Praya dan Rain saling pandang. Ragu, anak itu untuk menjawab pertanyaan sang ibu. Diam-diam dia menyenggol lengan Rain seraya memberi isyarat dengan matanya.
“Ya. Mug ibu di mana?” ulang Widya lagi. “Kok, tidak ada yang jawab? Kenapa?” dia yang awalnya berada di dapur, segera menghampiri dua laki-laki berbeda usia itu.
“Ibu tanya lagi, siapa yang mencuci piring tadi?” mata Widya melotot seraya menatap Praya tajam. “Pasti kamu, ‘kan? Di rumah cuma ada kamu!” desaknya.
“Saya yang mencuci piringnya, Bu. Maaf, saya hanya ingin membantu,” ucap Rain. Dirinya tak tega melihat Praya yang terdiam ketakutan.
“Kamu taruh di mana mug-ku?” tatapan tajam Widya beralih pada Rain.
“Maaf, saya ceroboh. Saya sudah memecahkan mug Ibu,” jawab Rain dengan nada bicara dan sikap yang begitu tenang.
“Apa?” desis Widya. Tangannya terkepal, seolah tengah menahan emosi yang hampir meledak. “Bisa-bisanya kamu menyentuh barang-barangku?” geramnya.
“Seperti yang saya bilang tadi, saya hanya ingin membantu,” jawab Rain.
“Laki-laki brengsek! Seharusnya aku menendangmu keluar dari sini sejak pertama kali! Kamu tahu tidak, mug yang kau pecahkan tadi adalah satu-satunya peninggalan suamiku. Sekarang ... sekarang ....” napas Widya semakin memburu. Mukanya memerah dengan mata berkaca-kaca. Penuh amarah, Widya melayangkan tangan dan hendak menampar pipi Rain. Namun, sebelum hal itu terjadi, teriakan Binar telah lebih dulu menghentikan gerakannya.
“Ibu! Jangan!” seru gadis cantik itu.
Widya menoleh pada anak tirinya. Sorot kebencian semakin bertambah dari mata wanita itu. “Semua gara-gara kamu! Sudah tahu hidup kita susah, malah berlagak jadi pahlawan! Aku malu punya anak setolol kamu!” tangan Widya kini terarah ke pipi Binar.
Akan tetapi, sebelum telapaknya mendarat di wajah cantik gadis itu, Rain lebih dulu mencengkeram pergelangan Widya. “Sudah, Bu. Cukup,” ujarnya dengan intonasi yang berat dan dalam. “Apa yang bisa saya lakukan untuk mengganti kerugian ibu?”
“Mengganti kamu bilang? Itu mug pemberian suamiku! Kalau kamu ingin menggantinya, hilangkan dulu nyawamu sebagai ganti agar suamiku bisa hidup kembali!” bentak Widya nyaring, membuat Binar terbelalak dan menggeleng pelan.
“Rain, ayo. Ikuti aku.” Dengan berlinang air mata, Binar menarik tangan pria tampan itu begitu saja dan menyeretnya keluar rumah. Tak dipedulikannya Widya yang semakin menggila dengan sumpah serapahnya.
Binar terus membawa pria bermata amber tadi berjalan cukup jauh hingga beberapa meter dari rumahnya. Sedangkan Rain hanya bisa pasrah ketika Binar menuntunnya, melalui jalan setapak dan sedikit terjal. Rasa khawatir dan was-was, dia tepiskan begitu saja. Tak jauh air terjun yang cukup deras, barulah Binar menghentikan langkahnya.
"Untuk apa kita kemari?" tanya Rain cemas.
Binar tidak segera menjawab. Dia memandang air terjun itu, kemudian menangis. Benar-benar menumpahkan air mata tanpa rasa canggung atau malu sama sekali. Gadis itu seakan ingin meluapkan segala unek-unek dalam diri, yang selama ini selalu dia tahan demi rasa hormat terhadap sang ibu tiri. Namun, entah kenapa kali ini Binar seperti tak ingin memendamnya lagi.
Sedangkan Rain hanya berdiri terpaku, memperhatikan gadis yang tengah menangis tanpa sepatah kata pun. Deraian air mata yang jatuh dan membasahi pipi mulus Binar, menetes dengan deras seakan bersaing dengan derasnya air terjun di dekat mereka berdua. Tanpa banyak bicara, Rain merengkuh pundak gadis itu kemudian memeluknya dengan erat. Binar pun tak menolak. Sejak kematian sang ayah, tak ada lagi seseorang yang memeluknya seperti itu. Dia terus menumpahkan air mata di dada pria asing, yang bahkan tak ingat siapa dirinya.
"Menangislah," ucap Rain dengan suaranya yang terdengar berat dan dalam.
"Rasanya aku ingin berteriak dan meminta pada Tuhan agar Dia mengembalikan ayahku," ucap Binar di sela tangisannya. "Hidupku benar-benar tak karuan semenjak bapak tiada. Selama ini aku berusaha untuk berbuat baik, tapi selalu saja salah di mata biyung."
"Kenapa ibumu kasar sekali?" tanya Rain heran. Dia lalu merenggangkan pelukannya.
"Dia tidak menyukaiku sejak lama. Ibu tak pernah menganggapku sebagai putrinya, meskipun aku telah menganggap dia seperti ibu kandungku," jelas Binar membuat Rain memahami sesuatu.
Segera diusapnya air mata yang membasahi pipi Binar dengan lembut. Ada perasaan yang bercampur aduk dalam diri pria itu. Sesuatu yang terasa begitu aneh, dan seakan baru pertama kali dia temukan. Di satu sisi, Rain merasa kagum akan kebaikan dan juga kesabaran gadis tersebut. Namun, di sisi lain dia juga merasa iba dengan kehidupan yang dijalaninya.
"Seandainya aku sudah tahu siapa diriku, apa kau bersedia untuk ikut dan pergi menjauh dari ibu tirimu?" tanya Rain dengan tiba-tiba.
"Kenapa?" tanya Binar.
"Entahlah. Kupikir gadis sebaik dirimu pantas untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari sebuah bentakan dan juga caci maki. Sebuah penghargaan dan rasa hormat," jawab Rain. Dia menatap Binar dengan lekat. Makin lama, seakan ada dorongan yang semakin kuat dalam dirinya. Rain pun mendekatkan wajahnya. Tanpa banyak kata, pria berpostur tegap itu kemudian menyentuh lembut permukaan bibir polos Binar. Namun, hal tersebut hanya terjadi beberapa detik saja, karena Rain segera menarik wajah menjauh dari Binar. "Maaf," ucapnya.
Sementara Binar sendiri hanya terpaku. Dia tak menyangka bahwa Rain akan berani melakukan hal itu padanya. Binar memandang pria dengan bola mata berwarna amber itu. Perlahan, gadis cantik berambut panjang tersebut mengangguk pelan. Akan tetapi, entah mengapa anggukan itu seakan menjadi sebuah magnet, yang menarik diri Rain untuk kembali mendekat kepada Binar.
Rain menangkup paras cantik gadis bermata belo tadi dengan penuh perasaan. Sedangkan Binar pun tak melarangnya sama sekali. Dia juga tidak menghindar, ketika pria berambut cokelat gelap tersebut kembali menyentuh bibirnya. Kali ini, sentuhan Rain bahkan terasa jauh lebih dalam. Sedikit demi sedikit, dia membawa Binar pada sesuatu yang baru. Rain terus menuntun gadis itu semakin jauh, menyusuri sebuah pengalaman yang belum pernah didapatnya seumur hidup.
Akan tetapi, selagi hal tersebut berlangsung dengan indahnya, sebuah bayangan hadir dalam benak Rain. Pria itu melihat dirinya tengah melakukan hal yang sama, dengan seorang gadis cantik yang bukanlah Binar. Rain tak tahu siapa gadis yang dia perlakukan lebih, dari apa yang dia berikan kepada Binar. Mereka terlihat sangat intim dan seperti telah saling mengenal dalam waktu yang lama.
"Arsen." Lembut, gadis cantik dengan rambut panjang bergelombang dalam benak Rain tadi menyebutkan sebuah nama.
Seketika, Rain membuka mata. Dia juga menghentikan ciumannya dengan Binar. Napas pria itu terengah, dengan sikap yang tampak gelisah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 242 Episodes
Comments
StrawCakes🍰
Rain saat merangkup wajah Binar. seperti hujan yang turun tanpa permisi terus tiba-tiba reda lalu muncul pelangi. so romantic 😍
2022-10-22
3