Saat semua orang berlarian untuk mencari pertolongan karena Daisy yang tiba-tiba pingsan. Stefani memilih untuk berada di dapur umum yang letaknya lumayan jauh dari gazebo. Ia berhasil menghindari semua orang dan mondar-mandir di sana.
Apa yang diberikan Kakek tua itu racun? Tapi, aku juga sudah meminumnya dan tidak terjadi apa-apa?
Gumam Stefani dengan panik di dalam hati.
Ia kaget saat tiba-tiba pintu dapur terbuka. Matanya langsung mengenali pelayan yang meminta untuk membuat minuman. Stefani menahan napas, menjaga ekspresinya tampak terkejut dan bukannya ketakutan.
“Ada apa? Apa butuh minuman lagi?” tanya Stefani.
“Dia! Dia yang membuatkan minuman untuk Nona Stefani!” teriak si pelayan.
Para pria itu berjalan mendekat, memegang kedua tangan Stefani dan menyeretnya keluar. Dengan sengaja Stefani berteriak layaknya orang tidak bersalah. Di dalam hati ia mengingatkan agar jangan sampai ketahuan. Tidak boleh ada yang tahu kalau minuman itu memang dicampur dengan sesuatu.
“Ada apa ini? Kenapa kalian menyeretku! Lepaskan!”
Rupanya Stefani di bawa ke ruang pesta. Entah bagaimana semuanya menjelaskan sehingga orang-orang keluar tanpa keributan. Ruangan pesta ulangtahun itu sudah kosong. Yang ada di sana tinggal para pelayan, Mahardika, kedua orang tua Daisy, dan Stefani saja.
“Ada apa, Tuan, Nyonya? Kenapa saya diseret?” tanya Stefani dengan suara pilu.
Orang-orang itu menatapnya dengan tatapan menuduh. Keberanian Stefani menjadi hilang sedikit karena tatapan tersebut. Ia mengingatkan dirinya sekali lagi kalau tidak boleh sedikit pun memperlihatkan ketakutan.
“Aku mendengar ceritanya dari Mahardika, astaga Stefani bagaimana mungkin kamu melakukan hal buruk pada Daisy?” Wanita itu, ibu tirinya Daisy mulai menangis setelah menuduhnya.
Stefani menelengkan kepala. “Apa, Nyonya? Saya sama sekali tidak melakukan hal buruk terhadap Nona Daisy.” Ia kemudian melirik Mahardika. Sampai mana pria itu berbicara, Stefani benar-benar ingin tahu.
“Kudengar kamu menyatakan cinta pada Mahardika.”
Nada bicara papa Daisy tidak terdengar menuduh, normal saja. Sama saja seperti hari-hari biasanya saat ia bertanya pada Stefani apa yang akan dikerjakannya hari ini. Pria itu memang penuh wibawa.
Tubuh Daisy sontak gemetar, padahal ia sama sekali tak ketakutan. Ini pasti hanya reaksi alam bawah sadarnya saja. Namun, tiba-tiba ia merasa pusing dan semuanya mendadak gelap.
Daisy masih bisa mendegar orang-orang yang membawanya ribut karena ia tiba-tiba pingsan. Lalu kemudian semuanya tidak ada apa-apa lgi.
***
Dari langit-langit yang dilihatnya, Daisy yakin kalau ia tidak ada di rumah sakit, juga tidak ada di kamarnya. Ia tidak kenal dengan langit-langit yang ada di sana.
Kepala Daisy terasa sakit, tengorokannya juga. Hanya saja tubuhnya terasa sangat segar sekali. Ia pasti tidur dengan baik dan makan cukup banyak kemarin. Tidak sia-sia Daisy merayakan ulang tahun dan membiarkan semua orang berada di sekitarnya.
Ia ingat kalau pingsan setelah minum minuman kesukaannya. Jadi ia tahu kenapa tengorokannya terasa tak nyaman.
“Apa karena aku terlalu banyak begadang ya?” gumam Daisy.
Tetapi Daisy tidak begadang karena ingin. Ia hanya merasa tak nyaman saja di kamarnya sendiri. Seperti seolah diawasi oleh seseorang. Apalagi dari kemarin ada saja hal aneh yang terdengar olehnya. Kadang suara wanita, kemudian anak kecil, terakhir itu pasti suara ibunya.
Karena perasaanya sudah lebih baik, Daisy beringsut dari ranjang. Ia berjalan perlahan ke pintu kamar. Ternyata ini memang bukan kamar yang menjadi miliknya atau pun ada di dalam rumah. Dari ukurannyalah Daisy menyadarinya.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Daisy pelan.
