"Kalau cuma baju mahal, siapa saja bisa punya, Me (Bu). Jadi, itu bukan berarti dia orang kaya. Pengemis saja sekarang bajunya bagus dan mahal-mahal," cibir Surya yang tak terima ketika Widya mulai takjub dengan pakaian Rain yang sedang berada di dalam genggamannya. "Bisa jadi dia bawa uang dollar banyak dan ditukarkan ke rupiah. Itu bukan hal yang tidak mungkin, 'kan?" sambungnya.
"Me Widya tahu sendiri bahwa dollar sekarang mahal," Surya terus-menerus meyakinkan ibu tiri Binar tersebut.
Widya melirik ke arah Rain yang ternyata juga tengah memandangnya dengan sorot kalem. "Aku penasaran, bule dari mana sih dia?" celetuknya seraya mengamati Rain dari ujung kepala sampai kaki.
"Kalau bule kaya ya tidak mungkin hilang di dalam hutan, Men. Bule kaya biasanya berdiam di hotel mewah, ditemani guide khusus," cibir Surya lagi dengan pandangan meremehkan ke arah Rain.
"Sudah, sudah! Kok jadi membahas tentang bule tidak jelas ini. Bukannya kalian sedang ngobrol berdua?" tunjuk Widya pada Surya dan Binar secara bergantian.
"Biar Rain di sini, Bu. Tidak apa-apa 'kan kalau dia ikut bergabung, Sur?" Binar tersenyum manis pada Surya, membuat pemuda itu tak bisa berkata-kata.
"Itu namanya bukan ngobrol berdua!" protes Widya. "Sekalian saja ajak Wisnu dan Praya!" protesnya.
"Bukannya ibu yang sering bilang agar aku tidak berduaan dengan laki-laki. Kenapa sekarang tiba-tiba ...." Binar tidak melanjutkan kata-katanya, karena Wisnu dan Praya muncul di ruangan itu.
"Ada apa, Bu? Ibu mau mengajak kami ke mana? Kami sih mau-mau saja," celoteh Wisnu tiba-tiba. Tampak Praya mengikuti di belakang tubuh bocah yang baru saja keluar dari kamarnya. Kamar Wisnu dan Praya berada tepat di sebelah kamar Binar yang kini ditempati oleh Rain.
Tanpa merasa berdosa, kedua bocah itu duduk di samping Rain dan mulai mencomoti sajian ubi rebus yang sengaja disajikan untuk Surya.
Makin kesal lah Widya melihat kelakuan mereka. Namun, dia tak bisa melampiaskan amarahnya begitu saja karena Widya harus menjaga image-nya di depan Surya.
"Sudah malam sepertinya." Surya mendengus pelan. Kecewa sudah pasti dia rasakan kala keinginannya untuk berdua saja dengan Binar tak terlaksana. "Kamu besok kerja, 'kan?" tanyanya pada Binar.
"Masih jam tujuh, Bli. Masih sore," sela Praya dengan mulut penuh makanan.
"Besok saja dilanjut lagi." Surya mengedipkan sebelah matanya terhadap Binar. Namun, gadis itu sama sekali tak menanggapi. Dia malah memalingkan muka ke samping dengan raut yang tak suka. "Besok kuantar kerja, ya." Surya tak putus asa membujuk Binar agar mau menanggapi dirinya.
"Tidak usah. Terima kasih sebelumnya. Namun, kamu tidak perlu repot-repot. Besok aku berangkat dengan Rain saja," tolak Binar halus.
Sedangkan Widya sontak saja melotot saat mendengar kalimat Binar tadi. Sorot matanya tajam dia arahkan terhadap putri sambungnya tersebut. "Jemput saja langsung, Sur. Tidak perlu meminta izin, atau banyak bicara lagi," ujarnya seraya mengalihkan pandangan pada Surya.
"Ya sudah kalau begitu. Sampai jumpa besok." Surya menggerakkan tangannya pelan kemudian bangkit dari kursi. Dia sempat melirik pada Widya, seakan memberikan isyarat untuk wanita itu.
Widya sendiri mengangguk dan mengikuti langkah Surya keluar rumah diiringi tatapan penuh kelegaan dari Binar. Gadis cantik tersebut mengembuskan napasnya kuat-kuat sembari menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Sedangkan Rain tertawa geli melihat tingkah kedua adik tiri Binar yang sudah menghabiskan sepiring besar ubi rebus.
"Kenyang sekali perutku, Ya," Wisnu mengusap-usap perutnya sambil bersandar seperti Binar.
"Aku juga, Bli," balas Praya sambil meringis. Dia seperti kesulitan bernapas.
"Kamu mau tidur sekarang, Ya? Lama-lama aku jadi mengantuk," keluh Wisnu. Dia pun berdiri dan melangkah gontai menuju kamarnya.
"Aku juga, Bli," Praya mengikuti tingkah kakaknya memasuki kamar, meninggalkan Binar dan Rain berdua saja di ruang tamu.
"Rain," lirih suara Binar memanggil pria yang sedari tadi memperhatikan dirinya lekat-lekat. "Besok antarkan aku kerja lagi, ya," pintanya dengan sorot mata sedikit memohon.
"Pasti, Nar. Selama aku masih berada di sini, tidak kamu suruh pun aku pasti akan mengantar jemput kamu, meski hanya dengan berjalan kaki," tutur Rain lembut.
"Berjalan kaki atau menggunakan kendaraan, bagiku tak masalah. Apa bedanya selama yang mengantar dan menjemputku adalah kamu," ujar Binar sedikit menggoda Rain.
"Ya, ampun. Sejak kapan kamu mulai pandai merayu seperti itu?" Rain tersenyum geli saat menanggapi sikap dan tutur kata Binar terhadapnya. "Kamu tahu, Nar? Usiamu mungkin masih sangat muda, tapi kedewasaan itu sudah terlihat jelas dalam diri kamu," ucap Rain lagi memberikan sanjungannya kepada Binar.
"Aku tidak bisa bermanja-manja pada hidup yang kujalani. Kamu tahu sendiri seperti apa hari-hari yang kulalui selama ini. Jika bukan karena Praya dan Wisnu, maka aku pasti sudah pergi sejak lama. Namun, aku tak ingin meninggalkan kedua adikku dalam asuhan ibu. Aku hanya akan pergi jika sikap ibu, sudah benar-benar dirasa keterlaluan dan tak bisa ditolerir lagi," tutur Binar dengan seutas senyuman di bibirnya. “Terima kasih, Rain," lanjutnya pelan.
“Kenapa kau berterima kasih padaku? Justru akulah yang seharusnya berterima kasih padamu, karena kamu sudah bersedia menampungku yang hilang ingatan dan tak punya apa-apa.” Rain terlihat memasang wajah yang cukup serius. Tatapannya terfokus pada bola mata Binar yang berwarna hitam pekat. Seakan terhipnotis, Rain melihat ada banyak bayangan dan juga kilasan-kilasan. Makin jauh dirinya masuk ke dalam bola mata hitam itu, semakin jelas gambaran-gambaran yang Rain tangkap dalam memorinya.
Kilasan-kilasan adegan yang dilihatnya hampir sama seperti potongan sebuah film. Semuanya terangkai dengan sempurna dan begitu jelas dalam benak Rain. Seorang gadis berambut lurus dan panjang, menghampiri dan mencumbunya. Gadis itu kemudian mengucapkan kata-kata yang samar terdengar oleh pria bermata cokelat terang tersebut. “Arsenio. Ayo, Arsenio,” panggil gadis dalam bayangannya itu. “Aku berjanji tak akan memberitahukannya pada Wini,” gadis yang terlihat makin jelas sosoknya itu, tersenyum menggoda. Dia semakin mendekat ke arah Rain dan berusaha untuk menyentuh dirinya
“Nee (tidak)!” pekiknya tiba-tiba. Sama halnya dengan Binar, Rain sendiri pun sama terkejutnya. “Ma-maaf, Binar. Maaf. Aku tidak bermaksud mengejutkanmu,” Rain memundurkan tubuhnya perlahan. Dalam keadaan bingung, dia mulai terengah dan mulai merasakan nyeri hebat pada kepalanya. “Aduh,” Rain memegangi kepala dan mencengkeramnya erat-erat. “Sakit sekali,” keluhnya sembari meringis dan memejamkan mata rapat-rapat.
“Rain? Kamu kenapa?” Panik, Binar memegangi tubuh Rain dan berusaha memapahnya masuk ke dalam kamar. “Istirahatlah dulu.” Dengan telaten, gadis itu membantu Rain berbaring ke atas ranjang, lalu menyelimutinya. “Akan kuambilkan air,” Binar sudah hendak beranjak dari sisi ranjang, ketika Rain tiba-tiba memegang pergelangan tangannya.
“Tidak, jangan pergi. Tetaplah di sini. Jangan ke mana-mana,” pinta Rain lemah. “Temani aku tidur,” ucapnya dengan setengah menggumam.
“Baiklah, tapi kamu belum makan dan minum obat,” ujar Binar.
“Tidak apa-apa. Sebentar saja,” pegangan tangan Rain melemah, kemudian lengannya terkulai lemah di sisi tubuh.
“Rain?” Terakhir kali Binar merasakan kekhawatiran dan kekalutan seperti itu, adalah ketika sang ayah terkena serangan jantung dan harus dilarikan ke rumah sakit. Kini, rasa panik dan was-was itu hadir kembali dalam situasi yang berbeda. “Rain,” panggil Binar lagi. Hati-hati dia mendekatkan telunjuknya pada lubang hidung Rain. Dengan saksama Binar dapat merasakan hembusan napas dari saluran pernapasan pria rupawan itu. “Syukurlah,” ucapnya lega.
Binar sebenarnya berniat untuk tetap berada di samping Rain, hingga pria itu kembali terjaga. Akan tetapi, rasa lelah setelah seharian bekerja membuat gadis itu didera kantuk yang teramat sangat. Tanpa sadar, Binar pun tertidur dalam posisi duduk di kursi dekat ranjang, dengan kepala bertumpu pada tangan Rain. Dia baru tersadar ketika tangan itu bergerak. Gadis itu buru-buru bangun dan menegakkan badannya. “Kamu tidak apa-apa, Rain?” tanya Binar seraya mengumpulkan kesadaran.
“Tanganku kesemutan,” Rain terkekeh pelan sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
“Aduh, maaf, Rain. Aku tadi ketiduran,” sesal Binar malu-malu.
“Tidak apa-apa. Lagi pula, sudah hilang semutnya,” Rain kembali tertawa, sampai terlihat lesung pipinya.
Sikap manis pria itu, telah membuat Binar merasakan sesuatu yang lain dalam hatinya. Pipi gadis cantik tersebut bersemu merah, ketika menatap sekaligus mengagumi betapa sempurnanya paras Rain. “A-akan kuambilkan minum,” ucapnya mencoba menghindar, dari perasaan tak karuan yang membuatnya merasa tergelitik. Beginikah rasanya jatuh cinta? Pikir Binar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 242 Episodes
Comments
Yuen
Maaf thor klo panggil bu bicara langsung harusnya Me bukan Men.
2022-12-16
2
Dwisya12Aurizra
jangan sampai Binar jatuh cinta sama Rain thor, kasian nanti dia kecewa, Rain kan udah tunangan, jadi anggap sodara aja ya....
2022-10-26
3