"Winona?" gumam Rain saat memperhatikan gadis cantik bertubuh sintal yang tampak berfoto dengannya. Di sana terlihat sosok Rain alias Arsenio tersenyum lebar sambil merengkuh pinggang gadis itu. Namun, lagi-lagi dirinya merasa ragu. Gadis itu bukanlah yang dia lihat dalam kilasan bayangan yang kemarin-kemarin muncul saat dirinya sedang bersama Binar. Sesaat kemudian, Rain mencoba mengingat lagi. "Indah?" gumamnya setelah beberapa saat. "Astaga ...." Rain segera mengembalikan ponsel milik teman Praya yang tadi dia pinjam. Pria itu kemudian memijit keningnya perlahan.
"Kenapa, Mister? Mister sakit kepala?" tanya Praya terlihat cemas. Dia segera keluar kamar untuk mengambilkan air minum. Tak berselang lama, anak itu kembali dengan segelas air putih. "Ini, Mister. Ayo minum dulu." Praya menyodorkan gelas yang dibawanya kepada Rain. "Mister mau aku buatkan telor dadar?" tawarnya setelah beberapa saat. Dia dan sahabatnya tadi berdiri di dekat ranjang dengan wajah cemas.
"Tidak. Tidak usah. Aku ingin tidur saja," tolak Rain halus. Dia tersenyum kecil pada kedua anak itu.
"Baiklah, Mister. Kalau Mister butuh apa-apa, aku sama Gede ada di teras, ya. Panggil saja," pesan Praya sebelum keluar kamar dan meninggalkan Rain sendirian di dalam kamar.
Rain mengangguk pelan. Dia lalu mencoba memejamkan mata. Namun, baru saja dirinya akan terlelap, suara berisik Widya terdengar dengan jelas. Tak biasanya wanita itu pulang lebih awal. Rain pun kembali membuka mata.
Entah apa yang dilakukan Widya di dalam kamarnya, tapi ibu tiri Binar itu terdengar sangat berisik. Dia tak henti-hentinya mengomel. Entah apa atau siapa yang membuatnya merasa kesal saat itu. "Praya!" teriakan keras Widya membahana saat memanggil anak bungsunya. "Ke sini kamu!"
Merasa ada sesuatu yang tak beres, Rain pun beranjak dari tempat tidur. Dia berdiri dan mengintip dari pintu yang sedikit terbuka. Suara Widya terdengar semakin jelas dengan segala omelannya dalam bahasa Bali yang tak Rain mengerti. "Ssst!" Sebuah isyarat yang dia berikan saat Praya melintas di depan kamar Binar. Praya menoleh. Dengan segera dia masuk ke kemar dan menutup pintunya rapat-rapat.
"Biyung kamu kenapa?" tanya Rain penasaran.
"Biyung kesal, Mister. Dia sedang mencari gelangnya yang hilang," jelas Praya.
"Gelang apa?" tanya Rain lagi.
Namun, belum sempat Praya memberikan penjelasan kepada Rain, pintu kamar sudah terlebih dulu dibuka dengan paksa. Sosok Widya tampak di sana dengan wajah merah padam menahan amarah. Tanpa permisi terlebih dahulu, Widya segera masuk dan membuka lemari pakaian Binar. Dia menggeledah seluruh isi lemari plastik tersebut, membuat isinya berhamburan keluar sehingga jadi berantakan di lantai.
"Apa yang Anda lakukan, Bu?" tegur Rain. Dia jelas tak suka melihat sikap Widya yang demikian.
"Jangan ikut campur! Kamu bukan siapa-siapa di rumah ini, jadi diam saja!" sergah Widya dengan kasar. Tak berselang lama, sepasang mata wanita itu seketika terbelalak sempurna saat dirinya mendapati apa yang dia cari sejak tadi. Gelang miliknya dia temukan berada di dalam tumpukkan pakaian Binar.
"Dasar gadis tolol tak tahu diri!" geram Widya. Dia segera meraih perhiasan miliknya.
"Kamu lihat, Praya? Kamu lihat ini apa?" bentaknya pada Praya. Anak itu pun mundur karena ketakutan. Dia bahkan berlindung di belakang tubuh tegap Rain. "Kakak yang selalu kamu dan Wisnu bangga-banggakan ternyata hanya seorang pencuri!" hardiknya.
"Tidak mungkin," bantah Rain dengan segera. "Binar tak mungkin melakukan hal serendah itu," sanggah pria itu lagi dengan yakin.
Widya segera mendelik ketika mendengar Rain yang berani bersuara, serta memberikan pembelaan terhadap Binar. Wanita paruh baya tersebut berdiri tepat di hadapan Rain dan seakan hendak menantang pria muda itu untuk berduel. "Ternyata, selain hilang ingatan kamu juga buta rupanya!" hardik ibunda Praya tersebut. Dia lalu mengangkat perhiasan yang baru ditemukan dari lemari Binar, kemudian menyodorkan benda itu tepat di depan mata Rain. Pria berambut cokelat itu pun memundurkan wajahnya.
"Lihat ini! Kamu tahu ini apa? Bukankah tadi kamu menyaksikan sendiri, di mana kutemukan semua perhiasan ini!" sentak Widya lagi.
"Itu tak berarti Binar yang mengambilnya. Kenapa Anda tega sekali terhadap putri Anda sendiri, Bu?" Rain tetap memberikan pembelaan terhadap Binar. Dia yakin bahwa gadis itu tak mungkin berbuat seperti apa yang dituduhkan Widya.
"Oh, lalu bagaimana gelang-gelang ini bisa tiba-tiba ada di dalam lemari Binar? Jadi, menurutmu mereka berjalan sendiri? Begitu?" Widya tertawa dengan nada dan sikapnya yang penuh cibiran.
"Semuanya dapat dibuktikan dengan jelas, dan pasti ada alasan yang masuk akal sehingga perhiasan Anda bisa berada di dalam lemari Binar. Jangan asal menuduh, karena segala sesuatunya saat ini sudah diatur dalam hukum. Jangan sampai tuduhan yang Anda alamatkan kepada Binar, justru berbalik pada diri Anda sendiri," ucap Rain tenang. Dia mencoba memberikan sarannya kepada Widya.
"Alah, jangan sok pintar kamu! Jangan sok paling tahu hukum di Indonesia! Aku yakin bahkan kamu pasti tidak hapal isi dari Pancasila!" sergah Widya seraya mengibaskan tangannya di hadapan wajah Rain. "Identitas sendiri saja tidak ingat, mau sok jadi pahlawan dengan berbicara masalah hukum," umpatnya.
Rain terdiam beberapa saat. Namun, dia masih memperhatikan setiap tindak-tanduk Widya yang dirasa cukup mencurigakan. Pria bermata cokelat terang itu masih tegak berdiri menjadi pelindung bagi Praya yang tampak ketakutan, termasuk ketika Widya kembali berdiri di hadapan Rain dengan seringainya yang terlihat sangat jahat.
"Baikah. Kamu yakin bukan Binar yang telah mencuri perhiasan ini dari lemariku?" tanya Widya dengan nada bicara yang terdengar cukup aneh.
"Bukan dan pastinya tidak mungkin sama sekali. Aku yakin Binar tak akan berani melakukan hal serendah itu, apalagi terhadap barang milik ibunya sendiri," jawab Rain dengan sangat yakin. Sikap dan nada bicaranya teramat serius saat itu.
"Oh, baiklah. Jadi, jika bukan Binar yang telah mengambilnya dari dalam lemariku, lalu siapa?" tantang Widya. "Satu-satunya orang yang terus berada di rumah adalah kamu," tunjuk Widya dengan telunjuk lurus pada dada Rain.
"Apa maksud Anda?" tanya Rain tak mengerti.
"Jangan pura-pura bodoh," desak Widya dengan nada bicara yang penuh penekanan. "Jika kamu yakin bahwa bukan Binar pelakunya, maka aku juga berhak untuk meyakini pendapatku. Pendapatku meyakini bahwa kamulah pelaku yang sebenarnya," tuduh Widya dengan tanpa pikir panjang.
"Jangan sembarangan menuduh orang. Aku mungkin hilang ingatan dan datang kemari tanpa membawa apapun. Akan tetapi, aku bukan dan tak pernah berniat untuk mencuri di rumahmu," tegas Rain dengan tangan terkepal karena menahan emosi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 242 Episodes
Comments