"Kenapa?" tanya Binar pada Rain yang tampak gelisah.
"Tidak apa-apa. Aku hanya melihat sekilas ... bayangan-bayangan ...." Kalimat Rain menggantung. Dia kembali menatap Binar lekat-lekat, membuat suasana canggung kian terasa. Ketika Rain memalingkan muka, Binar hanya bisa menunduk dalam-dalam. Pengalaman tadi adalah yang pertama dalam hidupnya. Jangankan dicium oleh lawan jenis, berdekatan dengan sosok laki-laki pun baru kali ini dia alami.
Mata bulat Binar terpejam rapat-rapat. Gadis itu berusaha sekuat tenaga meredam debaran jantungnya yang menggila. Sesekali terdengar dirinya mengembuskan napas panjang.
"Ma-maaf, Binar. Aku tidak bermaksud untuk kurang ajar. A-aku cuma ... entahlah, aku cuma ...." Rain gugup hingga terbata. Dia sendiri juga bingung dan heran atas sikapnya. Sehingga yang bisa dia lakukan saat itu hanyalah memijit tengkuknya untuk menutupi sikap salah tingkah.
Binar cepat-cepat menggeleng seraya tersenyum lebar. "Tidak apa-apa, Rain. Sungguh, aku berterima kasih karena kamu sudah menghiburku," ujarnya malu-malu.
"Ya. Kamu harus tetap kuat, tapi tawaranku juga masih tetap berlaku, Binar. Kalau suatu saat ingatanku kembali, ikutlah bersamaku," iris mata coklat terang itu menatap sayu pada wajah cantik gadis yang kini sudah mulai jauh lebih tenang.
"Aku pikir-pikir lagi." Binar terkekeh pelan. "Bagaimanapun, aku bertahan demi adik-adikku. Mereka adalah amanah, darah daging peninggalan almarhum bapak. Dulu, bapak selalu bercita-cita menyekolahkan kami semua setinggi-tingginya. Jika bapak tidak berhasil mewujudkan mimpi itu, maka akulah yang harus menyelesaikannya," jelas Binar. Dia berusaha untuk mengembalikan semua semangat dalam dirinya.
"Binar," Rain menggeleng tak percaya. Kagum sekaligus iba, bercampur menjadi satu di dalam dadanya. Setelah itu, Rain terdiam. Keheningan kembali datang dan menguasai kebersamaan mereka.
"Aku ingin tahu," ucap Rain beberapa saat kemudian, "kenapa kamu memberikan aku nama Rain?"
"Oh, itu ...." Binar meringis kecil, lalu kembali menunduk. "Itu karena ... aku suka hujan," jawabnya pelan. "Waktu itu aku masih kecil. Setiap kali hujan deras, maka bapak selalu mengajakku ke teras. Kami hujan-hujanan di sana. Bapak menyuruh aku menengadah, lalu berteriak sekencang-kencangnya," tutur Binar. Matanya menerawang jauh menembus pada derasnya aliran air terjun. "Waktu perawat itu menanyakan namamu, yang langsung terlintas di benakku adalah kata hujan, Rain. Jonathan Rain," lanjutnya seraya tersenyum.
"Jonathan?" Rain mengernyitkan kening sambil tertawa.
"Iya. Dulu aku suka berandai-andai. Jika nanti aku menikah dan punya anak, maka anak itu akan kuberi nama Jonathan," jelas Binar sembari tersipu.
"Kalau perempuan?" kejar Rain.
"Ehm, siapa, ya?" Binar setengah mendongak sambil mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dagu.
"Violet," cetus Rain. "Aku suka nama itu." Lalu, kedua orang itu kembali terdiam dan saling pandang untuk beberapa saat lamanya.
"Kita seperti sepasang suami istri yang sedang mencari nama untuk calon bayi," Rain terbahak.
Melihat Rain tertawa, Binar pun ikut tergelak.
