Sementara Binar sudah lama berdiri di depan toko. Berkali-kali, gadis cantik itu melihat ke arah jalan yang biasa dia dan Rain lewati. Akan tetapi, bahkan hingga gelap telah menyelimuti kota, Rain tak juga datang menjemputnya. Merasa cemas, Binar pun memutuskan untuk pulang sendiri, menyusuri jalanan dengan langkah yang sedikit terburu-buru.
Setibanya di rumah, dia melihat Praya dan Wisnu tengah duduk di kursi dengan wajah murung. Namun, Binar tak memiliki pikiran apapun. Dia hanya beranggapan bahwa kedua adiknya habis dimarahi oleh sang ibu. Tanpa banyak bicara, gadis itu segera masuk ke kamar. Namun, betapa terkejutnya dia saat mendapati seluruh pakaian yang telah berhamburan di lantai. Sementara lemari plastik miliknya kosong dengan pintu dalam keadaan terbuka. Binar pun kembali ke ruang tamu.
"Ada yang tahu kenapa kamar Mbok berantakan begitu?" tanya Binar pada kedua adiknya.
Wisnu yang tidak tahu apa-apa hanya mengangkat kedua bahunya. Lain dengan Praya yang memberi isyarat kepada Binar. Dia menggerak-gerakkan matanya ke arah kamar Widya. Gadis itu pun mengangguk tanda mengerti. Dia bergegas menuju kamar ibu tirinya. “Ibu,” panggil Binar setelah dirinya berada di ambang pintu. Tampak ibunya tengah duduk di tepi ranjang sambil mencatat dan menghitung sesuatu dengan kalkulator ponsel. Wanita itu mendongak ketika melihat Binar berdiri di depannya.
“Ibu mencari apa di kamarku? Di mana Rain?” tanyanya tak sabar.
“Mencari barangku yang kamu curi! Dasar anak tak tahu diuntung!” umpat Widya. Dilemparkannya buku dan ponsel begitu saja ke atas ranjang. Wanita itu berjalan cepat menghampiri Binar. “Untuk apa kamu mencuri gelang-gelang emasku, hah! Apa mau kamu pakai untuk menghidupi bule yang tidak jelas asal-usulnya itu? Iya?” tudingnya.
“Apa maksud ibu? Aku tidak mengerti,” tanyanya seraya mengernyitkan kening.
“Alah, jangan pura-pura kamu, ya! Kamu kan tahu sendiri, itu gelang peninggalan bapakmu hanya untuk aku! Jangan iri karena kamu tidak mendapatkan apa-apa dari dia!” sentak Widya penuh emosi.
“Aku sungguh-sungguh tidak mengerti, Ibu? Gelang emas yang mana? Apa hubungannya dengan lemariku yang berantakan?” Binar menggeleng lemah, tatapannya yang lesu dia layangkan kepada ibu tirinya tersebut. Tak terkira betapa lelah hati dan raganya menghadapi kemarahan Widya setiap hari.
“Harusnya aku yang bertanya, kenapa kamu menyimpan perhiasanku di lemarimu!” tuding Widya.
“Ibu, aku tidak pernah menyimpan apapun di dalam lemari. Apalagi perhiasan. Untuk apa aku menyembunyikan perhiasan Ibu!” sanggah Binar. Air matanya mulai meleleh ketika Widya menuduhkan sesuatu yang tidak dia lakukan.
“Alasan saja kamu Binar! Untuk apalagi kalau bukan demi menghidupi pacarmu itu!” cibir Widya sembari mendorong bahu anak tirinya.
“Di mana Rain?” tanya Binar. Matanya membulat, tajam menatap Widya.
“Sudah kuusir! Gara-gara dia, kamu jadi lupa tanggung jawabmu!” jawab wanita itu tegas.
“Tanggung jawab yang mana yang aku lupakan, Bu? Sejak lulus sekolah, aku langsung bekerja. Tidak hanya itu, seluruh gajiku juga sudah kuberikan untuk Biyung dan adik-adik, hanya tersisa sedikit untuk keperluan pribadiku. Aku rela menjadi sasaran amukanmu setiap harinya, menjadi sansak hidup, menjadi apapun asalkan ibu lega. Jika semua itu masih tetap kurang untukmu, lalu tanggung jawab macam apa lagi yang harus kupikul, Bu? Apa perlu kuserahkan nyawa ini?” ucap Binar panjang lebar. Baru kali ini dia berani meluapkan segala yang terpendam di dalam hatinya. “Sedikit saja aku meminta kasih sayang dan pengertian dari ibu, apa tidak boleh?”