Ia jadi ingat pada Stefani yang menyatakan cinta pada Mahardika. Dasar. Apakah kedua orang tuanya tidak tahu itu?
Daisy lupa kalau pingsan dan kemudian belum sempat mengatakan apapun pada kedua orang tuanya. Ia keluar dari rumah Stefani, melintasi halaman dan kemudian sampai di pintu samping yang digunakan pekerja yang tinggal di pavilliun untuk masuk ke rumah utama.
“Pagi, Raise!”
Pelayannya itu terhenti, menatapnya sebentar. “Pagi, Stefani!”
Stefani? Daisy berputar segera, tetapi tidak ada Stefani di manapun. Apakah pelayannya ini baru saja mengolok-olok Daisy? Dasar. Memang tidak ada pelayan yang benar-benar baik di dunia ini.
Ia lalu memalingkan wajah, membiarkan Raise tetap di tempatnya, menatapnya dengan bingung. Ia menaiki tangga ke lantai dua untuk kembali ke kamarnya.
“Aku heran bagaimana mungkin kamu punya muka setebal ini, Stefani!”
Di dalam hati Daisy membenarkan perkataan Raise. Memang Stefani tidak tahu malu. Ia bahkan tidak minta maaf setelah menganggu tunangannya.
Ia menyentuh gagang pintu kamarnya, lalu kemudian merasakan seseorang mencekal pergelangan tangannya yang lain.
“Mau apa kamu masuk ke kamar Nona Daisy?” teriak Raise murka.
Daisy lekas melonggo. Ia mengerjap-ngerjap tidak mengerti kenapa Raise malah berteriak padanya. Ia kan hanya masuk ke dalam kamar saja. Ini kamarnya. Tunggu!
“Raise ... lepaskan aku!” perintah Daisy.
“Dengar! Walau kamu sudah menyatakan cinta pada Tuan Muda Mahardika tunangan Nona, itu tidak menjadikanmu seperti Nona! Sadar diri, dong!” teriak Raise.
Daisy melotot kaget. Kemudian menyentak tangannya hingga terlepas dari genggaman Raise. Selanjutnya ia berlari ke toilet di lantai dua dan memandang dirinya di depan kaca.
“Ste-fa-ni?”
Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Itu bukan wajah Daisy, melaikan wajah Stefani. Ia menganga tidak percaya.
“Aku Daisy! AKU DAISY!” teriaknya.
Raise sudah mendobrak pintu bersama pelayan laki-laki. Kemudian Daisy diseret keluar dari kamar mandi lantai dua dan di bawa turun.
Ayah Stefani tergopoh di lantai dasar, menyongsong Daisy. Begitu ia di dorong oleh Raise pada ayah Stefani, Daisy mulai menangis. Ia tidak mau seperti ini. Ia bahkan tidak tahu kenapa bisa seperti ini.
“Pak, ini Daisy! Ini Daisy!” katanya berulang-ulang pada ayah Stefani.
Ayah Stefani memeluknya, tidak mengatakan apa-apa. “Apa yang dilakukannya?”
“Dia mencoba masuk ke kamar Nona Daisy. Bawa dia ... Tuan Besar sudah memerintahkan untuk tidak membiarkannya masuk ke rumah utama untuk sementara waktu!” kata Raise sebelum melengos pergi.
“Baiklah!”
Daisy bisa merasakan pelukan ayah Stefani bertambah berat. Ia tidak tahu apa akan terjadi apalagi sekarang. Bisa jadi Daisy akan dimarahi sebagai ganti Stefani. Tetapi, ia memang memiliki wajah Stefani sekarang.
“Daisy ... ayo kita kembali ke pavilliun!” ajak Ayah Stefani.
Daisy jelas tidak punya pilihan lain. Semua orang memandangnya sebagai Stefani sekarang. Ia tidak bisa terus berteriak kalau dirinya adalah Daisy.
Tiba-tiba kakinya tak lagi menjejak lantai. Ayah Stefani telah mengendong tubuh Daisy yang dianggapnya sebagai putrinya. Mereka keluar dari pintu samping, kemudian sampai di pavilliun.
“Stefani ... apa boleh Ayah bertanya padamu?”
Daisy mengangkat kepalanya, menengadah menatap ayah Stefani yang bahkan tak menurunkan pandangannya. “Apa kamu memang sangat mencintai Tuan Mahardika?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments