perantauan. Jaga diri baik-baik, dan jangan sekalipun melewatkan sholat lima waktu."
"Ya, Budhe. Aku titip bapak, Murni dan Fitri."
"Kamu jangan khawatir, Nduk. Budhe pasti akan memperhatikan bapak dan adik-adikmu."
"Aku pamit dulu, Assalamu'alaikum."
"Kamu tidak pamit juga sama pak Panji?"
"Saya pamit dulu, Pak," ucap Suci seraya menahan rasa kesal.
"Kebetulan aku mau ke kantor kecamatan. Kamu bisa naik mobilku."
"Di ruang terbuka saja berani kurang ajar. Apalagi di dalam mobil," gumam Suci.
"Ehm, tidak usah, Pak. Saya naik angkutan saja." Suci mempercepat langkahnya meninggalkan rumah itu.
*****
"Empat ratus ribu," ucap seseorang yang menawar cincin emas milik Tini yang uangnya akan Suci gunakan untuk ongkos ke kota. Rupanya toko emas tempat cincin itu dibeli telah tutup beberapa bulan yang lalu karena bangkrut. Suci pun tidak punya pilihan lain selain menjual cincin itu pada pembeli emas yang membuka lapaknya tidak jauh dari terminal bus.
"Yang benar saja, Pak. Cincin ini emas asli loh. Beratnya pasti lebih dari satu gram," protes Suci.
"Iya. Tapi cincin ini emas muda dan tidak ada surat nya. Saya tidak berani memberi harga lebih. Kalau kamu menolak tawaran saya, silahkan jual saja di tempat lain."
Pria berkacamata itu menyerahkan kembali cincin itu pada Suci lalu melanjutkan membaca koran.
"Tolong lah, Pak. Saya butuh sekali uang untuk ongkos ke kota sekaligus sebagai pegangan saya sebelum saya menerima gaji."
"Begini saja, saya tambah lima puluh ribu jadi empat ratus lima puluh ribu."
"Tambah sedikit lagi, Pak."
Pria itu mendengus kesal sebelum akhirnya memberikan tawaran terakhirnya.
"Lima ratus ribu!" Ia pun lantas mengambil lima lembar uang pecahan seratus ribu dari dalam dompetnya lalu memberikannya pada Suci.
"Terima kasih, Pak."
"Ya. Hati-hati, di bis banyak copet."
Setelah membeli tiket seharga 150.000, ia pun masuk ke dalam bus. Tempat duduk yang dipilihnya adalah bangku bernomor 15 yang ada di dekat jendela.
"Mau ke kota ya, Mbak," sapa seorang perempuan yang duduk persis di sebelah Suci.
"Iya, Mbak."
"Kalau begitu tujuan kita sama."
"Mbak dari mana?"
"Saya dari desa Makmur."
Setelah cukup lama mengobrol, Suci merasa tenggorokannya begitu kering.
Ia baru ingat tak membawa makanan atau minuman apapun untuk bekal selama di perjalanan.
"Apa kita bisa berhenti sebentar di SPBU, Pak? Saya ingin membeli air mineral," ucap Suci pada kondektur yang tengah memeriksa tiket penumpang.
"Maaf, Mbak. Bus ini baru saja mengisi bahan bakar di SPBU sebelumnya. Kami juga harus mengejar waktu, tidak bisa berhenti sembarangan."
"Kalau Mbak haus, silahkan ambil ini. Kebetulan saya membeli dua botol air mineral," ucap penumpang itu sembari menyodorkan sebotol air mineral pada Suci.
"Tidak usah, Mbak. Nanti saja saya beli air mineral nya setelah saya sampai di terminal."
"Tidak apa, Mbak. Perjalanan masih jauh. Masa Mbak bisa menahan haus selama itu."
Suci yang awalnya menolak tawaran penumpang itu akhirnya menerima air mineral tersebut.
Dua jam kemudian.
"Mbak … bangun, Mbak."
Suci terperanjat saat seseorang mencolek pundaknya. Rupanya sang kondektur.
"Di mana ini, Pak?"
"Kita sudah sampai di terminal."
Suci memandang jam dinding yang berada di atas bangku kemudi. Waktu menunjukkan pukul lima sore. Semua penumpang telah turun tak terkecuali perempuan yang duduk bersebelahan dengannya. Ia pun bergegas beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan bus tersebut. Tiba-tiba terdengar suara khas dari dalam perutnya yang menandakan jika dirinya kini diserang rasa lapar.
"Nasi pakai sayur dan tahu, minum nya teh tawar hangat," ucapnya pada pemilik warung makan yang berada di area terminal. Dalam hitungan detik makanan dan minuman yang dipesannya itu telah tersedia di hadapannya.
"Berapa semuanya, Bu?"
"Lima belas ribu, Mbak."
Suci membuka salah satu resleting tas nya hendak mengambil dompetnya. Namun, tiba-tiba raut wajahnya berubah kebingungan lantaran ia tidak menemukan benda tersebut di dalam dompetnya.
"Kenapa, Mbak?" tanya pemilik warung.
"Dompet saya-dompet saya hilang, Bu," jawabnya dengan suara bergetar.
"Dicari dulu, Mbak. Mungkin terselip di pakaian."
Suci mencari dompetnya di semua ruang tas besar miliknya. Namun tetap saja hasilnya nihil.
"Mungkin dompetnya jatuh, Mbak." Pembeli yang juga tengah berada di warung makan itu menimpali.
"Tidak, Bu. Saya yakin sekali menyimpan dompet saya di dalam tas setelah saya membayar tiket bis."
"Ehm … maaf. Apa di dalam bus tadi ada seseorang yang memberi makanan atau minuman?"
Setelah beberapa saat, akhirnya Suci ingat jika seseorang memberinya sebotol air mineral hingga akhirnya rasa kantuk yang begitu kuat menyerangnya.
"Ya, Bu. Tadi penumpang yang duduk persis di sebelah saya memberi saya sebotol air mineral. Saya tidak mengingat apapun setelahnya. Saya baru bangun setelah kondektur bis membangunkan saya."
"Tidak salah lagi. Pasti air mineral itu sudah dicampur dengan obat tidur hingga membuat Mbak mengantuk. Saat Mbak tidur itulah penumpang yang duduk di sebelah Mbak mengambil dompet milik Mbak."
Tiba-tiba sendi-sendi Suci terasa lemas.
Belum juga tiba di tempat tujuan, ia sudah terkena masalah.
"Handphone! Aku harus segera menghubungi Dina," gumamnya.
Sekali lagi Suci memeriksa isi tasnya berharap ponselnya tidak turut raib.
Bersambung …
Hai, pembaca setia….
Ditunggu dukungannya ya….
Jangan lupa tinggalkan like, komentar positif, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰
🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Devi Handayani
hadehh klasik klasik😩😩😩😩😩😩
2023-03-09
0
Nicky Nick
suci gampang percaya ma orang sij
2023-01-02
0
Suhaetieteetie
suci dah diingetin hati2 teledor percaya sama orang lain
2022-11-02
0