Sejak pagi buta, Rain sudah selesai membersihkan diri. Dia memakai kamar mandi di saat penghuni rumah yang lain masih terlelap. Dengan berhati-hati, dia mengenakan kaosnya agar tak terkena perban di kepala. Kaos dari bahan katun itu masih tersangkut di leher, ketika dia membuka pintu kamar mandi dan mendapati Binar sudah berdiri di depannya dengan raut terkejut.
“Ma-mau ke mana?” tanya Binar terbata.
“Tidak ke mana-mana. Aku hanya mandi, agar nanti tidak terburu-buru saat hendak mengantarkan kamu kerja,” jawab Rain dengan senyumannya yang kalem.
“Ya sudah. Kalau begitu aku juga mau mandi dulu,” Binar mengangguk. Setengah menunduk, dia melewati Rain yang masih berdiri di ambang pintu.
“Nar, apa ada yang bisa kubantu? Apa saja boleh. Membersihkan rumah, mungkin?” tanya Rain sebelum Binar menutup pintu kamar mandi.
“Terima kasih, Rain. Nanti saja setelah mandi bantu aku memasak, ya,” jawab Binar lembut.
“Tentu,” Rain tersenyum lebar, kemudian beranjak ke kamar. Dia sempat melipat baju yang dulu pernah dipakai, saat dirinya ditemukan oleh Binar pertama kali dalam keadaan penuh luka. Dibolak-baliknya kemeja itu sebelum meletakkannya kembali di atas laci samping ranjang. Rain kemudian beralih pada celana bahan berwarna coklat tua. Sama seperti kemeja tadi, Rain juga membolak-balikkan benda tadi, lalu merogoh setiap kantongnya.
Kening Rain berkerut, ketika ujung jarinya menyentuh sesuatu di saku depan. Dia memasukkan tangannya lebih dalam dan berusaha meraih benda yang sudah lengket di dasar kantong tersebut. Rain menariknya perlahan. Dia lalu mengamati benda kecil yang ternyata merupakan secarik kertas. Kondisi kertas itu telah lengket terkena air dan mengering dengan sendirinya, sehingga bentuknya jadi menggumpal.
Hati-hati, Rain berusaha mengurai kertas itu hingga terbuka seluruhnya. Alisnya semakin bertaut ketika Rain menangkap beberapa tulisan yang tertera di sana. Tulisan itu sudah memudar, tapi Rain masih dapat membacanya. “Cek?” gumamnya pelan.
Dia pun mendekatkan kertas itu ke matanya untuk diterawang agar lebih jelas. Tampak nama sebuah bank nasional di sudut kiri atas kertas itu beserta nama seseorang di bagian bawahnya. “Arseni-o Wilhelm Rai-nier,” ejanya. “Arsenio,” Rain mengangkat wajahnya dan berpikir dalam-dalam. Nama itu mengingatkan dia akan kilasan yang sempat memasuki memorinya tadi malam. Bayangan seorang gadis tengah memanggilnya dengan nama Arsenio. “Arsenio?” ulang Rain lagi berpikir semakin dalam.
“Rain, sedang apa? Aku sudah selesai,” suara Binar membuatnya sedikit terkejut dan menoleh. Ditatapnya Binar yang berjalan ke arah lemari. Wangi aroma sabun mandi menyeruak ke dalam indera penciuman Rain, menghadirkan sesuatu yang lain dalam pikiran pria itu. Terus diamatinya gadis yang tengah mengambil sepasang seragam kerja kemudian diletakkan di atas kursi. Binar lalu menoleh dan tersenyum pada Rain. “Ayo,” ajaknya dengan senyuman yang terkembang.
“Oke,” jawab Rain dengan pandangan takjub ke arah Binar. Wajah polos gadis itu terlihat segar dan bersinar. Harum tubuhnya tak juga hilang meskipun dia kini telah berkutat di depan penggorengan. Rain membantu Binar sepenuh hati, termasuk ketika mereka telah selesai memasak. Setelah semua urusan dapur usai, Binar pun memutuskan untuk berganti pakaian dengan seragam kerja. Sedangkan Rain memilih untuk membersihkan dapur dan menyapu lantainya hingga bersih.
“Mbok!” panggil Praya dari kamarnya. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul setengah enam. Adik-adik Binar baru bangun dan saling berlomba ke arah kamar mandi. Suasana menjadi sedikit ramai, ketika Wisnu dan Praya berebut siapa yang akan mandi terlebih dulu.
Akan tetapi, mereka dikalahkan oleh Widya yang menyerobot masuk. “Sudah, sudah! Biyung duluan yang mandi. Hari ini Biyung harus sampai di laundry pukul enam,” ucapnya dengan enteng. Dia membuat kedua anak itu terdiam, saat pintu kamar mandi tertutup dengan rapat.
“Ya, ampun,” Wisnu dan Praya bersandar lesu pada dinding dapur.
“Sarapan saja dulu,” saran Rain yang terus memperhatikan dua anak itu sejak tadi.
Wisnu dan Praya saling pandang sebelum akhirnya mengangguk bersamaan. Mereka kembali berebut centong nasi dan juga piring.
Sebagai anak yang jauh lebih tua, Wisnu keluar sebagai pemenangnya. Dia mengambil nasi dan lauk lebih dulu. Dia pun makan dengan lahap. Setelah itu, barulah Praya mengikuti apa yang dilakukan sang kakak.
“Rain, ayo ikut sarapan,” ajak Binar. Paras ayu gadis itu menyembul dari balik tirai yang menjadi pengganti pintu antara dapur dengan ruang tengah. Gadis yang sudah berseragam rapi itu mengambil sebuah piring lalu mengisi dengan nasi beserta lauknya. Binar kemudian menyodorkan piring yang telah diisi itu kepada Rain. Setelah itu, dia mengambil satu porsi untuk dirinya sendiri.
Selesai sarapan, Binar berniat membersihkan peralatan makan, tapi Rain segera melarangnya. “Biar aku saja. Nanti seragammu kotor," cegah pria itu.
Binar mengangguk. Dia memilih untuk menyiapkan bekal makan yang akan dibawa oleh Widya. Bersamaan dengan itu, ibu tirinya baru keluar dari kamar mandi. Melihat Binar tengah menyiapkan sesuatu untuknya, wanita itu tak berkomentar apapun. Dia melenggang ke kamar dengan begitu saja. Sementara Wisnu dan Praya kembali ribut, berebut siapa yang akan mandi terlebih dulu. Pada akhirnya Wisnu lah yang menang. “Aku cuci muka saja, deh,” gerutu Praya seraya berlalu ke dekat bak cuci piring. Anak itu lalu membasuh wajahnya di sana. “Nanti saja mandinya sepulang sekolah,” sambung Praya lagi.
Rain yang sudah selesai mencuci piring, tertawa geli menyaksikan ulah anak itu. “Pantas saja kamu merasa berat berpisah dengan mereka, Nar. Adik-adikmu sangat lucu,” ujar Rain.
“Lucu dan menyebalkan. Sudahlah, ayo berangkat.” Binar meletakkan kotak bekal yang sudah terisi untuk Widya di atas meja. Dia lalu menarik tangan Rain dan mengajaknya berjalan kaki menuju tempat kerja.
“Tumben cuaca hari ini mendung,” ujar Rain sembari menengadah, ketika mereka sudah berjalan melalui gang yang lebar.
“Aku lebih suka mendung, apalagi kalau sampai hujan,” sahut Binar sambil menatap Rain penuh arti.
“Ya, ampun. Binar pandai merayu ternyata,” Rain terkekeh melihat sikap gadis pujaannya itu. Binar pun ikut tertawa. Akan tetapi, keceriaan itu segera terhenti ketika dari arah depan, Surya datang dan menghampirinya dengan tergesa-gesa. “Ayo, kuantar. Mobilku sudah terparkir di depan gang,” ajaknya dengan nada setengah memaksa. Dia juga bermaksud untuk meraih tangan Binar. Namun, dengan segera ditepiskan oleh gadis itu.
“Tidah usah, Sur. Aku jalan kaki saja. Lagi pula ada Rain yang mengantarkan,” tolak Binar seraya mengeratkan genggaman tangannya di lengan Rain.
“Ayolah, Nar. Lebih baik naik mobil daripada berjalan kaki,” bujuk Surya lagi tetap memaksa.
“Terima kasih. Aku jalan kaki saja, mumpung cuacanya tidak begitu panas.” Binar menggeleng pelan.
“Kenapa sih, kamu selalu menolakku? Dulu waktu sebelum ada bule aneh ini, kamu juga selalu menolak ajakanku! Asal kamu tahu saja, yang naksir aku tuh banyak!” sungut Surya menyombongkan dirinya.
“Kalau banyak yang naksir sama kamu, lantas kenapa masih terus saja mengejarku? Kamu urusi saja mereka yang tergila-gila sama kamu, Sur,” sahut Binar dengan entengnya.
“Dasar kamu, ya!” Surya maju dan mendekati Binar dengan tangan terkepal. Namun, Rain segera menghadangnya. Tubuh tegap pria bermata cokelat terang itu berdiri gagah di depan Binar, menjadi perisai gadis itu. Nyali Surya menciut, ketika dia menyadari bahwa postur Rain lebih besar dan juga lebih tinggi darinya. “Awas saja kalian!” Surya memilih mundur selangkah demi selangkah, lalu berbalik meninggalkan Rain dan Binar begitu saja.
Binar akhirnya dapat bernapas lega. “Syukurlah. Apa jadinya jika tidak ada kamu, Rain?” ucapnya lirih.
“Apa dia sering berbuat begitu?” Rain balik bertanya.
“Dulu dia tidak seberani sekarang. Sejak kamu datang dan kita terlihat dekat, Surya jadi lebih lebih agresif seperti tadi,” terang binar.
“Astaga. Rasanya aku benar-benar tak sabar ingin segera membawamu pergi dari sini,” gumam Rain sebelum kembali melanjutkan perjalanan menuju tempat kerja Binar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 242 Episodes
Comments
Dewi Haryani
sepi pembaca padahal novel keren,,semangat thor belom pada nemu yang lain tuh ..
2023-02-11
2