"Terima kasih, Rain. Kamu benar-benar menghiburku," ucapnya lagi.
"Sudah, jangan dipikirkan. Aku yang berterima kasih karena kamu sudah bersedia membantuku tanpa pamrih," balas Rain. Iris matanya yang indah tak henti memandang Binar dengan tatapan memuja. "Bapak kamu pasti orang yang sangat baik," pikirnya.
"Kok tahu?" Binar tergelak lagi.
"Karena kamu juga sangat baik," Rain mengulum senyum dengan muka merona. Demikian pula Binar. Dia tak tahu bagaimana harus menanggapi sanjungan tersebut, sehingga gadis itu memilih untuk diam dan kembali menunduk tersipu.
"Sudah hampir gelap. Apakah tidak sebaiknya kita pulang?" pikir Rain mencoba menyingkirkan rasa canggung yang kembali menggelayuti kebersamaan mereka.
"Aku masih malas pulang. Ibu kalau marah, lama sembuhnya," keluh Binar. "Aku lelah mendengar dia marah-marah terus. Rasa kepalaku akan meledak. Belum lagi kalau dia mulai lempar-lempar barang."
"Memangnya dia pernah melukaimu?" Rain begitu heran atas sikap ibu tiri Binar itu.
"Sering," Binar menoleh pada Rain, lalu kembali menunduk. Dia menunjukkan bekas luka di kulit kepala yang telah mengering. "Kepalaku pernah dilempar panci, teko panas. Aku telat menghindar," tunjuknya.
"Astaga," Rain menggeleng dan menggumam pelan.
"Aku ingin bermalam di air terjun saja," seloroh Binar dengan mata berkaca-kaca. Nada bicaranya terdengar bercanda, tetapi dalam hati dia sangat berharap agar hal itu bisa terjadi.
"Tidak apa-apa. Ada aku, Binar. Kita hadapi semuanya bersama. Aku akan melindungimu." Rain yang awalnya duduk di bebatuan mata air, akhirnya berdiri dan mengulurkan tangannya pada Binar.
Sementara Binar hanya mengela napas panjang, lalu diam sejenak. Diliriknya telapak tangan Rain yang masih tetap terulur. Ditatapnya sejenak, lalu digenggamnya erat. "Baiklah, ayo kita pulang," ajak Binar pada akhirnya.
Mereka pun berjalan menuruni bebatuan dan melintasi jalan setapak yang curam. Sambil tetap bergandengan tangan, keduanya berjalan pulang.
****************
Di tempat lain masih di wilayah yang sama, seseorang tampak gelisah dan kebingungan. Terlihat dia mondar-mandir di sisi jalan raya yang berbatasan dengan hutan lebat. Tak berapa lama, seorang gadis bertubuh sintal datang dan menghampiri pria itu. "Jadi, bagaimana, Pak Burhan? Ada mayatnya atau tidak?" Was-was gadis itu memandang pada pria paruh baya di hadapannya.
"Waktu itu, saya sudah menyuntikkan obat bius dosis tinggi, Non. Saya yakin dia over dosis. Apalagi saat itu dia juga dihajar sama anak-anak. Mereka lalu membuang tubuhnya di bawah sana." Pria itu mengarahkan telunjuknya ke jurang terjal di tepi jalan.
"Sudah dicari atau belum? Mereka menemukan mayatnya di bawah sana atau tidak?" ulang gadis itu cemas.
"Sudah dua kali anak-anak menyisir tempat itu, Non Indah. Namun,mereka tidak menemukan jasad tuan Arsenio," jawab pria itu ragu.
"Ck, sialan!" umpat gadis bernama Indah itu. Sudah tiga hari dia menghilang. "Winona dan Chan juga sudah menghubungi kedua orang tua Arsenio. Tinggal menunggu waktu sampai mereka melakukan konferensi pers. Bisa bahaya posisi kita, pak Burhan!" dampratnya.
"Lalu bagaimana, Non?" Burhan semakin gelisah sambil sesekali melongok ke jurang berbatu di depannya.
Indah tak langsung menjawab. Dia memandang dengan tatapan aneh ke arah Burhan, lalu menyeringai. "Kamu betah sakit, 'kan?" tanyanya pelan.
Burhan menelan ludahnya. Perasaannya mengatakan bahwa akan ada sesuatu tak mengenakkan yang terjadi padanya, dan ternyata benar. Tak berselang lama, beberapa pria tinggi besar datang entah dari mana. Mereka mendekat kepada Indah. "Jadi bagaimana, Mbak Indah?" tanya salah seorang dari pria-pria itu.
"Kita ganti rencana. Sekarang, kamu pukuli Burhan. Jangan terlalu parah, cukup kelihatan memar-memar saja. Setelah itu, kita bawa dia ke rumah sakit," suruh Indah dengan entengnya.
"A-apa ... apa maksudnya ini?" wajah Burhan memucat. Dia berniat lari dari sana, tetapi tubuhnya seakan membeku. "Jangan!" pekiknya ketika kepala dan lengan dipukul bertubi-tubi. Burhan lemas, lalu terjatuh. Hidung dan sudut bibirnya mengeluarkan darah. Pelipis dan pipinya juga tampak memar.
"Stop! Sudah cukup," cegah Indah. "Sekarang kita bawa dia."
Dengan mengendarai sebuah mobil SUV, mereka membawa Burhan ke rumah sakit terdekat. Setelah mendapatkan perawatan, Burhan dipindah ke ruang rawat inap. Indah menunggu dengan sabar, sampai posisi Burhan nyaman di atas ranjang.
Gadis itu kemudian meraih ponselnya dan memulai panggilan video ke luar negeri. Tepatnya adalah ke Amsterdam, tempat kedua orang tua Arsenio berada. Indah memasang wajah sedih dan berpura-pura menitikkan air mata, ketika panggilannya tersambung. Tampak di layar sepasang suami istri yang terlihat sama-sama rupawan di usia mereka yang tak lagi muda.
"Halo," sapa gadis itu sambil terisak. "Indah sudah menemukan sopir Arsenio. Orangnya terluka parah setelah dihajar perampok, om, tante," lapornya.
"Ya, Tuhan. Wat er is gebeurd (apa yang terjadi)?" tanya seorang pria yang wajahnya mendominasi layar.
Indah segera mengalihkan ponselnya pada Burhan. Saat itulah Burhan paham jika Indah tengah mengajaknya bersandiwara. "Kami dirampok, Meneer. Saat itu, saya hendak mengantarkan meneer Arsenio ke villanya. Namun, di tengah jalan ada beberapa orang menghadang mobil kami. Mereka memaksa meneer Arsenio agar keluar dari kendaraan," papar Burhan.
"Arsenio pandai bela diri. Bagaimana bisa dia memutuskan keluar?" tanya pria asli Belanda itu sangsi.
"Mereka mengancam dengan menggunakan senjata, tuan. Kaca kendaraan kami tidak anti peluru. Meneer Arsenio terpaksa menuruti kemauan mereka. Setelah itu, di bawah ancaman senjata, mereka menghajar putra anda dan juga memukuli saya. Saat kami sudah tak berdaya, mereka melemparkan tubuh tuan muda ke jurang, lalu membawa lari mobil serta semua barang berharga," jelas Burhan panjang lebar.
"Anakku," wanita cantik yang berada di dalam layar ponsel Indah pun menangis tersedu-sedu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 242 Episodes
Comments
StrawCakes🍰
aku selalu bahagia saat hujan turun 🎤🎶
2022-10-23
2
StrawCakes🍰
alah Rain bilang aja lagi pengen butuh pelampiasan 😂
2022-10-23
0
StrawCakes🍰
binar ternodai bibirnya
2022-10-23
1