Binar keluar dari kamar yang ditempati Rain dengan malas-malasan. Mukanya masam saat harus berhadapan dengan Surya yang memandangnya dengan mata berbinar. Sedangkan Wisnu sudah tak terlihat lagi di depan televisi. Entah ke mana anak itu. "Nar, lagi istirahat?" sapa Surya.
Binar menggeleng pelan. "Aku sedang membantu Rain untuk meminum obatnya," jawabnya seraya berlalu ke dapur. Tak dihiraukannya Widya yang menatapnya tajam.
Saat menyeduh teh, dia dapat mendengar sayup-sayup suara Widya yang menceritakan tentang dirinya pada Surya. Binar merasa muak. Seandainya bisa, dia ingin lari saja saat itu tanpa harus menyajikan nampan pada pemuda kampung yang terkenal tampan dan kaya, tapi bengal itu.
Surya kerap terlibat perkelahian dengan beberapa orang dari kampung lain. Dia juga terkenal suka mabuk dan berbuat onar. Binar tak bisa membayangkan jika harus hidup bersama dengan orang yang seperti itu. Dirinya bergidik ngeri.
"Mana tehnya, Nar? Kok lama?" terdengar lagi seruan Widya dari ruang tamu.
Binar menghela napas panjang dan mengangkat nampannya. Dengan langkah tenang dan raut muka datar, dia meletakkan nampan di meja ruang tamu, kemudian menaruh cangkirnya tepat di depan Surya.
"Terima kasih, Nar," ujar Surya sambil berusaha menyentuh punggung tangan Binar. Segera saja dia menampik tangan Surya keras-keras sembari melotot pada pemuda itu. "Ya, ampun, jangan galak-galak, dong. Sebentar lagi 'kan kita akan menikah. Ibumu saja sudah setuju. Betul 'kan, Me (Bu)?" Surya menoleh pada Widya sambil tersenyum lebar.
"Ya, lebih baik Binar menikah dengan lelaki sepertimu, daripada berduaan terus dengan lelaki yang tidak jelas asal-usulnya," sindir Widya. Dia sengaja mengeraskan suaranya agar Rain yang berada di dalam kamar, dapat mendengar dengan jelas.
"Sudah pasti aku lebih cocok bersanding dengan Binar, Me. Ganteng dan cantik," kelakarnya. "Setuju tidak, Nar?" tanya Surya.
"Tidak!" jawab Binar singkat. Dia juga mendengus kesal sebelum berbalik ke dapur. Tak disangka, ternyata Widya mengikutinya dari belakang. Saat tak terlihat dari Surya, Widya langsung mencengkeram lengan Binar kuat-kuat dan membalikkan tubuh gadis itu.
"Kamu jangan bikin malu, ya! Ingat, keluarga Surya sudah begitu baik pada kita! Sebagai perempuan itu kamu harus punya sopan santun," geram Widya dengan suara tertahan agar amarahnya tak terdengar oleh siapapun.
Jemari Widya kuat menekan pipi Binar sampai gadis itu meringis. "Sekarang temui dia! Cepat!" Widya mendorong tubuh ramping Binar dan memaksanya untuk menemani Surya di ruang tamu.
Dengan terpaksa, Binar duduk di kursi yang berjarak sedikit jauh dari pemuda yang sekarang memandangnya dengan tatapan nakal itu. Surya menaikturunkan alisnya saat Binar meraih bantal sofa dan memangkunya.
"Baru pulang kerja, ya?" tanya Surya basa-basi. Binar tak menjawab. Dia merasa makin muak mendengarnya.
"Heh, Binar. Kalau ada orang bertanya itu dijawab. Bukannya diam saja," protes Widya yang baru saja keluar dari dapur sambil membawakan ubi rebus. “Masih hangat. Ayo, dicicipi,” sikap wanita itu terhadap Surya, jauh berbeda dibandingkan sikapnya pada Binar.
“Oh, tentu. Calon mertua,” ucapnya tanpa malu. Satu tangannya mencomot ubi yang berukuran paling besar. Binar yang merasa semakin jengah, hanya bisa menahan air matanya agar tak menetes. Ingin rasanya dia berlalu pergi dari sana. Namun, lagi-lagi Binar tak pernah kuasa melawan Widya.
“Hai, selamat malam. Boleh saya bergabung?” sosok tampan Rain menyembul dari balik pintu kamar Binar yang berhadapan langsung dengan ruang tamu.
