Mahardika terpaku, menatap Daisya yang cantik dengan air mata mengantuk di bulu matanya. Lalu pandangannya beralih pada Stefani yang terkejut dengan tamparan dan kini wajahnya memerah terluka, merasa disakiti.
Saat Mahardika akan bertanya pada Daisy apakah tangannya tidak sakit, gadis cantik dengan gaun yang indah itu berputar dan dengan langkah kaki yang tergesa-gesa berlari melintasi taman. Bunga-bunga yang ditata begitu cantik di sisi kiri dan kanan jalan setapak bergoyang karena angin saat Daisy berlari.
“Sudah kubilang jangan lancang!” kata Mahardika sambil mengusap wajahnya kembali.
“Tapi, Mas Dika tidak cinta pada Daisy, kan?” Stefani masih saja bersikukuh dengan perasaannya.
Ia tak mengerti kenapa gadis ini sama sekali tidak tahu tempatnya. Memang apa yang sudah dilakukan Mahardika sehingga Stefani menganggap kalau ia pantas melakukan semua ini.
“Apakah aku harus memberitahu padamu apa yang kurasakan! Kamu benar-benar lancang!” seru Mahardika sekali lagi, menegaskan kalau apa yang diperbuat Stefani sama sekali tidak seharusnya diperbuat wanita itu.
“MAS DIKA!” teriak Stefani di belakangnya memanggil.
Mahardika tetap melangkah. Ia bahkan tidak menoleh untuk melihat bagaimana ekspresi Stefani sekarang. Ia sampai di pintu samping tempat para pelayan yang bekerja di rumah ini berdiri, memandangnya dengan terheran-heran.
“Apa kalian lihat ke mana Nona Daisy tadi?” tanya Mahardika.
Tergopoh-gopoh asistennya yang dibawa serta kemari menghampiri, menerima laptopnya yang disodorkan, dan bersama dengan para pelayan yang bergerombol menatapnya dengan terheran-heran.
“Mungkin naik ke kamarnya, Tuan muda!” kata salah satu pelayan mewakili yang lainnya.
“Terima kasih,” kata Mahardika sambil setengah berlari ke arah anak tangga di tengah ruangan.
Anak tangga yang lebar dan melengkung itu menuju ke lantai dua. Kamar Daisy ada di sisi kanan, menghadap ke depan rumah. Balkonnya sendiri menghadap ke kolam renang.
Beberapa pelayan berada di lorong di depan kamar Daisy, tampak khawatir dan lekas menghindar saat Mahardika mendekat untuk melewati mereka.
“Nona ada di dalam?” tanya Mahardika kembali.
Pelayang yang paling dekat dengan dirinya mengangguk. “Ya, Tuan Muda!”
Mereka tanpa bicara banyak mulai mundur dari lorong, membiarkan Mahardika sendirian. Diketuknya pintu oleh Mahardika. Harusnya hal ini tidak terjadi hari ini.
“Daisy! Maukah kamu mendengarkanku?”
Tidak ada sahutan. Malahan mahardika lebih suka kalau Daisy mengamuk, menangis, memakinya sebagai tukang selingkuh dibandingkan seperti ini. Sekali lagi diketuknya pintu bercat putih dan sedikit rona merah jambu itu. Masih saja sesepi ketukan awal.
“Aku tidak tahu kenapa dia berani melakukan hal seperti itu, Daisy. Tapi, sungguh, ini tidak seperti yang kamu pikirkan,” terang Mahardika.
Samar-samar Mahardika mendengar langkah kaki dari dalam kamar. Ia mundur selangkah dari pintu, menunggu. Pintu terayun dan Daisy dengan wajah memerah dengan cantik berdiri di sana, bersama gaunnya.
“Aku bahkan tidak bisa melemparkan diri ke atas ranjang karena takut merusak riasan dan gaunku,” keluh gadis itu dengan suara serak.
Pikir Mahardika tidak baik berbicara di depan pintu seperti ini. “Apa boleh aku masuk ke dalam?” tanya Mahardika dengan hati-hati.
Daisy agak terkejut, tetapi tanpa menjawab ia memberikan jalan supaya Mahardika bisa masuk ke kamarnya. Ia menunggu di pintu sebentar, melongo untuk memeriksa orang-orang yang tampak tertarik dan menutup pintu.
“Kamarmu sangat nyaman, Daisy.”
Mahardika bisa melihat kalau gadis itu tersipu sedikit, tetapi sama sekali tidak melongarkan kewaspadaannya. Itu bagus. Karena tidak ada manusia yang benar-benar bisa dipercaya. Daisy juga tidak boleh percaya pada Mahardika.
“Jadi, apa yang mau kamu terangkan padaku, Mas Dika?”
Gadis itu bersedekap dengan hati-hati, tanpa membuat kusut lipatan kecil yang dibuat para penjahit di dadanya.
“Seperti yang aku katakan, aku sama sekali tidak tahu kenapa Stefani seperti itu,” kata Mahardika mengulang apa yang dikatakan tadi di luar pintu.
Daisy menaikan bahunya, bersikap seolah tak peduli sekarang. Padahal tadi, Daisy tampak seperti binatang buas yang terluka, sangat ingin meluapkan amarah.
“Tapi, Mas Dika menangapinya, bukan?”
Ah, benar, itulah yang membuat Daisy marah. Karena Mahardika membiarkan Stefani lama-lama di sana. Seharusnya ia meninggalkan Stefani begitu saja, tanpa menangapi.
“Aku memang terlalu lunak padanya. Tapi, kupikir karena dia salah paham,” kata Mahardika. “Ini tidak akan terulang lagi, Daisy, sungguh!”
Daisy memandang Mahardika dengan saksama. “Apa Mas Dika suka pada dia?”
Mahardika terkejut dengan pertanyaan Daisy. Suka? Tidak, ia hanya merasa kasihan saja pada Stefani tidak lebih.
“Tidak bisa dibilang begitu. Aku kasihan padanya. Tetapi, sepertinya rasa kasihanku membuat dia salah paham.”
Daisy seolah sudah menduga jawaban Mahardika. Ia tahu Daisy pintar. Itu hal pertama yang membuat Mahardika menyetujui pertunangan dengan Daisy. Hubungan mereka tidak bisa disebut jatuh cinta pada pandangan pertama, tetapi Mahardika tahu kalau rasa ketertarikannya pada Daisy semakin lama semakin kuat.
“Aku akan menjelaskan padanya dengan jelas, sungguh.”
“Tidak!” Daisy mengeleng.
Mahardika ingin tahu dari mana keberanian untuk mengenggam tangannya yang dimiliki Daisy saat ini berasal. Tangan gadis ini hangat, membuat Mahardika nyaman, jantungnya jadi berdebar-debar.
“Jangan jelaskan apapun padanya, aku mohon!”
Bukankah jika tidak dijelaskan pada Stefani maka gadis itu hanya akan semakin salah paham? Tetapi, jika Daisy sudah memintanya seperti ini, tidak ada alasan untuk Mahardika untuk menolak.
“Kalau begitu aku akan menghindar,” kata Mahardika sambil balas mengenggam jemari Daisy.
Blush on di pipi gadis itu semakin memerah, ia menunduk malu-malu. “Berlarilah seperti kamu akan bertemu hantu jika mendekatinya.”
“Ya, aku janji!” kata Mahardika.
Mungkin ia terlalu menganggap Daisy sebagai gadis dewasa. Nyatanya gadis yang tampak begitu tegar ini sama saja seperti yang lain, manis, rapuh, mengemaskan.
“Apakah pesta ulangtahunnya akan dilanjutkan?” tanya Mahardika sedikit mengoda.
Daisy cemberut. “Mana mungkin dihentikan! Ada banyak orang yang akan kecewa.”
“Kalau begitu, biar aku mendapatkan kesempatan pertama untuk mengucapkan selamat ulangtahun padamu.” Mahardika maju, mengecup dahi Daisy lembut. Lalu ia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan kotak kecil yang manis. “Selamat ulang tahun, ini untukmu, sama seperti dirimu.”
Mahardika pasti melakukan hal yang benar, karena rona merah yang ada di pipi Daisy kembarli ada. Mata gadis itu juga berkaca-kaca. Kotak kecil yang diserahkan Mahardika digenggam Daisy dengan sangat erat.
“Terima kasih.”
“Aku akan menunggu di luar, sembunyikan ini di tempat yang aman ya?” Mahardika mengedip, padahal bukan gayanya untuk mengoda seperti itu.
Hanya saja ia masih ingin melihat rona merah di pipi Daisy lebih lama. Ia masih egois.
Tak lama menunggu di luar, Daisy membuka pintu, mengenggam tangan Mahardika lagi. Beriringan mereka menuju tangga.
“Mas Dika tahu! Ini menyenangkan!” ujar gadis itu perlahan.
Mereka telah turun di tanggan putar, hati-hati, pelan-pelan. Mahardika mengenggam jemari Daisy lebih erat, seolah tak rela gadis itu akan berbagi kecantikannya dengan para tamu lain. Tetapi, bukankah Mahardika tidak boleh egois sekarang?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments