Mahardika hanya bisa memperhatikan kepergian Daisy dari mobilnya. Matanya tak lepas memandangi Daisy yang bahkan sama sekali tak menoleh ke belakang sejak ia menanyakan soal gadis bernama Stefani itu.
“Sepertinya sebuah kesalahan bertanya padanya,” kata Mahardika pelan, kalimat penyesalan untuk dirinya sendiri.
Ia mengambil ponsel yang ada di dekat speedometer, membuka kunci, memperhatikan dengan saksama. Di mana gadis bernama Stefani ini mendapatkan nomornya. Lalu apa alasan gadis yang hanya bertemu dengan dirinya beberapa kali tersebut bersikap sok akrab. Memangnya Mahardika melakukan apa hingga gadis itu beranggapan kalau mereka boleh bertukar pesan seperti ini.
“Ini pasti hanya orang yang mencoba memanfaatkan Daisy saja,” gumam Mahardika.
Ia lebih baik mencari aman. Diblokirnya nomor baru yang mencoba menghubunginya itu.
***
Daisy sepanjang jalan mengatakan pada dirinya sendiri untuk tidak menoleh ke belakang. Padahal dadanya berdentum-dentum tidak menentu, ia sakit kepala, tidak tenang dan ingin berlari ke Fakultas Bahasa sekarang juga.
Tidak jangan lakukan itu! Berjalan terus ke depan. Terus saja!
Hati dan pikirannya benar-benar sedang berperang saat ini. Akan tetapi, ia berhasil melewati halaman, menaiki tangga menuju lobi, dan masuk ke dalam gedung. Begitu ia yakin kalau Mahardika tidak akan melihat dirinya lagi, Daisy bersandar di tembok. Ia melihat mobil yang dikendarai Mahardika melaju keluar dari tempat parkir dan menghilang di jalanan.
Kenapa dia menanyakan Stefani padaku?
Daisy sama sekali tak mengerti. Ia kemudian mencari ponselnya dengan tergesa-gesa. Sama tergesa-gesanya dengan mencari kontak Stefani di dalam ponselnya dan kemudian mencoba menghubungi. Tetapi, nomor yang dihubungi sama sekali tidak tersambung.
“Bagaimana ini?” tanya Daisy kebingungan.
Tidak apa Daisy!
Ponsel yang di tangannya tergelincir segera. Ia menoleh ke sana kemari untuk mencari siapa yang bicara. Tetapi, tidak ada siapa-siapa saat ini di lobi. Semua kelas sedang melalui proses perkuliahan. Masih ada sekitar satu jam lagi sebelum satu persatu semuanya selesai.
“Si-apa?” tanya Daisy.
Ia merasakan ketakutan di dalam suaranya. Ia bisa merasakan tubuhnya perlahan bergetar. Ia juga bisa merasakan kalau ada dorongan yang membuatnya ingin kembali ke dalam kelas saja, bersama orang-orang.
“Dai ...!”
“AAAA!” Daisy berteriak melemparkan tasnya pada siapapun yang menyapa.
Ia berharap kalau yang menyapanya manusia. Seseorang yang bisa dilihat, diraba. Ia berharap kalau akan melihat seseorang di tempat tasnya dilemparkan.
“Apa-apaan kamu, Daisy?”
Daisy menoleh lalu meneteskan air mata karena lega. Lola berdiri termanggu menatap dirinya yang menangis. Teman sekelasnya itu langsung mendekatinya dengan tas di tangan.
“A-da apa Daisy? Astaga, apa kalian bertengkar?” tanya Lola dengan panik.
Ia berjinjit untuk bisa melihat ke arah parkiran, mencoba mencari tahu bahwa Mahardika di sana, atau mobilnya masih parkir di sana.
Daisy tahu kalau tunangannya sudah pergi dan kemudian ia mendengar suara. Ia ketakutan, karena itu saat melihat Lola yang muncul Daisy menangis. Mahardika sama sekali tidak bersalah.
“Tidak apa-apa. Aku ... ini bukan salah Mas Dika!” katanya memberitahu.
Lola tampak tak percaya, ia menyerahkan kembali tas yang dilemparkan Daisy tadi. Tas yang kemudian menghantam dada Lola dengan keras.
“Terima kasih!” kata Daisy pada teman sekelasnya itu.
Lola masih di sana saat Daisy bergegas pergi ke toilet. Ia harus memperbaiki riasannya. Lalu menutupi matanya yang merah dengan kaca mata.
Saat berada di depan toilet, Daisy mengurungkan niatnya. Ia takut mendengar suara-suara lagi. Ia mundur dengan jantung berdebar-debar tidak tenang. Kemudian ia memutuskan untuk pergi ke luar kembali. Di lobi, ia tak melihat Lola. Sepertinya teman sekelas Daisy itu telah kembali ke kelas atau pergi ke kafe di samping falkultas. Yang mana pun Daisy benar-benar bersyukur semuanya tidak menjadi lebih besar lagi.
***
Stefani mengeluarkan ponsel tua yang didapatkannya belum lama ini. Ponsel yang sudah sedikit kusam tetapi masih berfungsi dengan baik itu ditimang-timang sebentar sebelum kemudian dinyalakan. Ia menyentuh aplikasi Whastapp, mencari nomor Mahardika yang akhirnya didapatkan dengan susah payah.
Pesannya sudah dikirim sejak kemarin. Selain itu juga sudah ada beberapa pesan lagi yang menanyakan apakah Mahardika telah sarapan dan sedang melakukan apa sekarang sebagai bentuk perhatian. Mahardika yang baik tentu akan membacanya jikalau tak sibuk nanti.
Tetapi, bukankah orang seperti Mahardika mengecek ponselnya sering sekali. Kenapa centang dua di pesan Stefani masih belum menjadi biru.
Stefani: Mas Dika sudah makan?
Diketiknya kembali pesan dan segeranya dikirim. Kali ini bukan cetang dua, tetapi satu. Ditambah lagi foto profil Mahardika tidak lagi muncul.
Rasanya Stefani ingin melempar ponselnya segera. Ia tahu tanda-tanda ini. Mahardika telah memblokir nomor ponselnya supaya tak bisa lagi menghubungi. Pasti ini adalah perbuatan Daisy. Bagaimana mungkin gadis yang hidupnya begitu bahagia tersebut tahu kalau dengan obrolan sedikit bersama Mahardika bisa membuat Stefani merasa bersemangat.
“Padahal aku hanya mau da menjawab pesan-pesanku saja,” gumam Stefani.
Ia keluar dari pesan Whatsapp dan memfokuskan pandangannya ke depan. Ia melihat beberapa mahasiswa dan mahasiswi sedang bercengkrama. Stefani merasa berada di tempat yang tidak seharusnya. Ia merasa dunia ini sama sekali tidak adil padanya.
“Memangnya apa yang bisa aku dapatkan kalau mengeluh?” bisik Stefani dengan menuangkan perasaan kekesalan tiada tara.
“Apalagi sekarang?”
Stefani mengangkat kepala dan melihat beberapa kakak kelasnya yang selalu bersikap baik padanya.
“Tidak ada!” jawab Stefani sambil tersenyum.
Azzam yang lebih dulu satu semester dari Stefani menjatuhkan diri di rerumputan sisi kanannya. Ia kemudian mencari sesuatu di dalam tas sandang dan kemudian menyodorkan minuman kaleng rasa stroberi pada Stefani.
“Kamu suka ini, kan?” tanya Azzam.
“Ya,” jawabnya menerima pemberian itu. “Terima kasih!”
Stefani bisa mendengar minuman kaleng itu berdesis ketika dibuka. Ia meneguknya sedikit dan merasakan sensai soda yang menyengat.
“Banyak tugas yang tidak kamu paham?” tanya Azzam.
Stefani mengeleng. “Semuanya masih bisa dikerjakan kok Kak. Kakak tidak ada kelas?”
“Sudah selesai!” Azzam menempelkan kaleng minuman ke bibirnya, meneguk isi di dalamnya sebelum memandang Stefani kembali. “Kamu ulang tahun, kan, minggu ini? Mau dirayakan?” tanya Azzam.
Stefani tidak pernah merayakan ulang tahunnya secara spesial. Sampai sekarang ia diperbolehkan mengundang beberapa teman ke ulang tahun Daisy yang selalu dirayakan dengan meriah. Stefani menaikan tas selempangnya di paha, mengambil undangan dan menyodorkan pada Azzam.
“Wah, ini pesta,” seru Azzam tak percaya.
“Bukan pesta saya, Kak. Kakak kenal dengan Daisy. Orang tua saya berkerja di tempatnya, jadi keluarga Daisy selalu memberikan undangan pada saya setiap tahun untuk mengundang teman. Karena kami lahir di hari yang sama.”
Ah, Stefani lupa tidak pernah benar-benar memberitahu orang lain tentang dirinya. Azzam pasti menyangka kalau Stefani anak keluarga kaya karena bisa kuliah di kampus ini. Tetapi, semua pekerja di rumah Daisy selalu diberikan fasilitas yang bagus. Kakaknya juga kuliah di tempat yang bagus dan kemudian dipekerjakan di perusahaan milik keluarga Agra.
“Maaf,” kata Stefani pelan.
“Untuk apa?” tanya Azzam sambil tersenyum tidak mengerti.
“Bukan apa-apa,” jawab Daysi sambil tertawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments