Dari teras rumah, Widya mengamati Rain dan Binar yang berjalan semakin mendekat sambil bergandengan tangan. Hatinya serasa makin mendidih melihat kedekatan dua anak manusia itu. Binar adalah gadis yang kecantikannya di atas rata-rata. Meskipun tanpa polesan make up tebal dan mahal, aura kecantikan anak tirinya itu begitu terpancar. Wanita itu sungguh berharap jika suatu saat nanti Binar akan dipersunting oleh salah satu pemuda kaya yang ada di kampungnya dan bukannya berdekatan dengan pria yang tak jelas asal-usulnya seperti Rain.
Sorot mata Widya terus mengikuti gerak-gerik pria jangkung tersebut. Tak dapat dipungkiri bahwa Rain sangatlah tampan. Akan tetapi, Widya merasa yakin jika Rain adalah tipe turis miskin yang berkelana secara ‘murah’ ke Bali. “Pacaran terus! Mana uang SPP untuk Wisnu!” wanita paruh baya itu mengulurkan tangan pada Binar ketika gadis itu hendak memasuki rumah.
“Ada, Ibu. Tenang saja,” Binar membuka tas kecilnya dan mengambil dua lembar uang berwarna merah. Senyum manispun tetap tersungging dari wajahnya.
Bukannya memasang wajah hangat setelah mendapatkan kebaikan dari Binar, Widya malah mendengus kesal dan sedikit mendorong Binar yang berdiri tepat di tengah pintu, lalu masuk ke dalam rumah.
Mendapatkan perlakuan semacam itu, Binar hanya menggeleng pelan seraya mengembuskan napasnya perlahan.
“Apa kamu baik-baik saja, Nar?” tanya Rain hati-hati.
Binar menoleh, kemudian mengangguk. “Sudah biasa seperti ini,” jawabnya lirih. “Ayo, masuk.”
Gadis itu melemparkan tas kecilnya ke atas meja sebelum mengempaskan tubuhnya di kursi ruang tamu. Melihat hal itu, Rain turut duduk di sisi Binar. “Apa ada yang bisa kubantu?” tanyanya lagi.
“Aku tidak apa-apa, Rain. Kamu istirahatlah. Pasti lelah seharian wara-wiri dari rumah ke tempat kerjaku,” bujuk Binar sambil tertawa pelan.
“Aku sudah bilang, jangan meremehkan aku,” Rain mendekatkan wajahnya pada Binar. Sedikit lagi, bibir mereka akan bersentuhan.
“Mbok!” panggilan Wisnu membuat Binar terkejut dan spontan menjauhkan dirinya dari Rain. Sementara Rain terlihat salah tingkah dan tersenyum samar saat Wisnu keluar dari arah dapur. “Mbok, tadi Surya datang ke sini. Dia ngobrol lama dengan ibu di teras,” bocah SMP itu memberikan laporannya pada Binar.
“Lalu, apa hubungannya sama aku?” Binar mengernyit tak mengerti.
“Masalahnya, ibu dan Surya tadi sedang membahas tentang Mbok,” Wisnu mengarahkan telunjuknya ke Binar.
“Oh, ya? Mereka ngobrol tentang apa?” Rain ikut tertarik dan mencondongkan tubuhnya pada Wisnu.
“Jangan bilang siapa-siapa kalau aku yang menyebarkan rahasia ini, ya,” pinta Wisnu dengan suara yang teramat lirih.
“Iya, janji,” Binar menautkan kelingkingnya pada kelingking Wisnu. “Sudah, sekarang cerita!” perintahnya.
"Jadi, begini," Wisnu berbisik semakin lirih. Dia benar-benar takut jika Widya mendengarnya. "Aku dengar, ibu memaksa Surya untuk melamar Mbok. Soalnya ibu tahu kalau Surya sudah naksir Mbok sejak lama," bebernya.
"Astaga!" Binar menggeleng kuat-kuat. "Aku tidak mau, Nu. Aku tidak suka Surya," ucapnya memelas.
"Aku juga tidak suka, Mbok. Surya orangnya kasar," bisik Wisnu lagi.
"Kamu bilang saja pada ibumu kalau kamu menolak, Nar," saran Rain yang sedari tadi hanya diam dan memperhatikan.
"Ah, mister seperti tidak tahu saja ibu seperti apa," sela Wisnu seraya mengibaskan tangannya.
Rain berniat untuk menimpali, tapi segera dia urungkan ketika Widya keluar dari arah belakang rumah menuju ruang tamu. Wisnu yang terkejut segera melompat dan meraih remote televisi. Anak itu mulai memencet-mencet saluran secara acak.
Saluran berhenti di sebuah breaking news yang menampilkan seorang reporter wanita yang tengah membawakan berita kehilangan.
