Kelopak matanya terbuka, ia menatap langit-langit yang menampilkan antariksa di atasnya. Beberapa saat yang hening, merasa damai. Ia duduk dan langsung disambut pantulan dirinya yang mengagumkan.
“Terima kasih sudah tetap cantik hari ini!”
Daisy ingat bahwa memulai hari dengan kalimat yang positif akan membuat sepanjang hari yang tersisa begitu menyenangkan. Ia turun dari ranjangnya yang nyaman, bertepuk tangan. Dua pelayan segera membuka pintu kamarnya, masuk dan tergesa-gesa membuka tirai-tirai lebar dari linen mengkilap di jendela kaca dekat balkon. Yang lainnya mendahului Daisy mencapai toilet memerikan segala jenis benda yang akan digunakannya untuk mandi.
“Siap?” tanya Daisya saat pelayan tersebut keluar.
“Ya, Nona muda!” jawab si pelayan dengan kepala tertunduk.
Daisya mengerucutkan bibirnya, tampak lucu, dan dengan langkah ringan menuju kamar mandi. Sebelum berdiri di shower, ia mengatur suhu air dengan punggung tangannya. Setelah merasa cukup, ditanggalkan seluruh pakaian. Sambil bersenandung Daisy menyelesaikan rutinitas paginya.
“Ah, bisa siapkan celana jins saja hari ini yang warna hitam, lalu bloues krem tampaknya bagus. Untuk aksesoriesnya pilih yang senada!” suruh Daisy saat duduk di depan meja rias. Pelayannya dengan sigap memoleskan make up ke wajahnya. “Aku cantik, kan?” tanya Daisy.
Pertanyaan yang sama setiap pagi dengan jawaban yang sama pula. “Tentu, Nona muda! Tidak ada yang secantik dan seanggun Anda!”
Daisy senang. Bibirnya yang kemerahan dan telah dipoles liptin merekah. Ia memandang wajahnya sendiri dan mengagumi pantulan bayangannya.
Ia memiliki mata belo, bulu mata yang lentik, serta alis yang tebal. Kulitnya putih, tetapi tak pucat, pipi yang penuh, dengan hidung mancung. Bibirnya mungil dan kecil. Setiap orang yang melihat selalu memujinya sempurna.
Setiap harinya datang beberapa pemuda ke rumahnya hanya untuk mengantarnya ke kampus. Akan tetapi, ia lebih memilih pergi sendiri. Sebab tak satu pun laki-laki itu sanggup menyaingi Mahardika, tunangannya.
“Cukup! Aku sudah puas dengan make up hari ini!” katanya menghentikan tambahan blush on di pipi.
“Baik, Nona muda!”
Suara benda kaca yang pecah di dalam ruangan yang sama dengannya membuat Daisy menoleh. Senyumnya yang terkembang tadi lekas menghilang. Lekas ia berdiri untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
“Maafkan saya, Nona muda!” Pelayan yang ditugasinya untuk menyiapkan pakaian gemetar di depan Daisy.
“Kamu mau mencurinya?”
“Tidak, Nona, mana saya berani!”
Daisy menaikan alis. Ia melirik ke arah ruang pakaian yang ada berlawanan arah dari letak vas kaca. Bagaimana pun si pelayan tergesa-gesa, vas kaca itu sama sekali tidak akan jatuh karena tersenggol.
“Apa dia pelayan baru?” tanya Daisy pada pelayan yang membantunya merias diri tadi.
“Ya, Nona muda. Pelayan yang biasanya sedang sakit, dan hanya dia yang sedang tidak bekerja tadi!”
“Keluarkan dia! Dia dilarang masuk ke dalam ruanganku lagi!” putus Daisy.
Ia melengos dan pergi ke ruang pakaian tempat seharusnya semua pakaiannya berada. Ia mendapati pakaian yang diminta ada di atas meja kaca. Ketika akan menuju ke sana, ia melewati rak aksesories dan menemukan dua kotak kosong.
“Dia masih bilang tidak mencuri!” gumamnya pelan.
Daisy memiliki segalanya. Ia juga mampu memberikan apa yang diinginkan kepada orang yang disukai. Tetapi, ia sama sekali tidak suka pada pencuri. Karena itu ia pasti akan memberikan hal yang paling diinginkan para pencuri itu.
***
Piring berisi makanan yang sudah disiapkan Stefani itu jatuh ke lantai. Isinya berserakan bersatu dengan pecahan.
“Ah ... sepertinya aku kurang kuat memegangnya, Kak,” kata Stefani pada kakak laki-lakinya yang kini sudah duduk di meja makan.
Pria yang tahun ini berusia 25 tahun tersebut mengangkat kepala, tampak tak bersemangat. “Ya, sudah, aku dan Bapak akan makan di luar,” katanya pada Stefani.
Kakak laki-laki Stefani yang bernama Nirwan tersebut berdiri, mengambil jaket jins yang tersampir di kursi lain dan kemudian keluar. Tak mengatakan apa-apa lagi pada Stefani.
Setelah tinggal sendirian, Stefani mengumpulakn pecahan piring dengan hati-hati. Tetapi, seberapa hati-hati dirinya tetap saja pecahan piring tersebut melukai tangannya. Ia terdiam melihat genangan darah diujung jarinya.
“Ini tak apa-apa,” katanya pada diri sendiri.
Dijentikan darah yang ada di ujung jari dan kembali ia membereskan kekacauan. Selesai dengan itu semua, ia bersiap untuk berangkat kuliah. Sudah hampir pukul sembilan, Stefani memiliki kelas pukul sepuluh.
Selesai bersiap, ia bergegas keluar rumah.
Stefani dan keluarganya tinggal di sebuah pavillun yang terpisah dari rumah utama. Keluarganya telah bekerja di rumah keluarga Aghra bahkan sebelum ia lahir. Ibunya adalah pelayan kesayangan keluarga Agrha dan ayahnya sejak masih kecil telah menjadi tukang kebun keluarga tersebut. Jadi ketika ibu dan ayahnya menikah, keluarga Aghra meminta mereka tinggal di paviliun belakang rumah yang berjumlah empat buah itu.
“Selamat pagi, Stefani!” Salah seorang pelayan yang bekerja di rumah yang sama menyapa Stefani yang tergesa-gesa berjalan di samping rumah. Di tangannya ada keranjang berisi sayuran segar, sepertinya baru saja menerima pengantaran bahan makanan.
“Selamat pagi, Bu Surti. Loh, barusan saya lihat Nirwan keluar dengan motor, kenapa tidak ikut dengan dia saja?”
Stefani tersenyum. “Tidak, Bu, soalnya Kakak tergesa-gesa. Kan jam ganti shift pukul sembilan, kalau nungguin saya nanti terlambat!”
Bu Surti mengangguk paham. Ia menatap sedih pada Stefani. Hal yang membuat dirinya sedikit risih. Tidak ada di dalam kehidupannya yang patut dikasihani. Apapun yang terjadi di dalam hidupnya adalah kesalahan dirinya.
“Kalau begitu saya berangkat, Bu,” katanya pamit.
Ia bergegas lari lagi ke depan, melintasi halaman yang luas. Sesat ia berhenti di tengah halaman, mendengar suara orang-orang yang sedang mengobrol, menjadi ingin tahu. Ia melihat putri majikan yang seusia dengannya, Daisy.
“Ingat, ya, jangan makan sembarangan!” Wanita di samping Daisy kembali bicara.
Tatapan Stefani dan Daisy bertemu sesaat, kemudian gadis cantik yang masih berdiri di teras itu memalingkan wajah. Stefani melakukan hal yang sama. Ia tak boleh berlama-lama. Tidak ada hal yang didapatkan jika melihat keluarga bahagia di depan pintu sana. Hanya akan ada rasa sakit yang dirasakan Stefani.
Aku sudah mendapatkan apa yang pantas aku dapatkan! Ia berkata pada dirinya sendiri di dalam hati. Lalu mulai berlari lagi.
Pintu gerbang telah terlihat sekarang. Peluh terbit di dahinya ketika ia menarik gerbang besi kecil di samping gerbang utama. Kemudian ia keluar. Perjalananya masih panjang untuk bisa mencapai bus yang akan mengantarnya ke universitas.
Baru saja akan menyeberang jalan, bunyi klakson yang membuat ruhnya terbang karena kaget terdengar. Ia menutup mata, menutup telinganya juga. Apa aku mati?
“Ada apa?”
Wanita yang dengan gaya memuakan itu kembali bertanya pada Daisy. Ia kembali menoleh ke arah wanita itu, tersenyum. “Tidak apa-apa, Ma. Kalau begitu Daisy pergi dulu!” pamitnya basa-basi.
