Tukar Jiwa
Kelopak matanya terbuka, ia menatap langit-langit yang menampilkan antariksa di atasnya. Beberapa saat yang hening, merasa damai. Ia duduk dan langsung disambut pantulan dirinya yang mengagumkan.
“Terima kasih sudah tetap cantik hari ini!”
Daisy ingat bahwa memulai hari dengan kalimat yang positif akan membuat sepanjang hari yang tersisa begitu menyenangkan. Ia turun dari ranjangnya yang nyaman, bertepuk tangan. Dua pelayan segera membuka pintu kamarnya, masuk dan tergesa-gesa membuka tirai-tirai lebar dari linen mengkilap di jendela kaca dekat balkon. Yang lainnya mendahului Daisy mencapai toilet memerikan segala jenis benda yang akan digunakannya untuk mandi.
“Siap?” tanya Daisya saat pelayan tersebut keluar.
“Ya, Nona muda!” jawab si pelayan dengan kepala tertunduk.
Daisya mengerucutkan bibirnya, tampak lucu, dan dengan langkah ringan menuju kamar mandi. Sebelum berdiri di shower, ia mengatur suhu air dengan punggung tangannya. Setelah merasa cukup, ditanggalkan seluruh pakaian. Sambil bersenandung Daisy menyelesaikan rutinitas paginya.
“Ah, bisa siapkan celana jins saja hari ini yang warna hitam, lalu bloues krem tampaknya bagus. Untuk aksesoriesnya pilih yang senada!” suruh Daisy saat duduk di depan meja rias. Pelayannya dengan sigap memoleskan make up ke wajahnya. “Aku cantik, kan?” tanya Daisy.
Pertanyaan yang sama setiap pagi dengan jawaban yang sama pula. “Tentu, Nona muda! Tidak ada yang secantik dan seanggun Anda!”
Daisy senang. Bibirnya yang kemerahan dan telah dipoles liptin merekah. Ia memandang wajahnya sendiri dan mengagumi pantulan bayangannya.
Ia memiliki mata belo, bulu mata yang lentik, serta alis yang tebal. Kulitnya putih, tetapi tak pucat, pipi yang penuh, dengan hidung mancung. Bibirnya mungil dan kecil. Setiap orang yang melihat selalu memujinya sempurna.
Setiap harinya datang beberapa pemuda ke rumahnya hanya untuk mengantarnya ke kampus. Akan tetapi, ia lebih memilih pergi sendiri. Sebab tak satu pun laki-laki itu sanggup menyaingi Mahardika, tunangannya.
“Cukup! Aku sudah puas dengan make up hari ini!” katanya menghentikan tambahan blush on di pipi.
“Baik, Nona muda!”
Suara benda kaca yang pecah di dalam ruangan yang sama dengannya membuat Daisy menoleh. Senyumnya yang terkembang tadi lekas menghilang. Lekas ia berdiri untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
“Maafkan saya, Nona muda!” Pelayan yang ditugasinya untuk menyiapkan pakaian gemetar di depan Daisy.
“Kamu mau mencurinya?”
“Tidak, Nona, mana saya berani!”
Daisy menaikan alis. Ia melirik ke arah ruang pakaian yang ada berlawanan arah dari letak vas kaca. Bagaimana pun si pelayan tergesa-gesa, vas kaca itu sama sekali tidak akan jatuh karena tersenggol.
“Apa dia pelayan baru?” tanya Daisy pada pelayan yang membantunya merias diri tadi.
“Ya, Nona muda. Pelayan yang biasanya sedang sakit, dan hanya dia yang sedang tidak bekerja tadi!”
“Keluarkan dia! Dia dilarang masuk ke dalam ruanganku lagi!” putus Daisy.
Ia melengos dan pergi ke ruang pakaian tempat seharusnya semua pakaiannya berada. Ia mendapati pakaian yang diminta ada di atas meja kaca. Ketika akan menuju ke sana, ia melewati rak aksesories dan menemukan dua kotak kosong.
“Dia masih bilang tidak mencuri!” gumamnya pelan.
Daisy memiliki segalanya. Ia juga mampu memberikan apa yang diinginkan kepada orang yang disukai. Tetapi, ia sama sekali tidak suka pada pencuri. Karena itu ia pasti akan memberikan hal yang paling diinginkan para pencuri itu.
***
Piring berisi makanan yang sudah disiapkan Stefani itu jatuh ke lantai. Isinya berserakan bersatu dengan pecahan.
