Stefani benar-benar ingin merasakannya saat memakai gaun yang indah. Juga pernak-pernik yang tak pernah dimilikinya. Rasanya pasti sangat menyenangkan. Seperti saat para pelayan yang terpana melihat dirinya.
“No-na, apakah aksesorisnya tidak terlalu banyak?” Raise yang menunggu di bawah tangga langsung bertanya begitu Stefani menjejakan kaki di lantai bawah.
“Terlalu banyak?” Alis Stefani terangkat. Berani sekali seorang pelayan seperti Raise mempertanyakan apa yang sedang digunakan. “Ini bahkan malah kurang!” kata Stefani dengan angkuh.
Raise masih memang Stefani dengan cara yang aneh untuk beberapa saat dan kemudian menegakan tubuhnya lagi dan memandu Stefani ke ruang makan.
“Selamat pagi, Ma, Pa!”
Gerakan orang-orang yang duduk saling berhadapan di ruang makan itu terhenti. Stefani tidak tahu kenapa. Yang jelas dirinya sudah melakukan apa yang dipikirnya akan dilakukan Daisy pada pagi ini.
“No-na?” Raise tergagap bicara, tetapi tak melanjutkan apa yang mau dikatakannya.
Stefani hanya tertawa kecil, dengan langkah pasti ia berjalan ke tengah ruangan, ke sisi mama tiri Daisy dan menunggu sampai pelayan lain di ruang makan ini membantunya untuk duduk. Kemudian tak lama pancake yang dimintanya pada Raise tadi telah diletakan di depannya, beserta segelas susu dan jus jeruk.
“Apa kamu baik-baik saja, Daisy?”
Papa Daisy bertanya pada Stefani yang ada di dalam tubuh anaknya.
Dalam pandangan Stefani Daisy selalu tampak riang, ramah, dan menjawab semua hal dengan pasti. Di setiap kesempatan ia juga selalu jadi penengah atau pahlawan walau tampak tidak suka menjadi pusat perhatian. Daisy yang seperti itu selalu diinginkan Stefani menjadi dirinya.
“Ya, memang apa yang terjadi padaku?”
Stefani tidak paham dengan tatapan penuh heran yang ditujukan padanya oleh semua orang. Ia memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu sekarang terlebih dahulu dan fokus pada apa yang akan dikerjakannya.
“Aku akan menghubungi dokter keluarga untuk memeriksamu hari ini!”
“Eh?” seru Stefani heran. “Tapi, aku baik-baik saja, Pa,” katanya dengan merengek.
Ia pernah melihat Daisy melakukan hal ini seewaktu kecil ketika tidak suka pada apa yang akan diterimanya.
“Tidak! Kamu harus diperiksa, kondisimu sangat aneh!” Papanya Daisy berkata dengan tegas setelah itu mengelap mulutnya dengan serbet. “Kamu bisa libur kuliah hari ini!” tambah pria itu.
Stefani masih cemberut. Padahal ia ingin bertemu Mahardika. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan pria itu pada dirinya. Maksudnya sekarang Stefani bebas berlaku manja sebagai diri Daisy. Pastinya Mahardika tidak akan bersikap dingin padanya seperti ia menjadi dirinya sendiri dulu.
“Tapi, aku harus bersabar. Toh, tidak ada yang akan mengangguku sekarang!”
Baiknya pengakuan cinta Stefani sudah membuat dirinya dijauhkan dari Daisy. Saat sekarang ia ada di tubuh Daisy, Stefani yakin kalau Daisy yang asli ada di tubuhnya. Mereka tidak akan bisa bertemu dalam waktu dekat.
Raise bilang saat membantunya memakai semua aksesoris yang dipilih tadi, Stefani berusaha masuk ke kamarnya.
Stefani sepertinya masih menganggap dirinya Daisy saat terbangun di pavilliun dan merasa heran lalu memutuskan ke kamarnya. Stefani saat itu masih tidur. Kalau sudah terbangun, ia pasti akan mengintip bagaimana ekspresi Daisy yang menjadi dirinya diusir dari rumah.
“Ah, aku ingin melihatnya, tetapi tidak mau bertemu dengannya.”
“Ada sesuatu, Nona?” Tiba-tiba Stefani mendengar suara Raise yang bertanya.
Ia lupa kalau Raise berada di sampingnya dan menunggu.
“Tidak ada. Pancakenya enak!” kata Stefani tersenyum lebar.
Sekali lagi Stefani yang kini berada di tubuh Daisy mendapatkan tatapan heran dari orang lain. Ia ingin bertanya, tetapi tahu kalau sebaiknya mengabaikan hal itu.
“Anda membuat saya terkejut, Nona, kalau boleh saya berkata Anda terlalu terang-terangan kali ini!” kata Raise menjelaskan kenapa ia terlihat terkejut.
Akan tetapi, Daisy sama sekali tidak mengerti tentang apa pembahasan ini. Ia mengingatkan dirinya kalau tidak boleh seperti Stefani saat bersama seseorang yang mengenal Daisy. Ia harus menjadi Daisy sekarang. Sayangnya ia tidak tahu banyak segala sesuatu menyangkut cara bertindak Daisy.
“Aku hanya melakukan apa yang kuinginkan,” jawab Stefani dengan sedikit cemas.
“Jika Anda ingin menganggu Nyonya, bukankan sebaiknya Anda melakukan semua hal seperti biasa?”
Stefani masih tidak paham dengan pembicaraan Raise. Tapi, ia mengatakan pada dirinya untuk tidak memikirkan apa-apa.
***
“Pastikan kalau dia tidak keluar rumah!” Ibnu berhenti beberapa langkah di depan pintu keluar dan kemudian memutar tubuhnya sedikit dan menatap Aida.
“Ya, baiklah! Tapi aku suka dengan dia yang memandang kita dengan ceria!” kata Aida riang.
Ibnu tidak menjawab dan melanjutkan langkahnya. Hanya saja ia tidak merasa kalau sedang melihat putrinya saat ini. Daisy adalah anak yang tenang dan logis, walau selalu meledak jika sudah menyangkut Aida. Ia bisa menilai segala sesuatu dengan baik sampai saat ini. Jadi jarang memperlihatkan kesan kalau tidak suka pada ibut tirinya. Namun, putrinya bersikap sangat baik, tersenyum riang, dan menyapa mereka dengan begitu ramah di dalam rumah ketika orang-orangnya berada di sekitarnya nyaris mustahil.
“Mungkin saja kepalanya terbentur kemarin,” gumam Ibnu.
“Apa kamu bilang sesuatu?” Aida menelengkan kepala.
Ibnur mengeleng sebagai jawaban. Ia telah sampai di mobil, sopirnya telah membukakan pintu. Jadi diberikan kecupan untuk Aida sebelum pergi ke kantor. “Ingat pesanku,” katanya pada Aida.
“Jangan biarkan Daisy pergi keluar rumah! Oke!”
“Dia harus diperiksa dahulu oleh Dokter, aku akan menelepon dokter dan Mahardika dalam perjalanan ke kantor. Daisy tidak akan mematuhimu, tetapi pasti akan mendengarkan Mahardika.”
Aida mengangguk-angguk sekali lagi. Kemudian ia tetap berdiri di sana sampai mobil menghilang.
***
Aida ingat bagaimana mata Daisy yang melotot kaget begitu papanya memperkenalkan Aida di pesta ulangtahun gadis itu yang ke 9, hanya beberaa bulan setelah ibu gadis itu meninggal. Tatapan tak percaya sekalgus marah.
Saat itu Aida ingin berkata: Hei, ibumu sudah mati, Nak, kenapa kamu juga ingin membunuh ayahmu yang masih hidup?
Tatapan itu selalu ia temukan dari hari ke hari bertumbuh dengan pelan dan baik. Padahal seharusnya Aida yang harus menatap gadis itu demikian. Tatapan marah karena ia tak bisa memiliki cinta yang sebenarnya dari Ibnu.
Setelah menikah, ia tahu kalau Ibnu sangat mencintai putri dan mendiang istrinya. Itulah yang membuat Ibnu kemudian memutuskan untuk sterilisasi. Hanya satu putri saja, sudah cukup, begitu Ibunu memberitahu Aida dahulu saat ia bertanya kenapa harus melakukan itu.
Aida menghela napas dalam, menoleh pada gadis cantik yang entah kenapa aneh hari ini.
“Apa kamu sedang merencanakan untuk mengusirku lagi? Setelah berusaha mengabaikanku, bersikap jahat, atau terang-terangan mengusir, kamu ingin mengusirku dengan cara baru?” tanya Aida.
Ia kemudian meninggalkan ambang pintu ruang makan segera, sebelum dipergoki Daisy sedang mengintip.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments