Kalau saja ku memiliki kehidupan seperti Daisy pasti menyenangkan. Stefani membatin sambil terus memperhatikan mobil Daisy yang menjauh pergi.
Ia melihat Daisy tumbuh sedari kecil. Ibu gadis itu meninggal ketika Daisy berumur lima tahun. Itu menjadi pukulan yang hebat untuk Daisy. Apalagi setelahnya orang tua yang tersisa membawa seorang wanita untuk dijadikan ibu baru baginya.
"Jangan pikirkan hal lain, sebaiknya aku bergegas!" gumam Stefani sambil mengenggam tali tas salempangnya erat-erat.
Jarak gerbang dan gedung fakultas tempat Stefani mengajar sekitar 2 kilo meter lebih. Sebenarnya ada bus yang beroperasi di dalam kampus, Stefani biasa naik bus itu. Tapi hari ini tak satu pun dari bus kampus yang melintas di sisinya.
Dari tepi jalan, gedung fakultas tempat ia belajar telah terlihat. Walau sudah tampak, gedung itu tetap saja kurang lebih 1 km jaraknya.
Stefani terlonjak kembali saat dihujani klakson dari belakang. Lagi-lagi Brian yang tadi hampir menyerempetnya.
Bukannya tadi dia sudah pergi lebih dulu? Kenapa dia malah ada di belakangku lagi?
"Sini! Ikut gue!" seru Brian setelah kepalanya muncul dari pintu sopir.
"Tidak usah, terima kasih!"
Ia tidak bisa membayangkan hal buruk apa lagi yang bisa dilakukan Brian padanya.
"Sini gue antar!"
Di telinga Stefani, permintaan Brian lebih terdengar seperti perintah. Stefani mengeleng.
"Terima kasih, Tuan Brian, falkultas saya sudah terlihat! Jadi, saya tidak perlu diantar," tolaknya dengan lebih halus.
"Cih, dasar cewek belagu!" Kepala Brian menghilang, sosok tubuhnya muncul utuh di depan setir.
Saat akan melaju, Stefani kembali dihadiahi sebuah klakson panjang yang membuatnya terlonjak dari trotoar dan hampir jatuh karena salah pijakan.
"Kenapa sih, benci sama aku?" gumam Stefani bertanya tidak paham.
Ia meneruskan perjalanannya. Sudah pukul 10 sekarang, ia sudah terlambat masuk kelas pertama.
***
Bahkan orang buta tahu kalau Brian suka pada Stefani.
Saat Daisy sampai di kantin kampus, pemuda bernama Brian itu tak terlihat. Di pakiran tadi mobil yang digunakan juga tidak ada. Daisy pikir Brian kemungkinan bersembunyi darinya.
"Dasar!" kata Daisy sambil mendengkus.
"Pagi Daisy!" Lola, yang duduk tepat di belakang Daisy menyapa. Ia menurunkan tasnya di atas kursi lalu duduk di ujungnya. Tubuh Lola condong ke depan, supaya bisa melihat sisi kanan wajah Daisy.
"Apa?" tanya Daisy, tak senang dengan tatapan mengharap yang didapatkan.
"Kenapa bawa mobil?"
"Kalau tidak bawa mobil, aku harus jalan kaki?"
"Yah, tidak!"
"Kalau begitu jangan tanya, Lola Sayang," ujar Daisy sambil tersenyum.
"Kalau kamu bawa mobil, kan, Mas Dika nggak kemari." Lola terdengar sedih. "Jangan salah sangka, aku tidak akan tebar pesona, oke? Hanya melihat yang indah-indah itu bisa menyehatkan tubuh!"
Daisy membuang napas kesal. "Lihat Brian nggak?"
Lola berpikir sebentar dan kemudian mengeleng. "Nggak! Kamu kan datang lebih dulu dariku. Kalau kamu saja tidak lihat, apalagi aku, Daisy."
"Bisa jadi kalian papasan di luar."
"Oh, kalau Brian aku lihat tadi." Maya, yang duduk di bagian depan dekat pintu menjawab. "Kayaknya di arah Falkultas Bahasa, deh!"
Wah, wah, wah! Si kanak-kanak itu tidak melepaskan buruannya ya?
"Makasih, May," ujar Daisy sambil tersenyum.
Benar saja, Brian masuk setelah ia mengucapkan terima kasih. Daisy berdiri, membawa ponselnya saja dan mendekati pemuda yang baru datang itu.
"Ikut aku sebentar!"
"Ah?" Brian berseru tidak terima.
Daisy melewatinya sedikit sebelum kemudian menarik kerah baju pemuda itu supaya menurut.
"Daisy, kamu nggak selingkuh sama Brian, kan? Aku laporin Mahardika ya?"
Lola pasti akan melakukan hal itu. Tidak ada satu pun dari teman-teman yang Daisy punya benar-benar menganggapnya teman. Mereka hanya memiliki hubungan simbiosis mutualisme saja.
"Laporkan saja! Aku memang harus bicara pada Brian!"
Brian kali ini tak berkata apa-apa. Ia melangkah di belakang Daisy. Wajahnya mengkerut tak sedap. Ia tak mau ikut, tetapi juga tak bisa menolak.
Sekilas Daisy bisa melihat Lola menyeringai senang saat melewati pintu kelas. Ia akan mengirim pesan pada Mahardika selepas ini. Ia memang yakin kalau Mahardika adalah pria berkepala dingin yang tidak akan mudah terhasut. Pesan yang dikirim untuk jaga-jaga, kalau-kalau saat Lola bicara Mahardika tengah berada di titik jenuhnya.
"Apa? Jangan bilang ini soal tadi!" Brian mendengus tidak terima. "Aku hanya membuatnya menyadari statusnya saja, kok!"
Daisy tertawa. "Menyadari status atau membuatnya sadar kalau kamu suka padanya?"
Brian berjengit kaget, tetapi dengan cepat ekspresinya itu berganti dengan kekesalan. Sepertinya orang tua Brian sudah mengajarinya untuk tidak menunjukkan kelemahan pada orang lain. “Jangan asal bicara!”
“Aku tidak asal bicara!” elak Daisy. Ia sudah memperhatikannya sejak lama. Sejak ia dan Brian satu jurusan di semester pertama. Sejak Brian datang ke rumahnya untuk pertama kali dan matanya terpaku pada Stefani yang mengantarkan minuman. “Aku tidak masalah dengan itu!”
“Tidak! Aku tidak suka padanya! Jangan asal bicara!”
Daisy menghela napas dalam. Ia tak bisa berbuat apa-apa jika Brian sama sekali tidak mau mengaku. Lagi pula ia tidak harus mengurus ini. Ia telah melihat asisten dosen berjalan mendekat, melirik ke arah mereka.
“Hanya anak-anak yang menganggu anak yang disukainya, Brian!”
Setelah mengatakan itu, Daisy meninggalkan Brian yang masih akan menyangkal perasaannya sendiri. Padahal mau Brian suka pada Stefani atau tidak, sama sekali tidak ada hubungannya dengan Daisy. Toh, dirinya akan tetap bersama Mahardika ke depannya.
“Jadi apa hasil perselingkuhanmu dengan Brian?” Lola yang duduk di belakang Daisy lagi-lagi ingin tahu.
“Tidak ada!” jawab Daisy.
Walau ia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini sejak kecil, tetap saja Daisy tak senang. Ia berharap memiliki privasinya sendiri. Akan tetapi, tidak ada yang namanya privasi. Karena kebanyakan orang-orang yang kemudian tahu apa yang dimiliki dan siapa dirinya tidak membiarkan semua itu terjadi.
“Benarkah! Tampangnya seperti orang yang kalah main,” selidik Lola.
Daisy sama sekali tidak memutar tubuhnya, membalas sapaan asisten dosen yang menyapa di depan pintu sebelum memberikan reaksi.
“Jangan urus apa yang bukan urusanmu Lola. Kamu tidak akan bisa mengikuti apapun!”
“Kenapa tidak, kalian memiliki kehidupan yang berbeda denganku. Ini seperti mengikuti artis.”
Daisy menyerah. Tidak ada yang harus dikatakannya lagi. Ia memang sudah terbiasa dengan semua ini. Cara menghadapi orang-orang yang merasa kehidupannya begitu menarik untuk diulik hanya menganggap mereka tidak ada.
“Yang di belakang, tolong kumpulkan tugas yang telah kita sepakati minggu kemarin. Serahkan pada saya saat akhir perkuliahan nanti!” seru Asisten Dosen. Mengakhiri obrolan Daisy dan Lola.
Daisy mengisi paru-parunya dengan udara, mengucapkan terima kasih karena sudah mendapatkan ketenangan untuk sementara waktu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
R.F
Semangat kak, 3 like hadir. like balike iya
2022-11-03
2