"Pengusaha muda sekaligus brand ambassador dari beberapa produk real estate dan desain interior serta maskapai penerbangan yang bernama Arsenio Wilhelm Rainier telah dilaporkan menghilang di salah satu daerah wisata di Bali. Dia ... ."
Belum selesai reporter itu membawakan berita, Wisnu sudah lebih dulu menggantinya dengan saluran lain.
Sementara Rain dan Binar tidak terlalu memperhatikan siaran televisi. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Widya sendiri hanya melewati ruang tamu begitu saja tanpa berhenti. Entah kemana tujuan wanita itu. Jalannya tergesa-gesa meninggalkan rumah.
"Aku minum obat dulu," ujar Rain memecah keheningan. Tanpa menunggu balasan dari Binar, dia segera berdiri dan masuk ke dalam kamar.
"Akan kuambilkan minum," Binar bergegas ke dapur dan mengambil segelas air untuk Rain. Tinggallah Wisnu seorang diri di depan televisi. Tangannya masih tetap asyik memencet remote.
Di dalam kamar, Rain kembali termenung. Entah apa yang dia rasakan saat itu. Semua terasa membingungkan dan menyesakkan. Diusapnya bagian kepala yang terlilit perban. Rain tersenyum saat mengingat bahwa Binarlah yang telaten membersihkan luka jahitan dan mengganti perbannya. "Binar," gumam Rain.
Baru beberapa hari Rain mengenal gadis itu. Akan tetapi, ikatan batin yang dia rasakan terhadap Binar, amatlah kuat. Setiap kali dekat dengan Binar, jantung Rain selalu berdegup lebih kencang. Perasaan bahagia dan berbunga-bunga selalu muncul ketika Binar tersenyum ataupun tertawa.
"Ini airnya, Rain," ujar Binar yang segera membuyarkan lamunan pria tampan itu.
"Ah, iya, terima kasih," Rain segera menerima segelas air itu, lalu meneguknya bersama beberapa butir obat. "Semoga ingatanku cepat pulih, supaya aku bisa mengingat asal-usulku. Dengan begitu, aku jadi tahu kemana aku pulang, sehingga aku bisa membawamu serta," tutur Rain dengan sorot mata sayu.
"Ya ampun, Rain," Binar begitu terharu mendengarkan ucapan pria di depannya itu. Dia sendiri sebenarnya juga sudah sejak lama ingin pergi dari rumah. Akan tetapi, selalu diurungkannya mengingat Wisnu dan Praya masih membutuhkan kehadiran Binar, terutama dalam hal finansial.
"Jangan khawatirkan adik-adikmu, Nar. Kamu masih bisa memberikan mereka uang meskipun tidak tinggal di sini lagi," tutur Rain yang seakan tahu apa yang Binar pikirkan.
"Tapi ... aku ..." Binar tak hendak melanjutkan kata-katanya. Galau dan bimbang yang dia rasakan kini. Sebelum kedatangan Rain, Binar berusaha melalui semuanya dengan tegar, meskipun sakit. Segala kekerasan fisik maupun verbal, dapat dia terima dengan lapang dada. Namun, kedatangan Rain telah menyadarkan Binar bahwa dia juga berhak untuk berbahagia.
"Binar, aku tidak akan memaksamu jika kau tak ingin. Tidak apa-apa, jangan terlalu dipikirkan," ucap Rain.
"Apakah aku jahat?" gumam Binar pelan.
"Jahat kenapa?" Rain yang awalnya berada pada posisi duduk di tepi ranjang, berdiri dan mendekati Binar.
"Dalam hati aku berharap, seandainya kamu hilang ingatan selamanya dan bisa tetap tinggal di sini," Binar tertawa pelan seraya memalingkan muka.
"Seandainya bisa," Rain menyentuh dagu Binar dan membuatnya sedikit menengadah sehingga dapat menatap wajahnya dengan jelas. "Tapi kamu tahu sendiri bagaimana sikap ibu tirimu padaku. Dia tak suka aku terlalu lama di sini," Rain mengempaskan napasnya pelan.
"Binar!" seruan Widya dari arah luar kamar, membuat Binar maupun Rain sama-sama terkejut. Segera dilepaskan tangannya dari dagu lancip itu.
"Buatkan teh, ada Surya datang bertamu!" titah Widya. Sementara Binar dan Rain saling pandang demi mendengar nama Surya yang baru saja disebut oleh ibu sambungnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 242 Episodes
Comments
Yeni Eka
aku pun berharap begitu, Bin
2022-11-22
1
Dwisya12Aurizra
eeehh... dasar bocah
2022-10-25
1
Dwisya12Aurizra
jedotin tuh pala ibu tiri mu nar biar rada eling
2022-10-25
1