Suci bernafas lega saat ia menemukan handphone miliknya yang sengaja ia letakkan di bagian paling bawah tas miliknya. Meskipun bukan handphone canggih seperti yang dimiliki gadis seusianya, tetap saja benda itu penting baginya. Ia membelinya dengan cara mengumpulkan sedikit demi sedikit upah yang didapatnya dari mengurus kandang bebek. Tiba-tiba saja ia merasa bersalah lantaran tidak berpamitan dengan pemilik kandang itu sebelum berangkat ke kota. Ah! Biar itu menjadi urusan bapak.
"Alhamdulillah," ucapnya.
"Syukurlah kalau handphone mu tidak ikut diambil juga," ucap pemilik warung.
"Iya, Bu. Kalau handphone saya hilang, saya akan semakin kebingungan."
"Mbak ini dari mana mau kemana?"
"Saya dari kampung makmur mau bekerja di kota ini."
"Kerja apa?"
"Pengasuh bayi. Oh ya, Bu. Saya mau menghubungi teman saya agar menjemput saya ke sini. Uang yang saya punya hanya yang di dalam dompet itu," ucap Suci. Pemilik warung itu mengangguk paham.
[Halo, Din]
[Ya, Ci. Kamu sudah sampai di kota belum?]
[Sudah, Din. Aku baru saja sampai terminal]
[Sekarang kamu jalan keluar dari terminal, lalu naik angkutan berwarna biru. Bilang pada supir nya berhenti di Azzalea Estate. Ongkosnya sepuluh ribu saja]
[Tapi, Din, …]
[Tapi kenapa?]
[Aku tidak punya ongkos naik angkutan. Dompetku hilang]
[Astaga. Kenapa kamu ceroboh sekali?]
[Saat aku berada di dalam bis, seorang penumpang memberi sebotol air mineral untukku. Aku tidak ingat apapun lagi setelah meminumnya. Saat aku terbangun, dompetku sudah raib]
[Pasti penumpang itu yang sudah mencuri dompetmu. Minuman itu sudah dicampurkan obat tidur sehingga membuatmu mengantuk]
[Din, kamu bisa 'kan jemput aku di terminal sekarang? Aku bahkan tidak memiliki uang untuk membayar makanan di warung nasi]
Dina yang berada di seberang sana terdiam.
[Halo, Din. Kamu masih di situ 'kan? Kenapa kamu diam saja?]
[Maaf, Ci. Majikanku tidak memperbolehkanku keluar di atas jam lima sore]
[Jadi, bagaimana caranya aku bisa sampai di rumah keluarga yang membutuhkan pengasuh bayi itu? Hanya kamu satu-satunya orang yang bisa menolongku]
[Ehm, begini saja. Bagaimana kalau aku minta tolong pacarku untuk menjemputmu? Kamu tunggu saja di pintu masuk terminal. Biar nanti dia yang sekalian mengantarmu ke rumah orang yang membutuhkan jasa baby sitter itu.]
[Maaf sudah merepotkan]
[Kamu ngomong begitu kaya ngomong sama siapa saja. Ya sudah, kamu tunggu di pintu masuk terminal. Sebentar lagi mas
Rio akan menjemputmu]
[Terima kasih, Din.]
-Panggilan terputus-
"Maaf, Bu. Saya belum memiliki uang untuk membayar makanannya. Saya janji jika saya sudah gajian nanti, saya akan membayar hutang saya," ucap Suci pada pemilik warung makan.
Ia berpikir pemilik warung itu akan marah atau menyuruhnya mencuci piring untuk mengganti makanan yang sudah ia beli. Namun, ia tak menyangka masih dipertemukan dengan orang baik di kota asing ini.
"Tidak apa, saya ngerti Mbak sedang mengalami kesusahan. Uangnya bisa diganti kapan-kapan."
"Terima kasih, Bu." Suci meraih tangan pemilik warung itu lalu menciumnya penuh takdzim.
"Saya permisi dulu, Bu."
"Ini ada sedikit uang. Semoga bermanfaat." Pemilik warung itu menyelipkan sejumlah uang di tangan Suci.
"Apa ini, Bu? Tidak usah repot-repot. Ibu memperbolehkan saya berhutang saja saya sudah terima kasih sekali."
"Tidak apa, Mbak. Insyaallah saya ikhlas. Sebagai manusia kita harus saling membantu 'bukan?"
"Oh ya, apa saya boleh tahu nama Ibu?"
"Orang-orang di sini biasanya memanggil saya bu Tegal. Sesuai kota asal saya."
"Kalau begitu saya permisi dulu. Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam, hati-hati."
******
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam petang namun orang yang akan menjemputnya belum juga muncul. Ia pun kembali menghubungi Dina.
[Halo, Din. Maaf, mana pacar kamu? Sudah hampir gelap kok dia belum sampai?]
