Nirmala Binar Candramaya, gadis berusia dua puluh tahun yang harus menjalani kehidupan keras setiap hari. Semenjak sang ayah tiada, dia tinggal bersama ibu serta kedua saudara tirinya di salah satu pemukiman daerah Gianyar, Bali.
Binar merupakan seseorang yang berparas cantik, dengan postur tubuh ideal khas gadis Indonesia. Setelah dirinya lulus SMA, dia tak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Faktor ekonomi menjadi alasan utama, dan membuat Binar bahkan harus rela bekerja banting tulang. Padahal, dia merupakan salah satu murid yang berprestasi di sekolahnya. Binar mahir dalam bidang matematika dan juga fasih berbahasa Inggris.
“Binar!” teriakan nyaring Widya, sang ibu sambung menggema di dalam rumah sederhana yang telah mereka tempati sekian lama. Rumah itu merupakan warisan dari sang ayah. “Di mana kamu?”
Binar yang baru saja selesai bersiap-siap untuk berangkat kerja pada pagi itu, hanya terdiam sejenak lalu meraih tas selempang kecilnya. Hal seperti tadi memang sudah biasa dia dengar. Teriakan dan juga makian adalah santapan sehari-hari bagi gadis penyuka makanan pedas tersebut.
“Mbok, dipanggil ibu tuh. Kenapa masih di sini?” tegur Wisnu, adik tiri Binar yang masih duduk di bangku kelas dua SMP. Dia muncul dari balik pintu kamar Binar yang memang sudah terbuka sebagian.
“Iya, tahu. Paling juga ibu mau menanyakan masalah gaji bulan ini,” balas Binar seraya keluar dari kamar. Dia lalu menghampiri Widya yang saat itu sudah berdiri dengan raut tidak bersahabat di ruang tamu. “Ada apa, Bu?” tanya gadis cantik berambut panjang tersebut. Sikapnya selalu lembut dan hormat, meskipun Widya kerap berlaku kasar padanya. “Aku harus berangkat ke toko. Hari ini aku juga akan lembur, jadi pasti pulang terlambat,” ucapnya lagi. Sepasang matanya yang bulat dan indah, memancarkan kasih yang teramat tulus.
“Lah, kalau kamu pulangnya telat, terus kami makan apa nanti malam? Adik kamu si Wisnu hari ini sekolah siang, dia ....”
“Jangan lupa, Bu. Uang untuk bayar SPP,” seru Wisnu dari ruang makan.
“Tuh, kamu dengar sendiri, bukan?” dengus Widya dengan jengkel.
Binar tak segera bicara. Dia berpikir sejenak. “Memangnya berapa tunggakan SPP kamu, Nu?” tanyanya kemudian.
“Dua bulan, Mbok,” jawab Wisnu dengan mulut yang penuh dengan makanan, “katanya, kalau nunggak sampai satu bulan lagi, maka aku ngga bisa ikut ujian. Buatku sih nggak masalah. Jadi, aku tidak perlu capek-capek belajar,” celetuk anak itu dengan tanpa beban sama sekali.
“Eh, bicara apa kamu!” sentak Widya menanggapi celetukan anak sulungnya. “Kalau kamu tidak lulus sekolah, mau jadi apa? Jadi buruh serabutan seperti almarhum bapakmu dulu?” Widya lagi-lagi melampiaskan kejengkelannya. “Hidup susah begini, masih saja banyak tingkah!”
“Sudahlah, Bu. Tidak perlu bawa-bawa nama bapak. Ibu tahu sendiri jika bapak juga sudah berjuang keras demi kehidupan kita,” ucap Binar mengingatkan Widya yang terlihat sangat marah. “Bapak pergi dengan tidak meninggalkan utang saja itu sudah patut untuk kita syukuri. Masalah uang SPP Wisnu, biar nanti aku yang urus. Lagi pula, hari ini seharusnya aku sudah gajian,” ujar Binar. Dia lalu mengalihkan perhatian kepada Wisnu yang masih menyantap menu sarapannya dengan tenang. Anak itu seakan tak merasa terganggu dengan semua omelan dari sang ibu.
