Pengasuh Tomboy Si Pencuri Hati
"Suci! Suci!" teriak seorang wanita paruh baya di sebuah kandang bebek.
"Ada apa, Bude? Kok teriak-teriak."
"Itu bapak kamu!"
"Kenapa dengan bapak?"
"Cepat kamu pulang sekarang!"
Suci bergegas mencuci tangannya. Setelah memastikan pintu kandang yang terbuat dari bambu itu tertutup sempurna, ia pun bergegas meninggalkan tempat itu.
Namanya Suci, gadis berusia dua puluh tahun yang sehari-harinya bekerja sebagai pemberi pakan ternak milik seorang pengusaha yang cukup terkenal di kampung tempat tinggalnya. Ia memiliki sifat periang, tegas dan mandiri.
Suci sendiri adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Kedua adiknya masih duduk di bangku sekolah. Seorang duduk di bangku SMP, sementara si bungsu baru duduk di bangku SD. Sang ibu meninggal dunia sesaat setelah melahirkan si bungsu dan dua tahun yang lalu sang ayah menikah lagi dengan seorang janda beranak satu yang usianya hanya terpaut satu tahun darinya.
Memiliki ibu sambung tak serta merta membuat kehidupannya lebih baik. Sebaliknya, istri baru sang ayah justru seringkali mendatangkan masalah untuknya. Seolah tak peka dengan penghasilan sang ayah hanya bekerja sebagai buruh pencari rumput ternak, sang ibu tiri justru memiliki gaya hidup bak sosialita. Ia tak pernah pikir panjang untuk berhutang yang tentu saja hanya ia gunakan untuk kebutuhan pribadinya dan anak kandungnya yang kini tengah melanjutkan pendidikan di sebuah universitas di kota Y.
Jarak dari kandang ternak menuju rumahnya cukup jauh, sekitar satu kilometer. Dengan berjalan setengah berlari tentu saja keduanya bisa tiba lebih cepat di rumah itu. Rumah berdinding batu bata, lantai nya pun masih beralaskan tanah.
"Bapak!" pekiknya saat mendapati pria yang begitu dikasihinya itu jatuh tersungkur di atas tanah. Wajahnya tampak lebam menandakan jika ia baru saja dipukuli. Ya, pelakunya tak lain dan tak bukan adalah dua orang penagih hutang berbadan kekar yang berdiri dengan bekacak pinggang di tengah pintu rumahnya.
"Mbak Suci!"
Melihat kedatangan Suci, kedua adik perempuannya yang sedari tadi bersembunyi di dalam rumah itu pun lekas keluar dan menghambur ke dalam pelukannya. Ia bisa menangkap ketakutan di raut wajah keduanya.
"Kalian tidak perlu takut, ada mbak," hiburnya.
"Kenapa kalian menyakiti bapak saya 'hah!" serunya pada kedua pria berwajah garang itu.
"Sudah tiga bulan ibu Widya tidak membayar cicilan hutang. Hari ini adalah batas terakhir pembayaran cicilan," jelas salah satu pria itu.
"Hutang?"
"Ya. Bu Widya telah menggadaikan rumah ini senilai dus puluh juta. Menurut isi surat perjanjian ini, jika dalam waktu tiga bulan berturut-turut peminjam tidak membayar cicilan hutang beserta bunganya, maka kami berhak menyita rumah ini." Pria lainnya menimpali.
Suci merebut map berwarna biru yang berada di genggaman salah satu pria berbadan kekar itu kemudian membaca surat perjanjian di dalamnya. Benar saja, tiga bulan yang lalu ibu tirinya meminjam uang sebesar dua puluh juta dengan tempat tinggal mereka sebagai jaminannya.
"Keterlaluan!" gumamnya.
"Bagaimana, apa kamu punya uang untuk membayar hutang itu?" tanya salah satu pria.
"Dari mana saya mendapatkan uang sebesar itu dalam hitungan detik. Memangnya saya tukang sulap?"
Kedua pria itu saling memandang.
"Kalau dalam waktu satu Minggu kamu tidak bisa membayar hutang ini, kalian harus angkat kaki dari rumah ini!" ancam pria bertato itu.
"Ya. Saya janji. Satu Minggu lagi saya akan membayar hutang ini beserta bunganya!" tegas Suci.
"Baiklah, awas kalau kamu ingkar janji!"
"Ya sudah, sana pergi! Jangan membuat adik-adik saya semakin ketakutan!"
Kedua pria penagih hutang itu pun lantas meninggalkan rumah tersebut.
"Kenapa kamu harus janji membayar hutang ibumu Minggu depan, Nduk? Memangnya kamu punya uang dari mana?" tanya sang ayah.
"Aku tidak tega melihat ayah dipukuli begini."
"Ibumu itu memang sudah keterlaluan! Dia menggadaikan rumah ini tanpa sepengetahuan bapak."
"Di mana sekarang wanita tidak tahu diri itu? Sudah bagus ada yang mau menikahi janda beranak satu sepertinya. Ini kerjanya hanya menyusahkan saja," gerutu wanita yang dipanggil budhe itu kesal.
"Tadi ibu bilang mau arisan di rumah bu Rina." Sang adik Murni menimpali.
"Lagaknya saja kaya orang berduit. Tapi hutang pada rentenir lepas tangan begitu saja!"
Tidak berselang lama seseorang muncul .
"Ada apa ini? Kok rame-rame?" tanyanya.
"Istri durhaka! Lihat. Gara-gara perbuatanmu adikku babak belur dipukuli penagih hutang!" seru wanita bernama Tini itu.
"Mbak Tini ini kenapa? Saya baru datang kok nyerocos gitu?" protes Widya.
"Apa benar kamu hutang pada rentenir sebesar dua puluh juta? Uang sebanyak itu kamu gunakan untuk apa?" tanya sang ayah.
"Aku hutang untuk membeli sepeda motor buat Siska di kota. Dia malu setiap hari harus naik angkutan kalau berangkat ke kampusnya," ucap Widya enteng.
"Jadi, demi Siska Ibu ingin mempermalukan keluarga Ibu sendiri? Lantas, Jika kita benar-benar diusir dari rumah ini, kita mau tinggal di mana?" Suci menimpali.
"Kita? Kalau aku gampang. Berangkat ke kota saja. Aku bisa tinggal di tempat kost Siska. Sekarang dia sudah punya pacar orang kaya, jadi tidak perlu pusing-pusing membayar biaya kuliah ataupun membayar sewa kost. Memangnya kamu, kampungan dan hanya tamatan SMP. Mana ada laki-laki yang mau sama kamu."
"Paling-paling anak gadis kamu yang centil itu jual diri di kota. Zaman sekarang mana ada laki-laki yang mau membiayai hidup orang lain tanpa syarat?" cibir Tini.
"Mbak Tini ini kalau ngomong suka ngawur! Menuduh tanpa bukti itu sama saja memfitnah!"
"Sudah, jangan ribut lagi. Malu kalau didengar tetangga," pria bernama Bimo itu.
"Mbakyumu saja yang kebanyakan mulut. Aku tahu dari dulu dia tidak pernah menyukaiku. Jadi apapun yang aku lakukan selalu salah di matanya."
"Apa yang Ibu lakukan memang salah. Sekarang yang harus kita pikirkan adalah bagaimana caranya melunasi hutang itu. Aku tidak rela jika rumah ini sampai diambil rentenir." Suci menimpali.
"Kalaupun ada yang salah, itu bapak kamu. Kalau saja dia punya pekerjaan bagus dan uang yang banyak, aku tidak akan berhutang kesana kemari," ucap Widya.
"Kamu kan sudah tahu bagaimana keadaan Bimo. Dia duda beranak tiga, dan pekerjaannya hanya buruh pencari rumput. Dari awal kamu yang selalu kegatelan menggodanya. Kalau tahu setelah menikah kamu hanya membuatnya susah, lebih baik dia menikahi Fatimah. Sudah cantik, santun lagi. Tidak seperti kamu yang suka membangkang dan sulit diatur," ucap Tini.
"Ah! Bicara dengan Mbak Tini hanya membuat tekanan darahku naik saja!" gerutu Widya.
"Kalau tekanan darah tinggi kamu naik, paling-paling kamu stroke dan mati." Tini terkekeh.
"Astaga. Sekarang malah nyumpahin mati. Yang ada Mbak duluan yang mati karena kebanyakan dosa. Suka ikut campur urusan rumah tangga orang!"
Widya berlalu dari hadapan Tini lalu melengang masuk ke dalam rumah.
"Ya Allah, Bimo … Bimo. Punya istri kok begini amat. Beda banget sama almarhumah Mirna."
Bimo membuang nafas.
"Sifat buruk Widya baru kelihatan setelah kami menikah, Mbak," ujarnya.
"Masalahnya sekarang bagaimana caranya mendapatkan uang sebesar dua puluh juta dalam waktu seminggu?"
tanya Tini.
Bersambung …
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Ananda Muthaharoh
sibimo bapak yg lembek, udah tau istri berhutang cm m nyenengin anaknya doang yg dikota, ga mikirin nasib anak sambungnya gimana, klo qu idah qu cerein aja, dri pd mkan hati, ga ada untungnya jga km nikah lagi pak bimo, yv ada km buntung
2024-07-10
0
Devi Handayani
kasian gara gara bapak.... anak jadi korban😏😏😏
2023-03-09
0
Riyanti
awal baca udah emosi duluan
2022-11-28
0