“Ah ... sepertinya aku kurang kuat memegangnya, Kak,” kata Stefani pada kakak laki-lakinya yang kini sudah duduk di meja makan.
Pria yang tahun ini berusia 25 tahun tersebut mengangkat kepala, tampak tak bersemangat. “Ya, sudah, aku dan Bapak akan makan di luar,” katanya pada Stefani.
Kakak laki-laki Stefani yang bernama Nirwan tersebut berdiri, mengambil jaket jins yang tersampir di kursi lain dan kemudian keluar. Tak mengatakan apa-apa lagi pada Stefani.
Setelah tinggal sendirian, Stefani mengumpulakn pecahan piring dengan hati-hati. Tetapi, seberapa hati-hati dirinya tetap saja pecahan piring tersebut melukai tangannya. Ia terdiam melihat genangan darah diujung jarinya.
“Ini tak apa-apa,” katanya pada diri sendiri.
Dijentikan darah yang ada di ujung jari dan kembali ia membereskan kekacauan. Selesai dengan itu semua, ia bersiap untuk berangkat kuliah. Sudah hampir pukul sembilan, Stefani memiliki kelas pukul sepuluh.
Selesai bersiap, ia bergegas keluar rumah.
Stefani dan keluarganya tinggal di sebuah pavillun yang terpisah dari rumah utama. Keluarganya telah bekerja di rumah keluarga Aghra bahkan sebelum ia lahir. Ibunya adalah pelayan kesayangan keluarga Agrha dan ayahnya sejak masih kecil telah menjadi tukang kebun keluarga tersebut. Jadi ketika ibu dan ayahnya menikah, keluarga Aghra meminta mereka tinggal di paviliun belakang rumah yang berjumlah empat buah itu.
“Selamat pagi, Stefani!” Salah seorang pelayan yang bekerja di rumah yang sama menyapa Stefani yang tergesa-gesa berjalan di samping rumah. Di tangannya ada keranjang berisi sayuran segar, sepertinya baru saja menerima pengantaran bahan makanan.
“Selamat pagi, Bu Surti. Loh, barusan saya lihat Nirwan keluar dengan motor, kenapa tidak ikut dengan dia saja?”
Stefani tersenyum. “Tidak, Bu, soalnya Kakak tergesa-gesa. Kan jam ganti shift pukul sembilan, kalau nungguin saya nanti terlambat!”
Bu Surti mengangguk paham. Ia menatap sedih pada Stefani. Hal yang membuat dirinya sedikit risih. Tidak ada di dalam kehidupannya yang patut dikasihani. Apapun yang terjadi di dalam hidupnya adalah kesalahan dirinya.
“Kalau begitu saya berangkat, Bu,” katanya pamit.
Ia bergegas lari lagi ke depan, melintasi halaman yang luas. Sesat ia berhenti di tengah halaman, mendengar suara orang-orang yang sedang mengobrol, menjadi ingin tahu. Ia melihat putri majikan yang seusia dengannya, Daisy.
“Ingat, ya, jangan makan sembarangan!” Wanita di samping Daisy kembali bicara.
Tatapan Stefani dan Daisy bertemu sesaat, kemudian gadis cantik yang masih berdiri di teras itu memalingkan wajah. Stefani melakukan hal yang sama. Ia tak boleh berlama-lama. Tidak ada hal yang didapatkan jika melihat keluarga bahagia di depan pintu sana. Hanya akan ada rasa sakit yang dirasakan Stefani.
Aku sudah mendapatkan apa yang pantas aku dapatkan! Ia berkata pada dirinya sendiri di dalam hati. Lalu mulai berlari lagi.
Pintu gerbang telah terlihat sekarang. Peluh terbit di dahinya ketika ia menarik gerbang besi kecil di samping gerbang utama. Kemudian ia keluar. Perjalananya masih panjang untuk bisa mencapai bus yang akan mengantarnya ke universitas.
Baru saja akan menyeberang jalan, bunyi klakson yang membuat ruhnya terbang karena kaget terdengar. Ia menutup mata, menutup telinganya juga. Apa aku mati?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Pena_Senja
mantab kak, ayo mati atau gak itu? next ayo kita lanjutkan bab selanjutnya, semakin seru 👍🏼
2023-02-02
0
Gadis Bar-bar
Kayaknya gak mati deh, cuma kelakson aja yang bunyi?
2023-01-27
0
Muyooo
seruuu seruuu
2023-01-25
1