“Nu, kamu bilang sama petugas TU kalau kamu akan bayar SPP besok, ya. Sekalian saja dilunasi sampai bulan berikutnya,” seru Binar dengan cukup nyaring. Dia tahu jika Wisnu adalah anak yang sulit untuk berkonsentrasi, sehingga adiknya itu selalu salah dalam menangkap dan menyampaikan informasi.
“Iya, Mbok,” sahut Wisnu tanpa menoleh sama sekali. Dia masih berkutat dengan makanannya.
Sesaat kemudian, Praya yang merupakan anak bungsu Widya muncul di sana dengan seragam merah putih. Praya saat ini duduk di kelas enam SD. Sebentar lagi, dia akan masuk ke SMP. “Bu, uang saku buatku mana?” anak itu segera menengadahkan tangan kanan kepada Widya, meminta jatah uang jajannya.
“Apa lagi ini? Jajan terus! Kamu ke sekolah mau belajar atau cuma sekadar menghabiskan uang ibumu?” kemarahan Widya kini beralih kepada anak bungsunya yang tidak tahu apa-apa.
Tak ingin ambil pusing, Praya mengalihkan perhatiannya kepada Binar. “Mbok, jajan ....” pintanya dengan wajah memelas. Merasa tak tega, Binar kemudian merogoh ke dalam tasnya. Selembar uang pecahan sebesar lima ribu rupiah dia berikan. “Terima kasih, Mbok,” raut wajah Praya tiba-tiba berubah riang.
“Itu uang jajanmu sampai sore nanti!” tegas Widya mengingatkan.
“Kalau begitu aku berangkat dulu, Bu,” Binar mengangguk pelan, kemudian berlalu dari hadapan Widya yang seakan tak peduli padanya. Wanita paruh baya tersebut selalu saja uring-uringan karena masalah finansial. Padahal selama ini Binar yang merupakan tulang punggung keluarga, sudah sangat bekerja keras. Binar bahkan tidak sempat untuk menikmati masa remaja, seperti teman-teman sebayanya yang lain.
Begitulah kehidupan Binar setiap hari. Dia pergi bekerja pada pukul tujuh pagi, dan pulang sekitar jam delapan malam jika dirinya mengambil jatah lembur. Bagi Binar, lelah bekerja seharian di toko akan terasa jauh lebih menyenangkan, daripada harus mendengarkan omelan Widya yang seakan tak pernah ada habisnya.
Hari itu, suasana di toko souvenir tempatnya bekerja kebetulan sedang ramai pengunjung. Sang pemilik pun memutuskan untuk membuka tokonya menjadi lebih lama, yaitu sampai pukul sembilan malam. Jatah lembur Binar pun bertambah satu jam. Lelah, tentu saja. Gadis dengan postur 168 cm tersebut ingin segera pulang dan beristirahat. Apalagi, dalam tasnya kini telah terisi dengan uang gajian yang akan segera dia berikan kepada ibu dan adiknya yang telah menantikan dirinya di rumah.
Seperti biasa, malam itu pun Binar pulang dengan berjalan kaki. Dia kerap melakukan hal demikian agar dapat mengirit pengeluaran. Lagi pula, jarak antara toko dan rumahnya memang tidak terlalu jauh.
Namun, kali ini ada yang berbeda pada jalanan yang biasa dia lewati. Binar tertegun dan merasa terganggu, lebih tepatnya adalah takut. Beberapa langkah di hadapannya pada keremangan suasana malam, tampaklah seorang pria bertubuh tegap yang tengah berjalan sambil terseok-seok. Kemeja putih yang dikenakan pria itu pun telah sobek di beberapa bagian. Di sana juga terlihat noda darah yang cukup banyak. Sepertinya, pria tersebut merupakan korban kecelakaan atau mungkin korban kejahatan.
Akan tetapi, tiba-tiba muncul pikiran lain dalam benak gadis dua puluh tahun itu. Dia bergerak mundur, karena bisa saja pria yang sedang mengarah kepadanya merupakan penjahat yang sedang berpura-pura menjadi korban. Binar mencoba untuk menghindar. Baru saja dia hendak berbalik, terdengar suara berat pria tadi, “Tolong aku,” pintanya. Sesaat kemudian, pria itu pun langsung roboh dengan posisi tertelungkup di atas tanah.
Binar tertegun dengan tatapan lekat tertuju ke depan. Pria itu sesekali terlihat menggerakkan tangannya. Ragu dan tentu saja takut untuk mendekat. Namun, rasa penasaran dan juga iba mulai mengusik hatinya. Perlahan, Binar melangkah maju. Dia lalu menurunkan tubuhnya di dekat pria tadi. Dari perawakan dan ciri-ciri fisik, gadis itu yakin bahwa pria tersebut adalah seorang warga negara asing.
“Are you alright, Sir?” tanyanya dengan ragu.
Pria itu berusaha untuk mengangkat wajahnya. Dia lalu menggeleng perlahan.
Entah keberanian dari mana yang muncul dengan begitu saja dalam diri Binar. Dia meraih tubuh dengan postur yang jauh lebih besar darinya. “Berusahalah untuk bangun, Sir,” ucapnya seraya mencoba membantu pria itu agar segera bangkit. Sekuat tenaga, si pria pun menuruti ucapan Binar. Walau dia terlihat begitu lemah, tetapi akhirnya pria tersebut bisa memaksakan diri hingga berdiri. “Aku akan mengantar Anda ke rumah sakit terdekat,” ucap Binar lagi sambil memapah si pria hingga ke tepi jalan raya. “Anda masih kuat untuk berjalan?” tanya gadis itu. “Jarak ke rumah sakit terdekat hanya beberapa meter dari sini," ujarnya lagi.
Pria yang sepertinya warga negara asing tadi mengangguk lemah. Dia terlihat memaksakan dirinya untuk melangkahkan kaki, meskipun kadang terseok karena postur Binar yang terlalu mungil dan tak mampu menahan bobot tubuh dirinya yang tinggi besar. Namun, keduanya terus berjalan menyusuri trotoar, hingga akhirnya tiba di depan rumah sakit yang mereka tuju.
Sesampainya di sana, beberapa petugas jaga segera membantu Binar. Mereka membaringkan pria yang terluka itu di atas brankar, kemudian segera membawanya menuju ruang tindakan. “Anda siapanya pasien?” tanya salah seorang petugas medis yang tadi membantu.
“Saya ... um ... saya ...." belum sempat Binar menjawab, rekan petugas medis tadi sudah memanggilnya.
“Kami akan melakukan tindakan dengan segera, jika sudah mengetahui siapa yang akan menjadi penanggung jawabnya,” jelas petugas tersebut.
Mendengar hal itu, Binar seperti tidak memiliki pilihan lain. Mau tak mau, karena dia yang telah membawa pria tadi maka dirinyalah yang harus menjadi penanggung jawab. “Saya, saya yang akan menjadi penanggung jawabnya, Sus. Saya kerabat dekat pasien,” jawab gadis itu dengan mantap.
“Kerabat dekat atau ....” petugas medis tadi tak melanjutkan ucapannya. Dia tampak mengernyitkan kening karena merasa heran, berhubung pria yang Binar bawa adalah warga negara asing.
“Iya, benar. Saya ... saya adalah istri pasien tadi,” jawab Binar mencoba untuk terlihat meyakinkan di hadapan petugas medis itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 242 Episodes
Comments
Yuen
Thor orang Bali? Biyung itu apa? Klo kami di Bali biasanya yg ada biang(ibu dalam bahasa bali halus)
2022-12-16
1
Yeni Eka
namanya cantik sekali Nirmala Binar.
2022-10-31
0
Titik pujiningdyah
kalau ada wisnu dan praya ak jadi inget aca aca nehi nehi
2022-10-23
1