Binar menunjukkan raut wajah yang terlihat bimbang, saat mendengar ucapan Muchtar. Di satu sisi, ada rasa khawatir yang besar atas keadaan Rain. Terlebih setelah kejadian kemarin, saat pria itu tanpa sengaja dibiarkan kelaparan. Namun, di sisi lain dia juga tak ingin kehilangan uang gajinya dengan terlalu besar. Gadis berambut hitam itu mengela napas pendek. “Baiklah, Pak. Kalau begitu, saya ambil izin cuti dua hari saja. Mudah-mudahan setelah dua hari kerabat saya bisa membaik,” putus Binar pada akhirnya.
“Itu sih terserah kamu, Nar. Cuma saya sarankan jangan terlalu lama atau sering mengambil cuti. Sayang, karena banyak juga yang membutuhkan pekerjaan di luar sana,” ucap Muchtar mengingatkan. Nuansa kekeluargaan memang selalu dia tekankan terhadap semua karyawan yang bekerja di sana.
“Iya, Pak. Saya mengerti. Kalau begitu, terima kasih. Saya permisi dulu,” pamit Binar. Dia membalikkan badan dan keluar dari ruangan sang manager toko. Untuk hari ini, rencananya dia tidak akan mengambil jatah lembur. Jadi, Binar dapat pulang pada pukul lima sore.
Sementara itu, Rain merasa tak enak jika hanya duduk diam dan rebahan di atas tempat tidur. Pria berperawakan tegap tersebut memutuskan untuk keluar dari kamar. Padahal, saat itu kondisinya belum terlalu fit.
Di ruang tamu, tampaklah Praya yang tengah asyik menonton acara televisi kesukaannya. Bocah SD bertubuh bongsor tersebut sempat menoleh kepada Rain yang tengah memperhatikan dirinya. “Mau ke mana, Mister?” tanya anak itu dengan gaya bicaranya yang terdengar sangat khas dan juga polos.
“Aku hanya merasa suntuk berada di kamar terus,” jawab Rain. Dia lalu menghampiri Praya, kemudian duduk pada salah satu kursi di sana. “Kamu tidak sekolah, Dek?” tanya Rain berbasa-basi kepada anak itu.
“Sudah pulang, Mister.” Jawab Praya menoleh sejenak kepada pria berwajah bule di dekatnya. Setelah itu, dia kembali mengalihkan perhatian pada layar televisi.
“Kamu sekolah kelas berapa?” tanya Rain lagi.
“Kelas enam, Mister. Sebentar lagi aku mau lanjut ke SMP, tapi itu juga kalau ada biaya,” ujar Praya dengan tenang. Tak terlihat ada beban sedikit pun dalam raut wajah atau nada bicaranya.
“Seharusnya lanjutkan dulu. Lagi pula, anak sekecil kamu mau apa kalau tidak sekolah?” saran pria itu.
Mendengar ucapan Rain, Praya segera menoleh padanya. Dia juga mengecilkan volume suara televisi. “Iya, Mister. Aku juga maunya bisa lanjut sekolah, tapi kadang kasihan sama mbok Binar. Dia harus kerja keras terus,” sahutnya. Sesaat kemudian, Praya tampak teringat akan sesuatu. Anak itu pun segera beranjak dari duduknya. “Mister silakan nonton saja sendiri. Aku harus cuci piring dulu,” ujarnya seraya meletakkan remote televisi di atas meja. Praya pun berlalu ke dalam dapur.
Rain terdiam sejenak. Dia lalu mematikan televisi dan mengikuti Praya ke dalam dapur. Dilihatnya anak berusia dua belas tahun tersebut sudah bersiap untuk mencuci piring. “Dek, biar aku saja yang mengerjakan,” cegah pria itu seraya menghampiri Praya.
“Memangnya Mister sudah kuat?” tanya Praya ragu.
“Tidak apa-apa. Sepertinya ini bukan pekerjaan yang sulit,” jawab Rain. Dia menggantikan posisi Praya berdiri di depan bak cuci piring. Namun, Rain tampak tertegun. Dia berdiri mematung hingga beberapa saat.
“Ada apa, Mister?” tanya Praya heran.
Rain menoleh kepada anak itu. “Um ... mana dulu yang harus kucuci?” tanyanya. Tampak jelas bahwa dia tak terbiasa dengan pekerjaan itu.
“Terserah Mister lah. Mau piring atau gelas dulu, bebas,” jawab Praya dengan santainya.
“Oh, iya. Baiklah.” Rain pun memulai pekerjaannya. Dia melakukan hal itu dengan sangat hati-hati. Mencuci perabot dapur terlihat mudah, tapi ternyata tetap membutuhkan konsentrasi yang cukup tinggi, karena berkali-kali Rain melepaskan gelas yang terasa licin di tangannya.