Selesai berkata demikian, Binar segera berlalu dari hadapan Widya. Dia sama sekali tak berminat untuk menunggu tanggapan dari ibu tirinya tersebut. Gadis itu bergegas ke ruang tamu dan menghampiri Praya. “Ya, Rain tadi keluar ke arah mana?” tanya Binar.
“Praya cuma tahu kalau si Mister berjalan lurus keluar gang kampung, Mbok,” jawab bocah kecil itu seraya mengangkat kedua bahunya.
“Ya, ampun,” air mata menggenang di pelupuk mata Binar. Tanpa menunggu lama, gadis itu membalikkan badan dan meninggalkan rumah. Tanpa berganti pakaian terlebih dahulu, Binar berjalan menyusuri gang dan terus menuju jalan raya.
Lalu lalang kendaraan beserta kelap-kelip lampunya menjelang malam itu, cukup mengalihkan kesedihan Binar untuk sesaat. Matanya awas menangkap setiap sosok ‘bule’ yang melintas di sekitarnya.
Hampir satu jam, Binar berdiri di tepi jalan, mencari sosok Rain. Akan tetapi, sosok tampan yang dicarinya sama sekali tak terlihat.
Gadis itu akhirnya nekat memutuskan untuk mencari dalam jarak yang lebih jauh lagi. Dia kembali mendatangi tempat kerjanya dan sempat berkeliling beberapa kali di sana. Khayalan Binar mendamba agar Rain tengah menunggunya di suatu sudut di depan toko suvenir tersebut.
Namun, harapan itu hanya sebatas angan-angan belaka. Didatanginya warung nasi yang pernah menjadi tempat ‘kencan’ dirinya dengan Rain. Dia termenung di depan bangunan kecil yang sedang tutup itu untuk beberapa saat lamanya. Setelah itu, Binar melanjutkan pencariannya di rute jalan pulang pada malam ketika dia menemukan Rain untuk pertama kali. Binar lalu berbelok ke jalan kecil yang merupakan jalan pintas ketika dirinya pulang lembur.
Di sana, Binar juga tak menemukan apa-apa. Hanya beberapa ekor anjing dan kucing yang berseliweran, juga para penduduk setempat yang masih terlihat beraktivitas. Gadis itu mende•sah pelan. Dihempaskan tubuh dan duduk di tepian trotoar sembari menopang kepala. “Rain, di mana kamu?” ucapnya pilu.
“Aku butuh kamu, Rain,” isaknya. Diliriknya jam pada ponsel yang menunjukkan pukul tujuh malam.
Binar memutuskan untuk berdiam di tempat itu beberapa lama dengan posisi tubuh yang sama, meringkuk memeluk lutut, persis seperti seorang peminta-minta sampai akhirnya dia memutuskan untuk pulang. Dia berniat mencari Rain lagi keesokan harinya.
Sementara itu, di villa mewah milik Arsenio, pria yang tengah dicari oleh Binar tersebut tengah berdiri di depan jendela kamarnya sambil menerawang ke halaman depan. Dirinya tersenyum membayangkan apa yang tengah dilakukan Binar pada jam-jam ini. Terbayang olehnya, Binar yang telaten mengganti perban dan membersihkan luka jahitannya.
“Kenapa tidak mau makan?” tanya seseorang yang seketika membuyarkan lamunan Arsenio. Dia membalikkan badan dan melihat sosok cantik dengan rambut bergelombang, sedang melipat tangannya di dada.
“Belum lapar,” jawab Arsenio pelan, lalu kembali menghadap ke jendela.
“Kamu berubah,” ujar gadis yang tak lain adalah Winona. Dia berjalan mendekati Arsenio dan berdiri di sampingnya.
“Aku tidak tahu seperti apa diriku dulunya, karena sama sekali tidak ingat,” sahut Arsenio dengan pandangan tetap tertuju lurus ke depan.
“Di satu sisi, aku senang melihat perubahanmu. Namun, di sisi lain aku sedih,” ucap Winona.
“Bisa dijelaskan kenapa?” kali ini konsentrasi Arsenio berpindah sepenuhnya pada sang kekasih.
“Sekarang kamu sudah tidak jelalatan lagi saat menatap Indah. Tidak ada bahasa tubuh yang menggoda. Kamu berubah menjadi sosok yang … cuek dan … seperti tidak tertarik lagi dengan wanita,” Winona terkekeh pelan.
“Kenapa kedengarannya aku seperti sosok pria brengsek, ya?” gumam Arsenio.
“Jujur, kamu dulu memang brengsek. Namun, aku terlanjur cinta mati. Apalagi kita sudah terikat kontrak sebagai pasangan,” jelas gadis cantik itu.
“Apa maksudnya terikat kontrak?” Arsenio menghadapkan tubuh sepenuhnya pada Winona, dengan satu tangan yang bertumpu pada kusen jendela.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 242 Episodes
Comments