Qiya mengatur napasnya. Ia terlihat sudah tak mampu lagi menghasilkan air mata untuk rasa sakit yang kembali harus menusuk sebongkah hati. Baru saja ia merasa bahagia karena meraih gelar dokter namun saat detik-detik hari bahagianya, kabar meninggalnya Ibrahim diikuti kepergian Pak Erlangga membuat hati Qiya tak mampu lagi merasakan apa itu arti sakit.
Ia hanya bisa merasakan tanpa bisa mengekspresikan nya lewat air mata atau lewat ucapan. Hanya sebuah rasa untuk menahan emosi sang kakak yang paling penting. Dari sejak mereka kecil, Ammar akan cepat sekali naik pitam jika dirinya di sakiti orang lain. Dan hal itu kadang membuat banyak teman-teman Qiya takut jika menyakiti atau membuat bungsu Ayra sebelum kehadiran Ibrahim.
"Kita dengarkan dulu penjelasannya kak. Tak baik menarik kesimpulan dari sudut pandang kita. Dan jika memang ada alasan untuk membatalkan pernikahan kita. Apakah tak bisa dibicarakan baik-baik disaat keluarga kami sudah mampu menenangkan hati di tengah duka yang menimpa kami?" Pinta Qiya menatap Hilman.
Lelaki itu mendengar suara Qiya yang tak menunjukkan emosi pun cepat menoleh ke arah Qiya. Adik Ammar cepat membuang pandangan ke arah wajah Kakaknya. Ia tak ingin terlena memandangi wajah tampan Hilman yang juga basah karena air mata.
"Tidak Qi! Rumah tangga itu akan dihadapkan dengan kebingungan demi kebingungan. Pilihan demi pilihan. Maka jika diawal saja calon suami mu ini tak punya pendirian yang kuat sebagai calon nakhoda biduk rumah tangga itu. apalagi jika perahu itu berlayar." Ammar melerai lengan Qiya yang memegang baju kemejanya.
"Tidak perlu bingung membuat keputusan. Biar kami pihak mempelai perempuan yang membuat keputusan. Kalian tidak akan pernah menikah! aku yang pertama kali menentangnya! sekalipun kamu dan adik ku saling menyukai!" Ucap Ammar Penuh amarah.
Qiya kembali menenangkan kakaknya.
"Kak, duduklah dulu. Tak baik membicarakan masalah disaat marah. Kita kedalam saja dulu. Kita lihat kondisi Mama." Pinta Qiya agar tak terjadi keributan di rumah sakit itu.
Karena beberapa mata orang yang lewat juga perawat memandangi mereka ketika melewati mereka.
"Tunggu Qi.... " Suara Hilman terdengar memelas.
Qiya telah berbalik akan menuju ruangan Ayra. Langkahnya terhenti karena mendengar suara Hilman. Ia tak menoleh kebelakang. Ia menunggu apa yang ingin di sampaikan lelaki yang ia pikir akan bisa menjadi partner dalam menjalani separuh sisa usianya hingga menua.
"Aku belum membuat keputusan Qi... "
"Sudah atau belum kamu membuat keputusan. Dengan dilema nya kamu memilih antara aku dan orang tua mu akan mempersulit langkah kita ke depannya jika pernikahan ini tetap dilanjutkan. Ku rasa sekarang bukan saat yang tepat untuk membahas ini. Keluarga sedang berduka, Sedikit kecewa saja. Ku kira proses khitbah dan lamaran yang kita lakukan kemarin agar tak ada dusta diantara kita. Namun ternyata ada dusta di antara kita-"
"Tidak Qi. Aku tidak berdusta. Aku menyukai dirimu. Aku betul-betul mengagumi dirimu. Bahkan aku sejak kita masih di Aliyah aku memendam rasa pada mu." Ucap Hilman cepat.
Qiya memejamkan kedua matanya. Ammar menatap Hilman dengan tatapan tak bersahabat.
"Aku sebagai anak tertua di keluarga ku. Maka aku berhak menjaga kehormatan keluarga kami. Tidak perlu menunggu! Mulai hari ini kamu dan adik ku bebas. Kamu bebas memilih wanita lain untuk menjadi istri mu. Begitupun adik ku! Barang-barang yang kamu bawa ketika proses khitbah akan kami kembalikan Bapak Hilman Narendra yang terhormat! Kami permisi!" Ammar menarik pergelangan tangan Qiya.
Adik Ammar itu seperti biasa, ia hanya memejamkan kedua matanya. Ia mengikuti langkah Ammar. Hilman hanya bisa menatap punggung kedua orang itu menghilang dibalik pintu kamar pasien.
Ia masih duduk di depan ruangan itu. Sedangkan di dalam ruangan, Bram masih mendampingi istri tercintanya. Ia menggenggam tangan Ayra yang tak terbelit infus.
"Papa...." Ucap Qiya sambil memeluk lelaki yang menjadi idolanya.
Bram mengusap lengan putrinya yang sedang memeluk punggungnya.
"Maafkan Papa. Papa belum sempat menceritakan pada kalian."
"Kita fokus ke Mama dulu ya Pa." Ucap Qiya sambil menempelkan kepalanya ke pipi Bram.
Ia kembali melanjutkan kalimat demi kalimantnya untuk menenangkan hati ayahnya.
"Qiya sudah besar pa. Sudah saatnya Qiya pun belajar menyelesaikan masalah Qiya. Papa tidak perlu terlalu memikirkan anak gadis papa ini. Bukankah dulu Mama justru ditinggal oleh mempelai lelakinya di hari pernikahan nya? Itu karena Allah ingin Mama bahagia bersama Papa." Ucap Qiya sambil berusaha Manahan agar matanya yang telah terasa perih, kepala yang terasa sakit, agar tak kembali meneteskan air mata.