[Pacarku bilang sudah menuju ke sana. Mungkin sebentar lagi sampai]
Benar saja, hanya selang beberapa saat setelah menutup teleponnya, seorang laki-laki seusianya datang dan menghampiri Suci yang kini berdiri di pintu masuk terminal.
"Kamu temannya Dina ya?" tabya laki-laki itu.
"I-i-iya, Mas."
"Tunggu. Sepertinya wajah kamu tidak asing bagiku." Laki-laki itu pun lantas mengamati penampilan Suci dari ujung rambut hingga ujung kakinya.
"Kamu Suci 'kan?''
"Bagaimana bisa kamu kenal saya? Sepertinya kita belum pernah bertemu sebelumnya."
"Ini aku, Ari. Kita pernah satu kelas waktu SMP."
Giliran Suci yang mengamati penampilan Ari atau yang entah mengapa namanya kini berganti menjadi Rio.
"Ka-ka-mu Ari Prasetyo 'kan? Yang dulu duduk di belakang bangku ku? Maaf, aku hampir tidak mengenalimu."
Ari Prasetyo. Meskipun bukan murid yang menonjol di sekolahnya dulu, namun Ari cukup pandai di pelajaran seni. Setiap kali guru mereka memberi tugas menggambar, Ari lah yang akan mendapatkan nilai tertinggi di kelas.
"Ya, Aku Ari Prasetyo. Masa kamu pangling dengan kawan sendiri]
"Penampilan kamu berubah 180 derajat. Dulu badan kamu kurus dan kulit kamu gelap. Sekarang badan kamu berisi, kulit kamu juga sedikit lebih bersih."
"Mungkin ini karena sehari-harinya aku bekerja di dalam ruangan ber AC."
"Memangnya kamu bekerja di mana?"
"Di Indo-Mei. Hari ini aku masuk shift malam. Ya sudah cepat naik. Aku antar kamu ke rumah majikan kamu."
"Apa rumahnya jauh?"
"Nggak kok. Mungkin lima belas menit pakai motor."
Suci pun lantas membonceng sepeda motor Ari.
Ketika di tengah perjalanan peristiwa tak terduga terjadi. Tepatnya di lampu merah. Saat pergantian dari lampu kuning menuju warna hitam, entah disengaja atau tidak, sebuah mobil sedan berwarna merah melaju dengan kecepatan sedang menyalip sepeda motor yang mereka tumpangi hingga menyenggol salah satu spion kendaraan roda dua itu. Akibatnya sepeda motor matic itu pun terjatuh. Bukannya berhenti ataupun meminta maaf, mobil itu justru melaju begitu saja meninggalkan tempat tersebut.
"Dasar pemilik mobil nggak punya etika!
Kalau kamu ganteng aku sumpahi jadi suamiku!" umpat Suci seraya memegangi siku tangannya yang terluka akibat terjatuh di jalan beraspal.
"Di mana-mana nyumpahin itu yang jelek. Kenapa sumpah kamu begitu?" protes Ari yang tengah berusaha mengangkat kembali sepeda motornya.
"Nggak tahu, tiba-tiba saja keluar kata-kata itu." Suci terkekeh.
"Kamu nggak apa-apa 'kan?" tanya Ari.
"Cuma lecet begini saja, kecil. Nanti juga sembuh sendiri."
"Dari dulu kamu tidak pernah berubah, tangguh dan pantang mengeluh," puji Ari.
"Pim! Pim! Pim! Woi! Cepat jalan! Kalian pikir ini jalanan nenekmu!" seru seorang pengguna jalan dari dalam mobilnya.
"Apa begini perilaku pengguna jalan di kota? Mereka berbuat semaunya," ucap Suci.
"Tidak semuanya penduduk kota seburuk yang kamu pikir. Aku sudah cukup lama bekerja di kota ini, masih ada orang baik."
Lima belas menit kemudian keduanya tiba di sebuah rumah. Ari yang memang sudah mengenal security di rumah itu pun mengenalkan Suci padanya.
"Aku pergi dulu, semoga kamu betah kerja di sini," ucap Rio atau yang sebenarnya bernama asli Ari itu.
"Terima kasih sudah mengantarku."
Tidak berselang lama Ari pun meninggalkan rumah tersebut.
"Mari, Mbak. Saya antar ke dalam menemui tuan dan nyonya," ucap security bernama Bondan itu.
Suci menarik nafas panjang sebelum melangkahkan kaki di rumah besar berlantai dua itu. Rumah yang sebentar lagi akan menjadi tempatnya bekerja demi menyelamatkan keluarganya. Namun, langkahnya terhenti saat ia melintasi sebuah mobil yang terparkir di halaman yang cukup luas itu.
"Loh, mobil ini, …"
Bersambung …
Hai, pembaca setia…. ditunggu dukungannya ya….
Jangan lupa tinggalkan like,komentar positif, favorit, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰
Happy reading…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Kenyang
suci sepertinya sumpah kmu akn mnjadi kenyataan🥰🥰🥰
2022-12-14
0