Widya sudah hampir membuka mulutnya untuk mendamprat pria jangkung itu, tapi Binar sudah lebih dulu berdiri dan menarik tangan Rain. “Gabung saja. Ayo, duduk sini,” ajaknya.
Tatapan tak suka jelas terlihat dari mata Surya dan juga Widya. Namun mereka tak mengucapkan sepatah katapun. Apalagi saat Binar dengan sengaja menggandeng tangan Rain yang tampak kekar dan berotot. Surya hanya sanggup mendengus dan memalingkan muka.
Tak lama kemudian, pandangannya beralih pada Widya. “Ini yang katanya kemarin ada turis nyasar itu ya, me Wid?” pertanyaan yang jauh lebih sesuai sebagai sindiran untuk Rain. “Turis miskin tapi, ya,” Surya tergelak.
“Iya, miskin. Dia kemari hanya membawa badan sebesar itu. Bajunya compang-camping penuh darah dan tanpa alas kaki. Rasanya aku jijik mau mendekati,” timpal Widya seraya mencebikkan bibirnya.
Merah padamlah muka Binar saat itu. Panas hatinya tatkala Rain dihina seperti tadi. Walaupun mereka baru bertemu dan akrab dalam hitungan hari, tapi rasa yang tumbuh di hati Binar sedemikian besar dan berkembang dalam waktu singkat.
“Aku tidak yakin kalau aku miskin,” kening Rain berkerut sambil mengusap-usap dagunya. Dia sepertinya tak terpancing sama sekali dengan cemoohan Widya dan Surya. “Kemarin lusa, aku sempat memeriksa baju yang kupakai saat Binar menemukanku pertama kali. Aku mencari-cari petunjuk di sana. Memang benar, aku tidak menemukan apa-apa di seluruh sakuku. Akan tetapi, waktu aku melihat merk kemeja yang kupakai, aku sepertinya ingat akan sesuatu. Jadi aku mencatat nama merek itu dan kutunggu sampai Binar pulang kerja, lalu aku meminjam ponselnya untuk memakai mesin pencarian. Anda tahu apa yang kutemukan, Bu?” mimik muka Rain tampak antusias.
“Apa!” sahut Widya ketus.
“Ternyata merek yang tercantum di kemeja dan celanaku adalah salah satu merek baju yang terkenal dan mahal. Jika aku miskin, bagaimana mungkin aku memakai pakaian semahal itu?” Rain memiringkan kepalanya dengan nada bicara yang terdengar sangat santai. “Aku juga tidak menemukan dompet atau barang berharga apapun. Bisa jadi aku dirampok dan tubuhku dibuang begitu saja ke tengah hutan. Masuk akal bukan, Bu?” Rain mengangkat salah satu alisnya, kemudian tersenyum.
Mendengar penuturan Rain, Widya sontak terpana. Satu hal yang luput dari pengamatannya saat itu adalah masalah baju. Dia sudah bertahun-tahun kerja di tempat laundry. Sudah barang tentu Widya pandai menilai apakah baju yang dipegangnya adalah baju berkualitas tinggi dan mahal atau tidak. “Coba mana bajumu? Coba kulihat?” tantangnya dengan pongah. Widya tak ingin terlihat kalah.
“Sudah kucuci dan kusimpan di lemariku, Bu. Bagian kain yang sobek juga sudah kujahit. Lumayan untuk baju ganti jika kaos Rain kotor,” jawab Binar.
“Kalau begitu, cepat bawa sini!” Widya mengulurkan tangannya pada Binar.
“Tunggu sebentar,” Binar bergegas memasuki kamar dan mengambil satu stel pakaian Rain di tumpukan bajunya, lalu diserahkannya pada sang ibu tiri. “Ini, Bu” ujarnya.
Widya segera mengambil dua potong baju itu dari tangan Binar dan mulai mengamatinya secara serius. Surya sendiri tampak tak suka dan terus mengarahkan pandangan kejinya hanya kepada Rain seorang. Namun Rain menganggapinya dengan teramat santai. Dia tak terlihat takut, apalagi terintimidasai.
“Jenis kainnya berbeda, sedikit lebih tebal, tapi halus dan ya … benar …” Widya menelan ludah beberapa kali sebelum melanjutkan kalimatnya. “Ini memang merek pakaian mahal, setara dengan gajiku dalam setahun.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 242 Episodes
Comments
Vitria Nilasari
si biyung bikin gemesssh😂
2022-10-27
2