“Ingat, ya, Papa pulang hari ini! Jadi pastikan untuk sampai di rumah sebelum makan malam!” Wanita yang dipanggilnya Mama tetapi sama sekali tidak melahirkan apa lagi membesarkannya itu berseru saat Daisy melangkah turun di tangga.
Ia tak berbalik, atau pun menoleh. Hanya berkata, ya, dan melanjutkan langkahnya menuruni undakan. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, ia sampai di halaman dan berbelok. Saat itulah ia biasa menoleh untuk tahu apa yang tengah dilakukan oleh wanita yang terus-terusan menyebut dirinya mama itu.
Tidak ada. Wanita yang menyebut dirinya mama tersebut sudah tidak ada. Untuk apa orang itu menunggu sampai Daisy sampai ke atas mobil dengan aman. Itu bukan tugas dari seorang ibu tiri.
“Berani-beraninya dia menyebut dirinya Mama setiap kali berada di dekatku,” gumam Daisy pelan. Ia menyentak pintu mobil dan kemudian naik.
Hari ini tidak ada teman kampusnya dengan jenis kelamin laki-laki yang datang menjemput dan berbasa-basi untuk mengantarnya ke kampus. Ia meminta Mahardika untuk datang ke kampus kemarin.
Tentu saja Mahardika datang ke kampus. Ia membawa serta mobil Chevrolet yang baru saja diganti. Setelah jas yang mewah dengan jam tangan bermerek yang harganya bisa menghidupi satu keluarga normal.
Mahardika memang tidak bisa digolongkan memiliki ketampanan layaknya dewa yunani. Ia juga tak seatletis binaragawan. Tetapi apapun yang dikenakan oleh Mahardia pas di tubuh. Rambut gelapnya yang dipotong taper fade, terlihat paling cocok dengan bentuk wajahnya. Mahardika berhidung mancung, dengan kulit sawo matang. Garis-garis rahangnya tegas. Dari luar saja, bisa terlihat kalau ia juga suka berolahraga. Kalau tersenyum samar-samar akan timbul lesung di pipi kanannya. Jika tak begitu dekat dengannya, maka tak akan memiliki kesempatan untuk melihat lesung tersebut karena Mahardika jarang sekali tertawa di sekitar orang-orang yang baru ditemui.
“Jangan bersikap kekanak-kanakan, Daisy!” Mahardika sempat mengucapkan hal itu padanya kemarin.
Tetapi hanya sampai di sana, Mahardika tetap mengantar Daisy sampai di rumah dengan selamat. Bahkan memberikan ciuman di kedua pipinya.
Mahardika adalah sosok tunangan sempurna untuk Daisy. Entah pria itu mencintainya atau tidak. Tetapi Daisy yakin kalau Mahardika tidak akan melakuinya.
Daisy menginjak pedal gas perlahan, melaju di halaman rumah menuju pintu pagar. Seharusnya pagar utama terbuka seketika saat ia telah berada di jarak sekitar 10 meter saja. Sehingga saat jarak depan mobil dan besi pagar 0, maka tidak ada halangan lagi buatnya untuk melaju.
Kali ini jangankan pintu pagar yang terbuka, satpam yang seharusnya berjaga dan bertugas menekan tombol otomatis pintu saja tidak ada.
Daisy menurunkan kaca mobil, memeriksa kalau-kalau satpam akan berlari ke arah mobilnya dan menyuarakan permintaan maaf. Detik-detik berlalu dengan cepat, tetapi tak ada siapapun yang berlari kecil menghampirinya. Samar-samar Daisy mendengar teriakan dan makian.
“Apalagi ini?” tanya Daisy.
Ia memutuskan turun dari kendaraannya dan berjalan ke arah pos satpam. Suara perseteruan itu semakin jelas terdengar. Ia menuju pagar samping dan menemukan Stefani jatuh terduduk di tepi jalan. Sementara seorang lelaki yang dikenal Daisy dan gadis yang jatuh sedang cekcok dengan satpam.
“Ada apa ini?”
Daisy tak tahan dengan drama yang akan semakin lama dan panjang itu. Ia akan datang sebagai penengah.
“Selamat pagi, Nona Muda!” Pak Satpan menyapa Daisy penuh hormat dan melayangkan pandangan kesal pada pemuda yang melakukan hal sama.
“Pagi, Daisy!”
Si gadis yang terduduk berusaha berdiri.
“Tetap duduk!” suruh Daisy yang kemudian memfokuskan diri melihat kedua orang dengan jenis kelamin sama di depannya. “Kalian belum beritahu padaku apa yang terjadi,” tegur Daisy.
“Begini Nona Muda, saya sedang menjaga di gerbang saat Stefani keluar dan mau menyeberang lalu tiba-tiba mobil ini melajukan kendaraannya dan merem tempat di depan Stefani sambil menekan klakson. Jadi saya buru-buru keluar untuk bantuin!”
Secara garis besar Daisy paham betul dengan apa yang coba dijelaskan oleh Satpam rumahnya itu.
“Kalau kamu Brian, ada sesuatu yang kamu katakan bukan?”
Daisy melirik teman kuliahnya Brian. Pemuda ini memang selalu saja cari masalah dengan Stefani. Benar-benar hanya cari masalah dan tidak berusaha menyelesaikannya.
“Dia saja yang tidak punya mata, langsung menyeberang tanpa lihat!”
Lihatlah bagaimana pria bernama Brian ini berseru menuduh padahal ada saksi mata netral di sini. Kalau tidak ada satpam, maka Daisy akan membiarkan saja hal ini. Toh, Brian tetap tidak akan berhenti menganggu bagaimana pun ia memperingatkan.
“Kalau begitu besok-besok jangan bawa mobil dan pakai sepeda saja ke kampus. Bagaimana mungkin kamu melaju dengan cepat di sini! Mau bunuh orang?” Mata Daisy terbelalak.
Bibir Brian mengerut, tanda ia tidak senang. Ia menatap Stefani yang masih duduk dan kemudian memalingkan wajah.
“Kamu bisa berdiri tidak?” tanya Daisy pada Stefani.
Ia benar-benar tak mau berurusan dengan Stefani. Ia hanya merasa aneh saja, jika berada di dekat Stefani seolah-olah apapun yang dimiliki akan direbut gadis itu.
“Ya!” jawab Stefani yang kemudian berusaha berdiri tetap jatuh lagi.
“Pak, tolong bantu dia ke mobil saya. Biar dia berangkat dengan saya!” suruhnya.
Stefani menegerjap tak percaya karena ia diberikan tumpangan.
“Apa?” tanya Daisy.
“Ti-dak!” Gadis itu mengeleng lekas.
Daisy melirik Brian yang masih merungut. “Kita akan bicara nanti di kampus. Aku menginginkan penjelasan perbuatanmu dan kenapa kamu datang kemari!” tegasnya sebelum melengang kembali ke mobilnya yang masih ada di dalam pagar.
Brian menghentakan kakinya dan kembali ke mobilnya sendiri. Tak lama kendaraan pria itu telah melaju lebih dulu. Daisy menunggu beberapa saat sampai gerbang terbuka sempurna di depannya dan menekan pedal gas untuk melaju di jalanan.
“Kamu benar-benar sangat suka menarik perhatian, ya?” ujar Daisy pada Stefani.
Dari kaca spion tengahnya, Daisy bisa melihat wajah Stefani yang kemudian menjadi panik. “Tidak, Nona Muda! Mana berani saya melakukan hal itu,” elaknya.
Daisy mencebik. Kembali fokus pada jalanan di depannya. Ia tidak perlu mencemaskan Stefani dan apapun yang terjadi pada gadis itu. Toh, hubungan mereka hanya sebatas nona dan anak pelayan saja.
“Kamu mau aku turunkan di mana?” tanya Daisy pada Stefani.
Gadis itu memegang erat-erat sabuk pengaman. Padahal laju mobil Daisy sama sekali tidak kencang.
“Di depan gerbang kampus saja, Nona Muda,” jawab Stefani.
“Kamu yakin?”
Stefani mengangguk keras sekali sampai-sampai Daisy takut kalau kepala gadis itu akan bergulir jatuh ke bawah kakinya.
“Baiklah!” kata Daisy.
Ia semakin memelankan laju mobil dan berhenti di tepi jalan sedikit masuk ke dalam gerbang kampus. Beberapa mahasiswa yang berjalan kaki melirik sebentar karena pensaran, tetapi rasa pensaran itu lekas lenyap. Hari telah hampir jam sembilan.
“Stefani!”
Daisy tak tahu apakah ia berhak berkata seperti ini. Hubungannya dengan Stefani tak lebih dari sekedar seorang noda dan anak pelayan. “Berhati-hatilah pada Brian!” katanya sebelum melaju kembali mengejar jam kuliahnya sendiri.
Ia bisa melihat Stefani berdiri di tempat diturunkan dari kaca spion. Entah apa yang ditunggu gadis itu di sana.
Kalau saja ku memiliki kehidupan seperti Daisy pasti menyenangkan. Stefani membatin sambil terus memperhatikan mobil Daisy yang menjauh pergi.
Ia melihat Daisy tumbuh sedari kecil. Ibu gadis itu meninggal ketika Daisy berumur lima tahun. Itu menjadi pukulan yang hebat untuk Daisy. Apalagi setelahnya orang tua yang tersisa membawa seorang wanita untuk dijadikan ibu baru baginya.
"Jangan pikirkan hal lain, sebaiknya aku bergegas!" gumam Stefani sambil mengenggam tali tas salempangnya erat-erat.
Jarak gerbang dan gedung fakultas tempat Stefani mengajar sekitar 2 kilo meter lebih. Sebenarnya ada bus yang beroperasi di dalam kampus, Stefani biasa naik bus itu. Tapi hari ini tak satu pun dari bus kampus yang melintas di sisinya.
Dari tepi jalan, gedung fakultas tempat ia belajar telah terlihat. Walau sudah tampak, gedung itu tetap saja kurang lebih 1 km jaraknya.
Stefani terlonjak kembali saat dihujani klakson dari belakang. Lagi-lagi Brian yang tadi hampir menyerempetnya.
Bukannya tadi dia sudah pergi lebih dulu? Kenapa dia malah ada di belakangku lagi?
"Sini! Ikut gue!" seru Brian setelah kepalanya muncul dari pintu sopir.
"Tidak usah, terima kasih!"
Ia tidak bisa membayangkan hal buruk apa lagi yang bisa dilakukan Brian padanya.
"Sini gue antar!"
Di telinga Stefani, permintaan Brian lebih terdengar seperti perintah. Stefani mengeleng.
"Terima kasih, Tuan Brian, falkultas saya sudah terlihat! Jadi, saya tidak perlu diantar," tolaknya dengan lebih halus.
"Cih, dasar cewek belagu!" Kepala Brian menghilang, sosok tubuhnya muncul utuh di depan setir.
Saat akan melaju, Stefani kembali dihadiahi sebuah klakson panjang yang membuatnya terlonjak dari trotoar dan hampir jatuh karena salah pijakan.
"Kenapa sih, benci sama aku?" gumam Stefani bertanya tidak paham.
Ia meneruskan perjalanannya. Sudah pukul 10 sekarang, ia sudah terlambat masuk kelas pertama.
***
Bahkan orang buta tahu kalau Brian suka pada Stefani.
Saat Daisy sampai di kantin kampus, pemuda bernama Brian itu tak terlihat. Di pakiran tadi mobil yang digunakan juga tidak ada. Daisy pikir Brian kemungkinan bersembunyi darinya.
"Dasar!" kata Daisy sambil mendengkus.
"Pagi Daisy!" Lola, yang duduk tepat di belakang Daisy menyapa. Ia menurunkan tasnya di atas kursi lalu duduk di ujungnya. Tubuh Lola condong ke depan, supaya bisa melihat sisi kanan wajah Daisy.
"Apa?" tanya Daisy, tak senang dengan tatapan mengharap yang didapatkan.
"Kenapa bawa mobil?"
"Kalau tidak bawa mobil, aku harus jalan kaki?"
"Yah, tidak!"
"Kalau begitu jangan tanya, Lola Sayang," ujar Daisy sambil tersenyum.
"Kalau kamu bawa mobil, kan, Mas Dika nggak kemari." Lola terdengar sedih. "Jangan salah sangka, aku tidak akan tebar pesona, oke? Hanya melihat yang indah-indah itu bisa menyehatkan tubuh!"
Daisy membuang napas kesal. "Lihat Brian nggak?"
Lola berpikir sebentar dan kemudian mengeleng. "Nggak! Kamu kan datang lebih dulu dariku. Kalau kamu saja tidak lihat, apalagi aku, Daisy."
"Bisa jadi kalian papasan di luar."
"Oh, kalau Brian aku lihat tadi." Maya, yang duduk di bagian depan dekat pintu menjawab. "Kayaknya di arah Falkultas Bahasa, deh!"
Wah, wah, wah! Si kanak-kanak itu tidak melepaskan buruannya ya?
"Makasih, May," ujar Daisy sambil tersenyum.
Benar saja, Brian masuk setelah ia mengucapkan terima kasih. Daisy berdiri, membawa ponselnya saja dan mendekati pemuda yang baru datang itu.
"Ikut aku sebentar!"
"Ah?" Brian berseru tidak terima.
Daisy melewatinya sedikit sebelum kemudian menarik kerah baju pemuda itu supaya menurut.
"Daisy, kamu nggak selingkuh sama Brian, kan? Aku laporin Mahardika ya?"
Lola pasti akan melakukan hal itu. Tidak ada satu pun dari teman-teman yang Daisy punya benar-benar menganggapnya teman. Mereka hanya memiliki hubungan simbiosis mutualisme saja.
"Laporkan saja! Aku memang harus bicara pada Brian!"
Brian kali ini tak berkata apa-apa. Ia melangkah di belakang Daisy. Wajahnya mengkerut tak sedap. Ia tak mau ikut, tetapi juga tak bisa menolak.
Sekilas Daisy bisa melihat Lola menyeringai senang saat melewati pintu kelas. Ia akan mengirim pesan pada Mahardika selepas ini. Ia memang yakin kalau Mahardika adalah pria berkepala dingin yang tidak akan mudah terhasut. Pesan yang dikirim untuk jaga-jaga, kalau-kalau saat Lola bicara Mahardika tengah berada di titik jenuhnya.
"Apa? Jangan bilang ini soal tadi!" Brian mendengus tidak terima. "Aku hanya membuatnya menyadari statusnya saja, kok!"
Daisy tertawa. "Menyadari status atau membuatnya sadar kalau kamu suka padanya?"
Brian berjengit kaget, tetapi dengan cepat ekspresinya itu berganti dengan kekesalan. Sepertinya orang tua Brian sudah mengajarinya untuk tidak menunjukkan kelemahan pada orang lain. “Jangan asal bicara!”
“Aku tidak asal bicara!” elak Daisy. Ia sudah memperhatikannya sejak lama. Sejak ia dan Brian satu jurusan di semester pertama. Sejak Brian datang ke rumahnya untuk pertama kali dan matanya terpaku pada Stefani yang mengantarkan minuman. “Aku tidak masalah dengan itu!”
“Tidak! Aku tidak suka padanya! Jangan asal bicara!”
Daisy menghela napas dalam. Ia tak bisa berbuat apa-apa jika Brian sama sekali tidak mau mengaku. Lagi pula ia tidak harus mengurus ini. Ia telah melihat asisten dosen berjalan mendekat, melirik ke arah mereka.
“Hanya anak-anak yang menganggu anak yang disukainya, Brian!”
Setelah mengatakan itu, Daisy meninggalkan Brian yang masih akan menyangkal perasaannya sendiri. Padahal mau Brian suka pada Stefani atau tidak, sama sekali tidak ada hubungannya dengan Daisy. Toh, dirinya akan tetap bersama Mahardika ke depannya.
“Jadi apa hasil perselingkuhanmu dengan Brian?” Lola yang duduk di belakang Daisy lagi-lagi ingin tahu.
“Tidak ada!” jawab Daisy.
Walau ia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini sejak kecil, tetap saja Daisy tak senang. Ia berharap memiliki privasinya sendiri. Akan tetapi, tidak ada yang namanya privasi. Karena kebanyakan orang-orang yang kemudian tahu apa yang dimiliki dan siapa dirinya tidak membiarkan semua itu terjadi.
“Benarkah! Tampangnya seperti orang yang kalah main,” selidik Lola.
Daisy sama sekali tidak memutar tubuhnya, membalas sapaan asisten dosen yang menyapa di depan pintu sebelum memberikan reaksi.
“Jangan urus apa yang bukan urusanmu Lola. Kamu tidak akan bisa mengikuti apapun!”
“Kenapa tidak, kalian memiliki kehidupan yang berbeda denganku. Ini seperti mengikuti artis.”
Daisy menyerah. Tidak ada yang harus dikatakannya lagi. Ia memang sudah terbiasa dengan semua ini. Cara menghadapi orang-orang yang merasa kehidupannya begitu menarik untuk diulik hanya menganggap mereka tidak ada.
“Yang di belakang, tolong kumpulkan tugas yang telah kita sepakati minggu kemarin. Serahkan pada saya saat akhir perkuliahan nanti!” seru Asisten Dosen. Mengakhiri obrolan Daisy dan Lola.
Daisy mengisi paru-parunya dengan udara, mengucapkan terima kasih karena sudah mendapatkan ketenangan untuk sementara waktu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!