“Hati-hati, Mister,” tegur Praya mengingatkan. Anak itu tampak khawatir, saat menyaksikan Rain dengan pekerjaan yang menjadi tugasnya pada hari itu. Praya pun memutuskan untuk mengerjakan hal lain di ruang tamu.
Namun, apa yang Praya takutkan ternyata benar-benar terjadi. Tak lama setelah dia berlalu dari dapur, terdengar suara benda pecah di sana. Praya pun berlari kembali. Dia mendapati Rain tengah memunguti pecahan beling di lantai. “Mister!” serunya sambil berjalan mendekat.
“Maaf, aku tidak sengaja menjatuhkan mug ini,” ucap Rain seraya menunjukkan pecahan beling yang sedang dia punguti dari lantai.
“Waduh, celaka!” seru Praya sambil menepuk keningnya. Seketika anak itu terlihat cemas.
“Kenapa?” tanya Rain heran.
“Itu mug kepunyaan ibu. Dia pasti marah kalau tahu mug kesayangannya pecah,” jelas Praya terlihat was-was.
Begitu juga dengan Rain. Pria tampan tersebut menjadi ikut khawatir. Terlebih, sedikit banyak dia tahu seperti apa watak Widya meskipun dia baru mengenalnya selama beberapa hari saja. “Astaga. Bagaimana ini?” gumam Rain tampak berpikir.
“Buruan bersihkan, Mister. Jangan lupa buang ke tempat sampah. Kalau ibu bertanya, bilang saja tidak tahu,” saran Praya. Dia mengambilkan kantong kresek, kemudian menyodorkannya kepada Rain. Pria itu pun segera menerima dan memasukan pecahan beling tadi ke dalam kantong kresek hitam itu. Sesaat kemudian, Rain membuangnya ke dalam keranjang sampah.
“Kita pura-pura tidak tahu saja, Mister,” saran anak itu lagi. Sedangkan Rain menanggapinya dengan tersenyum kecil. Padahal, dia hanya memecahkan sebuah mug, tapi entah kenapa harus merasa begitu was-was.
“Binar pulang jam berapa hari ini?” tanya Rain pada Praya, ketika mereka sudah kembali duduk di ruang tamu.
“Kalau tidak lembur, biasanya pulang jam lima,” jawab Praya sambil menggaruk kepalanya.
Rain pun melirik jam yang terpajang pada dinding ruang tamu. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul enam belas lewat empat puluh lima menit. Itu artinya, lima belas menit lagi Binar akan menyelesaikan pekerjaannya. “Memangnya, Binar kerja di mana?” tanya Rain lagi.
“Mbok kerja di toko suvenir. Jaraknya tidak terlalu jauh dari sini, makanya mbok biasa jalan kaki saja. Nama tokonya Balinese Glass Art and Souvenirs. Di sana menjual segala macam barang untuk oleh-oleh, Mister. Jadi toko favoritnya para turis,” jelas Praya.
“Oh,” Rain menanggapi sambil menggut-manggut. Dia lalu kembali melirik jam dinding. Entah kenapa, dia begitu menantikan agar Binar segera pulang. Namun, yang muncul terlebih dahulu justru malah Widya. Wanita itu terlihat sangat lelah. Dia membawa wajah lusuhnya ke rumah dan terlihat sedang kesal.
Widya sempat melirik kepada Rain untuk sekilas. “Dasar benalu,” gumamnya sambil terus melanjutkan langkah menuju kamar. Tak berselang lama, Widya keluar lagi dengan handuk di atas pundak sebelah kiri. “Bli kamu belum pulang, Ya?” tanyanya.
“Belum, Bu. Katanya ada kerja kelompok dulu,” jawab Praya. Sesekali, dia menoleh kepada Rain seraya memberikan isyarat. Sedangkan Rain hanya menggumam pelan.
Setelah mendengar jawaban dari putra bungsunya, Widya pun beranjak ke dalam dapur. Dia bermaksud untuk menyeduh secangkir teh sebagai pengusir penat setelah seharian bekerja. Namun, wanita itu ternyata tidak dapat menemukan mug kesayangan yang biasa dia gunakan. Widya pun terus mencarinya di antara perabot dapur yang lain. Akan tetapi, barang yang dia cari tetap tak dapat ditemukan. Widya pun berpikir sambil bertolak pinggang.
“Ya, hari ini siapa yang nyuci piring? Kamu tahu mug punya ibu di mana?” serunya dari dapur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 242 Episodes
Comments
Yeni Eka
pake mug yang lain dulu napa Biyung
2022-11-06
3
Dwisya12Aurizra
kasih tauk gk ya mug nya di mana??? 😁😁
2022-10-22
0
ƙꪮꪑꪖꪶꪖకꪖꪹỉ
Ayo, sini Rain. Come to mama. Etr mama peluk.
2022-10-21
1