“S-saya?” tanya Nami menegaskan. Ia menunjuk dirinya sendiri. Merasa tidak yakin kalau pria ini bicara dengannya.
“Iya. Istrinya mas yang tadi ... Nah! Mas itu kan?” tanya pria itu menunjuk Yugi. Nami mengangguk saja.
“Anda temannya dia?” tanya Nami.
“Bukan. Hanya kenal barusan. Saat mas itu nungguin Mbak pulang. Dia sudah sejak tadi nungguin Mbak. Tak suruh telepon, katanya takut ganggu Mbak yang masih bekerja,” jelas pria ini.
Jadi Yugi sudah menunggu ku sejak tadi?
"Sepertinya kita harus saling bertukar nomor handphone," ujar Yugi saat di dalam mobil. Nami menoleh. Mereka berdua memang tidak pernah tahu nomor masing-masing. "Biar aku tahu kapan kamu pulang kerja." Pria itu menoleh ke samping juga.
"Ya," sahut Nami. Yugi meraih ponsel di sampingnya dan menyerahkan pada Nami.
"Tolong tulis nomor kamu," kata Yugi dengan sesekali menoleh ke depan karena masih menyetir. Nami menerima sodoran ponsel itu.
Saat hendak mengetik, ponsel ternyata masih terkunci.
"Handphone mu di kunci," kata Nami. Ia ingin menyerahkan ke Yugi untuk membukanya.
"Password-nya tanggal pernikahan kita," kata Yugi. Nami sebenarnya terkejut. Namun dia bisa segera menyembunyikan itu. Ternyata, Yugi lebih bisa menerima pernikahan terpaksa ini daripada dirinya. Bahkan menyelipkan sesuatu dari mereka berdua dalam kehidupannya. Yugi melirik. Nami mendengus samar.
"Sebentar lagi, kita akan berangkat untuk pindah," kata Yugi.
“Pindah? Kemana?” tanya Nami bingung.
“Rumah ku," sahut Yugi. Karena ia belum selesai cuti, rupanya pria ini menyiapkan segalanya. Termasuk kepindahan mereka di rumah milik Yugi sendiri. Nami sendiri baru tahu kalau dia akan di boyong ke rumah pria ini.
“Jadi kita tidak akan tinggal di rumah bunda?”
“Kamu ingin tetap tinggal di sini?” Yugi malah memberi tawaran. Dia mengartikan lain pertanyaan Nami. Namun sepertinya Yugi hanya ingin meledek Nami. Terlihat dari senyum tipis di bibirnya.
“Bukan.” Nami langsung menepisnya dengan cepat. “Kalau mau jujur dan di kabulkan, aku ingin pulang. Ingin tinggal di rumah ku sendiri. Rumah mama.” Nami mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya. Dia tidak segan mengatakannya karena yakin Yugi tidak akan marah. Pun dia tahu Yugi tidak akan mengabulkan.
“Meski kamu adalah tumbal untuk membuat nama keluargamu tetap baik?” tanya Yugi mengejutkan. Nami menatap Yugi dalam. Sorot matanya yang tadi berapi-api ingin tinggal di rumahnya sendiri redup. Apa yang di katakan Yugi itu benar. Dia adalah korban keegoisan mama dan adiknya.
“Bagaimana pun keluarga tetaplah keluarga,” kata Nami pelan. Ada sesak di dadanya. Yugi tahu itu. Ia mendehem sebentar.
“Jangan jadi orang yang terlalu baik, Nami. Kamu bisa terluka sedalam-dalamnya,” kata Yugi.
“Aku bukan orang baik. Kamu tidak tahu sepenuhnya tentang aku,” tepis Nami. “Jangan melihat hanya dari luar.” Perempuan ini melipat semua pakaiannya ke dalam tas bepergian yang sudah di persiapkan Yugi.
Yugi memandang perempuan yang pernah di kenalnya sebagai calon kakak ipar agak lama.
“Benar. Aku memang belum tahu sepenuhnya tentang Mbak Nami selain sebagai calon kakak ipar,” kata Yugi setelahnya. Yugi kembali menambahkan embel-embel ‘Mbak’ pada namanya seperti semula.
...***...
Ada sedikit adegan mengharukan siang ini. Di saat Nami dan Yugi hendak berangkat ke rumah baru.
“Aduh ... Padahal Bunda belum puas tinggal bareng sama Nami, Yugi sudah memboyong istrinya pulang ke rumahnya sendiri.” Mertua mengelus dan memijit lengan Nami. Beliau menyayangkan kalau akhirnya menantunya akan tinggal di rumah yang sudah di beli putranya. Berpisah dengan keluarga di sini.
“Maafkan Nami,” ujar Nami canggung.
“Jangan meminta maaf. Nami tidak bersalah. Bunda saja yang berlebihan.” Ayah menasehati. Bunda melihat ke ayah mertua sambil menggerutu. Ini hari Minggu. Ayah ada di rumah. Sementara dirinya juga libur.
“Yugi itu terlalu mandiri. Padahal dia anak bungsu, tapi dia justru punya rumah sendiri. Biasanya kan bungsu itu ikut orangtuanya. Yugi enggak,” ujar mertua malah membicarakan putranya. Nami tersenyum tipis. Lalu memijit lengan mertua perempuan ini dengan pelan. Mencoba menenangkan lewat pijatan-pijatan itu.
Mungkin menjadi orangtua saat menikahkan anaknya itu tidak gampang. Ada rasa tidak rela saat mereka harus pergi ikut keluarga kecilnya yang baru.
“Kenapa terburu-buru pindah Yugi? Kalian belum lama di rumah ini,” kata Bunda.
“Biarkan Yugi mengambil keputusan sendiri,” kata ayah setuju.
“Tapi kan enggak perlu sekarang, Ayah.” Bunda tidak rela.
“Sekarang atau nanti itu sama saja. Kita harusnya bersyukur Yugi sudah bisa mengambil keputusan besar.” Ayah memberi nasehat.
Yugi tidak banyak bicara. Semua yang di katakan oleh ayah sudah tepat. Dia tidak perlu menambahkan lagi sebuah penjelasan untuk Bunda.
...***...
Mobil yang di tumpangi Yugi dan Nami tiba di kawasan perumahan. Nami belum pernah ke area ini, tapi ia pernah ke hunian di sebelah perumahan ini. Apartemen milik Rico.
“Belum pernah ke area ini?” tanya Yugi.
“Belum,” sahut Nami yakin. Meski enggan dia akhirnya menjawab.
“Mmm ... Jadi ini pertama kalinya, ya?” gumam Yugi. Nami menoleh ke samping. Pria itu tengah manggut-manggut samar. Ada yang di pikirkan Yugi. Dia pikir Yugi akan mengatakan sesuatu lagi. Ternyata pria itu justru diam. “Kita sudah sampai.”
Rumah Yugi tidak begitu jauh dari gerbang masuk perumahan. Hingga jika di tempuh dengan jalan kaki dari jalan besar, tidaklah sulit.
Nami turun dari mobil dengan perlahan. Dia masih belum yakin benar kalau harus tinggal di rumah baru lagi. Sementara itu, Yugi akan mengeluarkan barang-barang dari bagasi. Nami tersadar bahwa dia seharusnya membantu. Kakinya melangkah ke belakang untuk menyusul Yugi.
“Ada apa?” tanya Yugi saat melihat Nami menuju ke arahnya.
“Aku mau bantu,” sahut Nami.
“Tidak perlu. Jangan sungkan. Biarkan aku membawakan semuanya,” tolak Yugi seraya mengambil barang-barang dari dalam mobil.
“Aku tidak sungkan. Hanya terbiasa melakukan sendiri. Jadi aku ingin membawa barang ku sendiri,” jelas Nami menampik kata-kata Yugi. Dia masih berdiri di dekat pria itu. Menunggu bawaannya di serahkan padanya.
“Kalau begitu, biasakan dirimu berbagi denganku,” ujar Yugi yang kini melihat ke arahnya. “Selama ada aku, biarkan aku membantumu.”
Nami terdiam. Meski awalnya ia yang melihat ke arah Yugi terlebih dahulu, tapi mendadak ia kalah saat pria ini mulai benar-benar melihat ke arahnya.
“Terserah kamu.” Nami menjauh dari bagasi. Memilih melihat-lihat ke sekitar rumah dengan tangan di lipat. Namun benaknya justru berpikir ke arah lain. Dimana itu adalah apartemen Rico.
Hhh ... Kenapa ingat dia. Nami menunduk dan menendang kerikil kecil di depannya. Menggeram pelan dan berdecih kesal.
...____...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
seru_seruan
Yugi masih banyak misteri.
2022-12-11
0
%ER%
betul....
jangan memperbesar masalah yg hanya seupil😁
2022-11-01
1
Hesti Ariani
disini nami masih mengikuti perasaan kecewanya. padahal yugi sudah berusaha menerima.
2022-11-01
1