"Mama kalianlah yang membuat papa bahagia." Bram mengecup punggung tangan istrinya.
"Mama dan Mbah Uti selalu bilang jika hidup kita di dunia ini salah satunya untuk beribadah, dan sebagai orang yang beriman kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak langkah Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Dan Rasulullah selalu bersabar atas musibah yang menimpanya." Ucap Qiya pelan.
Ammar yang duduk di sisi ranjang tepat di depan Qiya. Ia pun juga menimpali agar Bram juga harus kuat. Bram sangat terlihat terpukul dengan kehilangan Pak Erlangga juga Ibrahim.
“Setidaknya keluarga Pak Rendra sedang meminum racun. Karena menyakiti orang lain sama saja mereka menyakiti diri sendiri." Ucap Ammar dengan tatapan kosong.
Karena Ammar tahu jika menyakiti orang lain pada hakikatnya bagaikan meminum racun. Meminum racun itu tidak berbahaya pada orang lain, tapi justru berbahaya pada diri kita sendiri. Hal itu sering sekali ia lihat dari penjelasan Ayra ketika berkali-kali anak sulungnya itu memukul temannya karena lebih dulu mengganggu atau menghina teman dan dirinya.
"Kak... hati-hati. Penyakit hati kadang hinggap di hati kita dengan tanpa kita sadari. Menganggap diri kita lebih baik kadang juga penyakit hati." Ucap Qiya melemparkan senyum dengan mata sayu.
Mata yang menyembunyikan duka tetapi masih mampu menyunggingkan senyum dari bibir manis Qiya. Gadis itu kembali mengingatkan Ammar.
“Akhlak mulia bisa ada karena bersumber dari hati yang bersih yakni bersih dari penyakit hati, Mama selalu mengingatkan kita bukan."
Seketika Ammar teringat Ibrahim. Kata-kata itu pun sering keluar dari adik bungsunya.
Diantara mereka bertiga. Hanya Ammar yang tak mengeyam pendidikan sampai tingkat Aliyah atau SMA. Ia hanya mondok selama SD. Sedangkan SMP dan SMA ia di sekolah negeri. Hal itu karena di pondok pesantren anak lelaki Ayra itu Selakau saja berkelahi. Hingga terakhir berada di pondok pesantren Kali Bening dan diasuh oleh Furqon. Namun bukan berubah, sulung Ayra itu semakin menjadi-jadi. Ia bahkan sering mencuri. Akhirnya Ayra dan Bram memutuskan Sulung mereka itu mereka didik sendiri dirumah.
Berbeda dengan Qiya dan Ibrahim. Dua anak Ayra itu menghabiskan masa sekolah mereka hingga masa kuliah. Maka jangan heran jika Ammar untuk pemahaman agamanya tak sebaik Qiya. Tetapi lelaki yang memiliki gelar Sarjana Teknik Pengolahan Migas itu sangat berhati-hati ketika bersikap. Untuk ibadah ia juga tak meninggalkan kewajibannya. Hanya saja sifat dan watak keras Ayahnya betul-betul melekat pada Ammar.
Maka bekal pendidikan yang Ayra tanamkan yang sedikit bisa membuat anaknya bisa mengontrol emosinya.
"Dan salah satu agar mencapai derajat yang mulia di sisi Allah kuncinya ialah berusaha agar tidak menyakiti orang lain. Baik secara fisik atau pun non fisik." Ucap perempuan yang dari tadi sengaja tak membuka kedua matanya.
Ia menikmati pembicaraan anak-anaknya ditengah badai yang menggoyangkan keluarganya.
"Mama..." Ucap Qiya dan Ammar bahagia.
Bram pun mengusap pipi istrinya.
"Kenapa kalian menatap Mama seperti itu? Mama insyaallah akan baik-baik saja, dan panjang umur. Karena katanya salah satu yang membuat kita panjang umur yaitu bahagia. Dan Mama bahagia karena kalian. Bukankah begitu Bu Dokter Shidqiya Nafisah?." Goda Ayra pada Putrinya.
Ketiga orang itu tersenyum lega. Karena Perempuan nomor satu di keluarga mereka sepertinya tak mengalami luka berat. Atau memang Ayra selalu mampu menenangkan setiap anggota keluarganya sekalipun hatinya sedang hancur karena hati ibu mana yang akan baik-baik saja kehilangan putra bungsunya.
Ketiga orang itu cepat memeluk sosok yang selalu memberikan mood booster di keluarga mereka. Yang selalu menjadi penenang ketika mereka sedang risau.
"Mereka butuh energi positif mu Ayra. Sesakit apapun hati mu. Serapuh apapun kamu. Kamu adalah lentera bagi mereka. Tersenyumlah sekalipun hati mu menangis...... Mama merindukan mu Ibrahim.... Semoga kelak kami berkumpul di surga mu Rabb...." Ayra bersedih tanpa menitikkan air mata.
Ia mengusap lembut punggung ketiga orang yang silih berganti memeluk dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 166 Episodes
Comments
Ross Ariestha
part awal udah dikasih banyak bawang 😭😭😭
2024-01-06
4
SigMa love
Melow dr awal....😭😭😭😭😭😭sampai sini aku marathon tapi aku sedih juga karya2 author bagus2 tapi yg koment sedikit bgt.... ayo buruan ajak temen2 lain buat baca karya author soalnya recomended bgt😍😍😍😍
2023-11-16
2
amelia lia
😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
2023-09-14
1